Senin, 02 November 2015

tukar menukar mata uang dalam islam

 BAB I
JUAL BELI MATA UANG                                                                                                                   DALAM PERSEPEKTIP MUQARANAH MAZHAB FI’MUAMALAH DAN REALITAS PADA MASA KINI.

A.     PENGERTIAN JUAL BERI UANG ATAU TUKAR UANG (AS-SHARF)
Didalam buku yang berkaitan dengan teransaksi dalam islam ,baik didalam fiqih muamalah dan ekonomi islam ,kata jual beli uang seriang kali ditemukan didalam fiqih muamalah,namun didalam ilmu ekonomi dan perbankan dalam islam kata jual beli uang tidak banyak digunakan namun sering dinamakan dengan tukar uang.
Namun kedua istilah tersebut pada eksitensinya sama tidak ada yang berbeda, karna didalam bahasa arab keduanya disebut dengan as-sharf . ini digambarkan oleh para ahli yang mendefinisikan as-sharf  dalam berbagai macam pendapat.diantaranya adalah.
1.      Menurut Prof.Dr.Sutan Remy Sjadaeni,SH.didalam bukunya yang berjudul perbankkan syari’ah mengemukakan bahwa arti harfiah as-sharf   adalah : penambahan,penukaran,penghindaran,pemalingan atau teransaksi jual beli mata uang,
2.      Ualama fiqih mendefinisikan as-sharf  adalah:sebagai memperjual belikan uang dengan uang baik yang sejenis maupun tidak.
3.      Adiarman A.Karim  didalam bukunya yang berjudul ekonomi makro islam pada hal.157 mengemukakan Exchonge Rates ( nilai tukar uang) atau yang lebih populer dengan sebutan kurs mata uang adalah: catatan (quotation) harga pasar dari mata uang asing,(foraign currency)  atau respiprokalnya yaitu harga mata uang domestik dalam mata uang asing.



B.     PANDANGAN ISLAM TENTANG JUAL BELI UANG ATAU NILAI TUKAR UANG
a.      Dasar hukum jual beli yang atau tukar uang
Ulama fiqih menyatakan bahwa dasar diperbolehkan penjualan mata uang berdasarkan pada sabda Rasulallah SAW. diantaranya:
1)      Hadis yang diriwayatkan oleh juma’ah
Artinya :’’rasulallah SAW.bersabda ‘’....(jual beli)  emas dengan emas,perak dengan perak,gandum dengan gandum,kurma dengan kurma,anggur dengan anggur,apabila satu jenia harus sama (kualitas dan kuantitas dan dilakukan) secara tunai,apabila jenisnya berbeda ,maka jualah dengan kehendakmu dengan syarat secara tunai’’(HR.juma’ah)
2)      Riwayat ibnu umar
Artinya :’’janganlah kamu menjual emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sejenis,dan jangan pulakamu menjual belikan perak dengan emas yang setatusnya gaib (tidak ada) dan yang lainya ada’’(HR.juma’ah)
Dengan demikian dalam jual beli mata uang ini terdapat dua syarat kehusu : yaitu tidak menunda (an-nasiah) yang berti harus segera (al-faur) dan tidak berlebihan (az-ziyadah)  yang berti dengan syarat berseimbang.
b.      Perbedaan pendapat ulama tentang jual beli uang
Dalam majhab maliki diperselisihkan tentang penjualan yang dilakukan bersama-sama jual beli mata uang (shharf)  ,imam malik berpendapat bahwa perbuatan itu tidak boleh kecuali salah satu lebih banyak dan yang lain mengikuti pihak yang lain,baik jual beli mata uang itu dalam satu dinar  atau beberapa dinar.
Pendapat lain mengatakan bahwa jual beli mata uang dalam satu dinar,maka jual beli tersebut dibolehkan bagimanapun terjadinya sedangkan apabila dalam jumlah yang lebih banyak maka salah satu diperhitungkan dengan mengikuti kebolehan yang lain,apabila dimaksutkan untuk keduanya bersama-sama ,maka hal ini tidak boleh.
Asyab membolehkan jual beli mata uang bersama penjualnya,pendapat ini dipandang lebih baik karna pendapt tersebut tidak terdapat hal-hal yang mendatangkan riba.[1]
Namun sebagian ulama bersepakat bahwa jual-beli mata uang disariatkan dengan tunai,kemudian mereka berbeda pendapat waktu yang membatasi pengrtian atau pendapat tersebut dintaranya sbb:
1.      Imam abu hanifah dan syafi’i
Berpendapat bahwa jual beli mata uang tejadi secara tunai selam kedua belah pihak belum berpisah,baik penerimaanya itu segera atau lambat.
2.      Imam malik
Seperti yang sudah dijelaskan diatas ,lebih jelas dikemukakan oleh imam malik bahwa ,jika penerimaan pada majlis terlambat,maka jual beli mata uang itu batal maskipun kedua belah pihak belum berpisah,karnanya ia tidak menyukai janji-janji didalmnya.
Pangkal silang pendapat dalam masalah ini ialah keraguan merekanterhadap pengertian sabda rasulallah SAW.
الاهاءهاء
‘’keduali tuai dengan tunai’’
Sebeb yang sedimikian tersebut berbedda tentang bsedikit dan bayaknya ,bagi fuqha yang memandang kata-kata tersebut bisa dipakai untuk orang yang tidak terpisah dari majlis,yakni bahwa orang tersebut bisa dikatakan menjual  dengan tgunai ,berbeda tentang bolehnya penundaan dalam majlis.
Sebalikinya bagi fuqha yang memandang kata-kata tersebut tidak benar jika terjadi penerimaan dari kedua belah pihak dengan segera menyatakan jual beli mata uang batal apa bila penerimaan barang atau uang terlambat dari akad dalam majlis.demikiaan ini karna kesepakatan pendapat mereka dalam masalh ini adalah:  dalam jual beli mata uang bagi mereka tidak ada hal-hal sbb:
a.       Pemindahan hak (hiwalah)
b.      Tanggungan (hamalah)
c.       Atau filihan (khiyar)
Kecuali  apa yang diriwayatkan dari Abu Tsaur bahwa ia membolehkan hal tersebut untuk khiyar.
3.      Ulama kontemporer
kemudian didalam buku yang ditulis oleh .DR.KH.Sahal Mahfudh,MA tntang solusi hukum islam.menjelaskan bahwa membeli emas dengan uang kertas dalam hali ini jual beli mata uang mas dan perak serta uang yang jenis sekarang  dibolehkan karna uang tersebut termasuk benda,jadi tidak diharuskan persamaanya,timbang terima (muqabadhah) .
        Ini berlandasan pada qias  yang konprehensif,juga berdasarkan kaidah yang mencakup seperti yang lain,adapun kaidah trsebut adalah ‘’semua komuditas yang berlaku di masyarakt seperti keadaan benda maka dalam hal ini terdapt dua ketentuan :keberadaanya  sebagai komodiatas dan sebagai benda dengan uang  ,berbeda dengan kemungkinan keberadaanya  sebagi jaminan uatang maka sesuai dengan kias  yang tidak konprohensif  atau kaidah berdasarkan  kaidah yang tidak menjakup seperti kaadan lain.[2]




[1] Ibnu Rusyd,Bidyatul Mujtahid,Jilid 4,Jakarta,Pustaka Amani,Cetakan Ke-Pertama Jumadil Ula 1416/Oktober 1995).H.165
[2] Sahal Mahfudah,Solusi Hukum Islam Keputusan Muhtamar,Munas Dan  Konbes Nahdatul Ulama 1926-2004.Surabaya,Diantama Surabaya.Cetakan Ke-3 Tahun 2006.H.87

penetapan harga, piqih muamalah

MAKALAH
FIQIH MUAMALH-2
PENETAPAN HARGA





OLEH
IJAN SURYADI                                                                                                             NIM 152.121.020





JURUSAN MUAMALAH                                                                              FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM                                            INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)                                             MATARAM                                                                                                                      2014

DAFTAR ISI


HALAMAN SAMPUL
DAFTAR ISI.........................................................................................        I
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang.............................................................................        1
B.     Rumusan masalah........................................................................        1
BAB II PEMBAHSAN
A.    Makna Nilai Dan konsep Harga..................................................        2
B.     Nilai Dan Harga Menurut Konsep Qimah, Tsaman, Dan Si’r.....        6
C.     Fulus, Nuqud, Dan Waraq Sebagai Pengukur Nilai Dan Harg...        10
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................        14
B.     Saran............................................................................................        14
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Dalam perekembangan sekarang,ekonomi merupakan salaha satu yang menjadi patokan di dalam  suatu negeri atau daerah.keberhasilan suatu daerah untuk membauat daerahnya menjadi makmur dan sejahtera, baik sejahtera di bidang ekonomi dan sebagi nya akan terukur dari daya beli masyarakat,daya beli masyarakat ,namun ini akan bisa terwujut jika harga yang ditetapkan dipasaran itu mampu di tanggung oleh masyarakt .
Didalam islam penetapan harga menjadi dalah satu materi yang sangat menarik untuk dipelajari,konsep islam tidak mengenal yang namanya faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penurunan harga atau konsep harga,namun harga akan naik dan turun sesui dengan ketentuan yang ditetap kan oleh allah.keteraitan konsep harga dengan allah swt.menjadi salah satu yang menarik untuk kita ulas dan pelajari.
Sehingga maklah ini mencoba mengali sedikt tentang konsepr harga dalam konsep bermuamalah,dan adapun penjelasanya akan dibahas pada halaman berikutnya.

B.     Rumusan masalah
Yang menjadi titik fokus dalam mempelajari fiqih muamalah-2 salah satunya adalah konsep harga atau penetapa harga,sehingga yang menjadi rumusan masalah kali ini adalah sbb:
1.      Menjelaskan ttg nilai
2.      Teori harga dalam berbagai istilah
3.      Dan penetapan harga.


BAB II
PRMBAHASAN
NILAI, HARGA DAN PENETAPAN HARGA
(Qimah, Tsaman, Si’r Dan Tas’ir Jabariy)


A.    Makna Nilai Dan konsep Harga
Hadist Tentang harga yang diriwayatkan oleh HR Abu Dawud :
إِنَّ ا لله هُوَ ا ْلُمُسَعِّرُ ا لْقَا بِضُ ا لْبَا سِطُ ا لرَّ ا زِ قُ وَ إِ نِّيْ لَأَ رْ جُوْ أَنْ أَ لْقَى
 ا لله وَ لَيْسَ أَ حَدٌ مِنْكُمْ يُطَا لِبُنِيْ بِمَظْلَمَةٍ فِيْ دَ مٍ وَ لَا مَا لٍ.
Artinya :’“Sesungguhnya Allah-lah Dzat yang menetapkan harga, Yang Maha Menyempitkan, Maha Melapangkan, dan Maha Memberi rezeki. Sesungguhnya aku berharap bertemu Allah dalam keadaan tidak seorang pun diantara kamu sekalian menuntutku mengensi kezhaliman dalam hal darah dan harta. ” (HR Abu Dawud)

1.      Pengertian Nilai dan Harga Menurut Konsep Islam
Konsep harga islam juga banyak menjadi daya tarik bagi para pemikir Islam dengan menggunakan kondisi ekonomi di sekitarnya dan pada massanya, pemikir tersebut adalah sebagai berikut.
a.          Konsep Harga Abu Yusuf
Abu Yusuf adalah seorang mufti pada kekhalifahan Harun al-Rasyid. Ia menulis buku pertama tentang sistem perpajakan dalam Islam yang berjudul Kitab al-Kharaj. Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah.
Abu Yusuf mengatakan: “Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga dengan mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.”
Pandangan Abu Yusuf di atas menunjukkan adanya hubungan negatif antara persediaan (supply) dengan harga. Hal ini adalah benar bahwa harga itu tidak tergantung pada supply itu sendiri, oleh karena itu berkurangnya atau bertambahnya harga semata-mata tidak berhubungan dengan bertambah atau berkurangnya dalam penawaran.
Dalam hal ini, Abu Yusuf tampaknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara permintaan dengan harga. Pada kenyataannya harga tidak tergantung pada penawaran saja tetapi juga permintaan. Abu Yusuf menegaskan bahwa ada variabel lain yang mempengaruhi akan tetapi beliau tidak menjelaskan secara rinci.
Dalam analisis ekonomi pada masalah pengendalian harga, Abu Yusuf menentang penguasa yang menetapkan harga. Menurutnya harga merupakan ketentuan Allah. Maksudnya adalah harga akan terbentuk sesuai dengan hukum alam yang berlaku disuatu tempat dan waktu tertentu sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi harga itu sendiri. Pendapat Abu Yusuf ini relevan pada pasar persaingan sempurna dimana banyak penjual dan banyak pembeli sehingga harga ditentukan oleh pasar.[1]
b.              Konsep Harga al-Ghazali
Seperti halnya para cendikiawan muslim terdahulu, perhatian al-Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia melakukan studi keislaman secara luas untuk mempertahankan ajaran agama Islam. Perhatiannya di bidang ekonomi terkandung dalam ilmu fikihnya karena pada hakikatnya, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fikih Islam.
Pemikiran sosio ekonomi al-Ghazali berakar pada sebuah konsep yang dia sebut sebagai fungsi kesejahteraan sosial Islami. Tema yang menjadi pangkal seluruh karyanya adalah konsep maslahat atau kesejahteraan bersama ssosial atau utilitas (kebaikan bersama), yakni sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan erat antara individu dengan masyarakat.
Menurut al-Ghazali hukum alam adalah segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Begitu pula dengan pendapat al-Ghazali mengenai pasar merupakan keteraturan alami (natural order), yaitu hharga di pasar akan terbentuk secara alami sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi harga, dan pendapat al-Ghazali ini lebih cocok pada pasar persaingan sempurna.
Seperti halnya pemikir lain pada masanya, al-Ghazali juga berbicara tentang harga yang biasanya langsung dihubungkan dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi al-Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, risiko bisnis, dan ancaman diri keselamatan si pedagang. Walaupun ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang bagi al-Ghazali keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak. Adapun keuntungan normal merutnya adalah berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang.

c.          Konsep Harga Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah menjelaskan mengenai mekanisme pertukaran, ekonomi pasar bebas, dan bagai man kecenderungan harga terjadi sebagai akibat dari kekuatan permintaan dan penawaran. Jika permintaan terhadap barang meningkat sementara penawaran menurun harga akan naik. Begitu sebaliknya, kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin disebabkan oleh tindakan yang adil, atau mungkin tindakan yang tidak adil.
Hal ini terjadi karena pada masanya ada anggapan bahwa penigkatan harga merupakan akibat dari ketidakadilan dan tindakan dari melanggar hukum dari pihak penjual, atau mungkin sebagai akibat manipulasi pasar.
Ibnu Taimiyah berkata:”Naik dan turunnya harga tak selalu berkaitan dengan kezaliman. (zulm) yang dilakukan seseorang. Sesekali alasannya adalah adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jika membutuhkan peningkatan jumlah barang sementara kemampuannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Di sisi lain, jika kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaannya menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang takmelibatkan ketidakadilan. Atau sesekali bisa juga disebabkan ketidakadilan. Maha besar Allah yang menciptakan kemauan pada hati manusia.[2]
d.      Konsep Harga Ibnu Khaldun
Dalam karyanya, Ibnu Khaldun membagi jenis barang menjadi barang kebutuhan pokok dan mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya akan bertambah banyak, maka harga-harga kebutuhan pokok akan mendapatkan prioritas pengadaannya. Akibatnya penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga. Sedangkan untuk barang-barang mewah, permintaannya akan menigkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya harga barang mewah akan meningkat.
Bagi Ibnu Khaldun, harga adalah hasil dari hukum permintaan dan penawaran.
Pengecualian satu-satunya dari hukum ini adalah harga emas dan perak, yang merupakan standar moneter. Semua barang-barang lain terkena fluktuasi harga yang tergantung pada pasar. Bila suatu barang langka dan banyak diminta, maka harganya tinggi. Jika suatu barang berlimpah maka harganya akan rendah[3]
B.     Nilai Dan Harga Menurut Konsep Qimah, Tsaman, Dan Si’r
Harga secara terminologi dalam bahasa arab, yaitu; as-si’ru. Yang secara harfiah, as-si’ru (harga) adalah segala sesuatu yang bisa dijadikan Tsaman (alat barter dalam jual beli). Adapun secara definisinya, sebagai mana tertera dalam buku Mausu’ah al-Iqtisod al-Islamy, Dr Rif’at Sayyid al-‘Iwadhi menjelaskan dalam pengertian ekonomi Islam, harga adalah sebuah ukuran dijualnya suatu barang, yang mana mahal dan murahnya ditentukan oleh Allah SWT semata, dan tanpa melepas beberapa faktor yang mempengaruhi oleh barang itu sendiri.[4]
Dari definisi di atas kita mengenal istilah harga yang adil. Dalam bahasa arab beberapa kalimat yang menunjukan kepada harga yang adil seperti Si`r al-Mitsl, Tsaman al-Mitsl dan Qimah al-‘Adl. Istilah Qimah al-‘Adl (harga yang adil) telah digunakan oleh Rasulullah dan para khalifah, seperti ketika Rasullah mengomentari kompensasi yang telah ditetapkan dalam membebaskan budak, dimana seorang budak merdeka dan pemiliknya mendapatkan kompensasi harga yang adil atau Qimah al-Misl. Juga ditemukan dalam laporan Khalifa Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Tholib, ketika Umar bin Khattab menentukan nilai yang baru dalam Diyah (denda), waktu itu dirham turun dan harga-harga pun menjadi naik. Bagitu pula pada zaman sarjana Islam pertama, adalah Ibnu Taimiah, dia memberikan perhatian khusus pada istilah itu. Ibnu Taimiyah sering menggunakan dua terminologi dalam pembahasan harga, yaitu: `Iwad al-Mitsl  (kompensasi yang setara) dan Kamal Tsaman al-Mitsl (harga yang setara). Dalam karyanya al-Hisbah, ia mengatakan: “Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksirkan oleh hal-hal yang setara dan itulah esensi keadilan (nafs al-‘adl). Dan sekarang istilah Qimah al`Adl  juga banyak digunakan oleh para hakim yang telah menyesuaikan hukum Islam tentang transaksi bisnis dalam obyek barang cacat yang dijual, perebutan kekuasaan, membuang jaminan atas harta milik dan sebagainya.[5]
Islam sangat menjunjung tinggi keadilan (al `adl/justice), termasuk juga dalam penentuan harga. Terdapat beberapa terminology dalm bahasa Arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil ini, antara lain: si`r al mithl, thaman al mithl dan qimah al adl. Istilah qimah al adl (harga yang adil) pernah digunakan rasulullah saw, dalam mengomentari kompensasi bagi pembebasan budak, dimana budak ini akan memjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasidengan harga yang adil atau qimah al `adl (sahih muslim). Penggunaan istilah ini juga ditemukan dalm laporan tentang khalifah Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Tholib. Umar bin Khatab menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyah (denda), setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik.
1.      Nilai dan Harga dalam Konsep Qimah
Qimah merupakan nilai (value/ price). Dimana Qimah itu adalah daya tukar suatu barang atau jasa lain yang diukur secara kuantitatif dengan jumlah satuan barang atau uang.
Istilah qimah al`adl juga banyak digunakan oleh para hakim yang telah mengkondifikasikan hukum islam tentang transaksi bisnis dalam objek barang cacat yang dijual, perebutan kekuasaan, membuang jaminan atas harta milik, dan sebagainya.
Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalm transaksi yang islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah cerminan dari komitmen syari`ah islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.
Konsep harga yang adil yang didasarkan atas konsep equivalen price jelas lebih menunjukkan pandangan yang maju dalam teori harga dengan konsep just price. Konsep just price hanya melihat harga dari sisi produsen sebab mendasari pada biaya produksi saja.konsep ini jelas kurangmemberikan rasa keadilan dalam perspektif yang lebih luas, sebab konsumen juga memiliki penilaian tersendiri atas harga suatu barang. Itulah sebabnya syari`ah islam sangat menghargai harga yang terbentuk oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.
Qimah terdiri dari beberapa macam, yaitu :
a.          Qimah Tijariyyah       
   Nilai pasar (market value). Harga barang atau jasa yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar.
b.      Qimah Mudla’afah. (Nilai tambah)       
c.       Qimah Haliyah
Nilai tambah (value added) yaitu nilai tambah ekonomis atas barang atau jasa akibat kegiatan ekonomi.
d.      Qimah Dakhiliyah          
Nilai intrinsik (intrinsic value) adalah nilai asli yang melekat pada fisiknya, misalnya nilai logam yang terdapat pada uang koin.
e.        Qimah Daftariyyah       
Nilai buku (book value) ialah nilai aset yang tertera pada catatan pembukuan.
2.      Nilai dan Harga dalam Konsep Si’r
Nilai dan harga dalam konsep Si’r ada bagian – bagiannya yaitu:
a.      Si’ru Taklifah
Harga berdasarkan biaya (cost price/ BEP price) adalah harga dari suatu produk yang hanya dapat menutupi biaya produksi dan distribusinya tanpa adanya margin keuntungan.
b.      Si’ru al-Suq   
Harga pasar (market price) adalah harga yang terbentuk berdasarkan penawaran dan permintaan.
c.        Si’ru as-Sharf
Nilai tukar (exchange rate) merupakan harga dari suatu mata uang yang diekspresikan dalam nilai mata uang lainnya.
d.      Si’ru al-Iqfa
Harga penutupan (closing price) yaitu harga surat berharga yang diperdagangkan pada akhir waktu perdagangan.
e.        Si’ru al-Atho’
Harga penawaran (quotation price) ialah dua harga yang lazim digunakan dalam perdagangan surat berharga atau valuta asing (bid-ask price).
f.       Si’ru al-Asas  
Harga dasar (basic price) adalah harga yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung harga barang yang diperjualbelikan.
3.      Nilai dan Harga dalam Konsep Tsaman
Tsaman atau Kamal Tsaman al-Mitsl  disebut juga harga yang setara.
"Harga yang setara adalah harga standar yang berlaku ketika masyarakat menjual barang-barang dagangannya dan secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang setara bagi barang-barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus."
Jadi, harga yang setara itu harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yang tidak disertai penipuan.
C.     Fulus, Nuqud, Dan Waraq Sebagai Pengukur Nilai Dan Harga
1.      Fulus (فلوس)
Fulus (bentuk jamak fals) yang digunakan untuk pengertian logam bukan emas dan perak yang dibuat dan berlaku di tengah-tengah masyarakat sebagai uang dan pembayaran, misalnya terbuat dari perunggu, tembaga, atau besi. Fulus adalah mata uang kecil pelengkap dinar dan dirham.
2.      Nuqud (نقود)
Nuqud (bentuk jamak dari naqd). Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian nuqud. Al-Sayyid ’Ali (1967, 44) mengartikannya dengan “semua hal yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi, baik dinar emas, dirham perak maupun fulus tembaga.
Nuqud adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.[6]
Beberapa pakar ekonomi Islam mendefisinsikan istilah Nuqud sebagai :
1)        Semua hal yang digunakan oleh  masyarakat dalam melakukan transaksi, baik Dinar emas, Dirham perak maupun fulus tembagab.  
2)         Segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan pengukur nilai.
3)         Definisi serupa dikemukakan oleh Ibnu Mani’ yang menegaskan bahwa uang boleh terbuat dari bahan jenis apa pun.
4)        Nuqud adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.
Sementara Al-Kafrawi (1407, 12) mendefinisikannya dengan “segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan pengukur nilai”.
Sementara itu, Qal’ah Ji (1999, 23) mengemukakan definisi yang memberikan penekanan pada aspek legalitas di samping juga memperhatikan aspek fungsi sebagaimana definisi di atas. Ia mengatakan, “nuqud adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” Atas dasar definisi ini ia berpendapat, seandainya masyarakat dalam melakukan transaksi menggunakan unta sebagai alat pembayaran, unta tersebut tidak dapat dipandang sebagai uang (nuqud) melainkan hanya sebagai badal (pengganti) atau ‘iwadh (imbalan). Hal itu karena sesuatu yang dipandang sebagai uang harus memenuhi sekurang-kurangnya dua syarat. Pertamasubstansi benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat dan kedua, dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang, yaitu Amir yang sah.[7]
3.      Waraq
Waraq (Qirthas) adalah uang kertas yang sekarang dipergunakan yang dikenal juga sebagai legal tender. Uang kertas tidak memiliki nilai tapi ‘dianggap’ bernilai karena otoritas yang menerapkan nilai itu atasnya. Istilah ini tidak dikenal dalam fiqh maupun sejarah Islam tapi sudah digunakan sebagai badal/pengganti dari emas ataupun perak sejak lama (istilahnya underlying value). Namun sejak Kesepakatan Bretton Woods 1944, kertas menjadi uang (fiat money) dan bukan badal/pengganti dari emas/perak. Beberapa ulama mengharamkan penggunaan kertas sebagai uang karena tidak memiliki nilai intrinsik yang dibawa dan hal ini merupakan riba.
Membagi uang kertas (qirthas) / Waraq ini menjadi 3 yaitu:
1)      Nuqud waraqiyah ilzamiyah (inconvertible paper money / fiat money).
Yaitu uang kertas yang tidak ditopang oleh sejumlah emas atau perak, maka menurut An-Nabhani, ia dinilai berdasarkan substansinya yaitu kertas, bukan nilai nominal yang ditunjukkannya.[8]
2)      Nuqud waraqiyah watsiqah (representative money).
Yaitu uang kertas yang dijamin oleh suatu benda tertentu tetapi bukan emas dan perak, sebagai tanda jaminan barang tersebut atau dianggap sebagai kertas janji (promising note). Menurut An-Nabhani, barang yang dimaksud harus dikonversi dengan nilai emas dan perak yang ada.
3)      Nuqud waraqiyah na’ibah (substitution money).
Yaitu uang kertas yang ditopang/dijamin oleh sejumlah emas dan perak. An-Nabhani membolehkan penggunaannya.























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
                    Darai materi yang sudah dipaparkan diatas ternyata kita bisa menarik kesimpulan bahwa didalam ,bermuamalah konsep nilai dan harga serta penetapan harga sudah berlangsung dan sudah diperaktikkan oleh ,maysrakat  islam pada masa silam ini tergambar dengan bayaknya para sahabat yang menetapkan suatu harga pada masa kepemimpinan nya.
        Sisamping itu juga, banyak pula para pakar muslim yang telah mengali dan mempelajari tentang ekonomi yang berkaitan dengan bilai harga,ini tergambar dari pendapat tang dikemumakkan  oleh abu yusuf,ibnu kaldun yang juga sebagi bapak ekonomi islam pada masa itu.
        Namun yangmenjadi daya tarik dalam penetapan harga ,menurup pakar islam hususnya dibidang ekonomi mengatakan,penetapan harga bukan ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan nilai dan harga itu sendiri,melainkan penetapan harga ditetapkan oleh allah yang bersumber pada kondisi alam disuatu tempat.sehingga dengan demikian tidak mengenal yang namnya  faktor-faktor yang menentukan harga .
B. Saran
                    Akhirnya makalah ini diselesaikan dengan tepat waktu, dan adapun kesalahan dalam penulisan dan penyampain materi maka kami selaku penulis ,meminta maaf sebesar-besarnya .dan yang ketelahir mudah mudahan makalah ini bermamfaat untuk kita,sebagi refrensi dalam menuntut ilmu yang telah diwajibkan.




DAFTAR PUSTAKA

Auf Mahmud al-Kafrawi, (Al-Nuqud Wa Al-Masharif Fi Al-Nidzam Al-Islami Dar al-Jami’at al-Mishriyah, 1407 H)
Diwarman Azwar Karim, (Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)
Islahi, (Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, Jakarta: Bina Ilmu, 1997),
Muhammad,( Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam,Yogyakarta: BPFE, 2004),
Muhammad al-Sayyid’ Ali,( Al-Nuqud Wa Al-Sikkah Mansyurat al-     Maktabah al-Haidariyah, 1967),
Rif’at Sayyid al-‘Iwadhi,( Al-Mausu’ah al-Iqtisod al-Islamiah Jilid 1, Kairo :  Daar as-Salam cet. I, 2009)
Sulaiman Ramadhan Muhammad, Jamal Mahdi al-Aksyah,( Durus Muqoronah fiFiqh al-Muamalah, (Jami’ah al-Azhar, 2010),



[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 156

[2] Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Bina Ilmu, 1997), hal. 37-42

[3] Rif’at Sayyid al-‘Iwadhi, Al-Mausu’ah al-Iqtisod al-Islamiah Jilid 1, (Kairo :  Daar as-Salam cet. I, 2009), hal, 396
[4] Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2004), hal. 46

[5] Sulaiman Ramadhan Muhammad, Jamal Mahdi al-Aksyah, Durus Muqoronah fi Fiqh al-Muamalah, (Jami’ah al-Azhar, 2010), hal. 282

                                [6] Muhammad Rawas Qal’ah Ji, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashirah Fi Dhau’ Al-Fiqh Wa Al-Syari’ah (Beirut : Dar al-Nafa’is, 1999), hal. 23

Muhammad al-Sayyid’ Ali, Al-Nuqud Wa Al-Sikkah (Mansyurat al-     Maktabah al-Haidariyah, 1967), hal. 44
                                [8] Auf Mahmud al-Kafrawi, Al-Nuqud Wa Al-Masharif Fi Al-Nidzam Al-Islami (Dar al-Jami’at al-Mishriyah, 1407 H), hal. 14