1. HIPOTIK
a. Pengertian hipotik
Dalam KUH Perdata,
hipotik diatur dalam bab III pasal 1162 s/d 1232. Sedangkan definisi dari hipotik itu sendiri adalah hak kebendaan atas
suatu benda tak bergerak untuk mengambil pergantian dari benda bagi pelunasan
suatu hutang.
Hak Hipotik merupakan
hak kebendaan yang memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai,
tetapi untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang. Menurut pasal 1131 B.W.
tentang piutang-piutang yang diistimewakan bahwa “segala kebendaan si berutang,
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.” Yang mana dalam pembahasan yang dikaji dalam makalah ini khusus
kepada kebendaan si berutang berupa benda yang tidak bergerak yang dijadikan
sebagai jaminan untuk hutang, inilah yang termasuk dalam pengertian hak Hipotik
seperti yang telah disebutkan di atas. Apabila orang yang berhutang tidak dapat
menepati kewajibannya, maka orang berpihutang dapat dengan pasti dan mudah
melaksanakan haknya terhadap si berhutang, atau sederhananya si berpiutang
dapat meminta benda yang dijadikan sebagai jaminan, meskipun barang itu sudah
berada di tangan orang lain.
a. Azas-azas Hipotik
1) Azas publikasi, yaitu mengharuskan hipotik itu didaftarkan supaya diketahui oleh umum.
Hipotik didaftarkan pada bagian pendaftaran tanah kantor agrarian setempat.
2) Azas spesifikasi, hipotik terletak di atas benda tak bergerak yang ditentukan secara khusus
sebagai unit kesatuan, misalnya hipotik diatas sebuah rumah. Tapi tidak aada
hipotik di atas sebuah pavileum rumah tersebut, atau atas sebuah kamar dalam rumah
tersebut.
Benda tak bergerak yang
dapat dibebani sebagai hipotik adalah hak milik, hak guna bangunan, hak usaha
baik yang berasal dari konvensi hak-hak barat, maupun yang berasal dari
konvensi hak-hak adaptasi, serta yang telah didapatkan dalam daftar buku tanah
menurut ketentaun PP no. 10 tahun 1961 sejak berlakunya UUPA no. 5 tahun 1960
tanggal 24 september 1960.
b. Subyek Hipotik
Sesuai dengan pasal
1168 KUH perdata, di sana dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan mengenai siapa
yang dapat memberikan hipotik dan siapa yang dapat menerima atau mempunyai hak
hipotik.
Sedangkan badan hukum
menurut tata hukum tanah sekarang tidak berhak memiliki hak milik, kecuali
badan-badan hukum tertentu yang telah ditunjuk oleh pemerintah, seperti yang
tertuang dalam pasal 21 ayat 2 UUPA. Ada empat golongan badan hukum yang berhak
mempunyai tanah berdasarkan PP no. 38 tahun 1963 yaitu:
1) Badan-badan pemerintah
2) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
3) Badan-badan social yang ditunjuk oleh
menteri dalam negeri
4) Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri
dalam negeri.
Mengenai siapa-siapa
yang dapat memberikan hipotik ialah warga negara Indonesia dan badan hukum
Indonesia sebagaimana ketentuan-ketentuan yang ada pada UUPA sendiri.
c. Obyek Hipotik
Pasal 1164 KUH perdata
mengatakan bahwa yang dapat dibebani dengan hipotik ialah:
1) Benda-benda tak bergerak yang dapat dipindah tangankan
beserta segala perlengkapannya.
2) Hak pakai hasil atas benda-benda tersebut
beserta segala perlengkapannya
3) Hak numpang karang dan hak guna usaha
4) Bunga tanah baik yang harus dibayar dengan uang
maupun yang harus dibayar dengan hasil dengan hasil tanah dalam wujudnya.
Pasal 1167 KUH perdata
menyebutkan pula bahwa benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotik.
Maksudnya adalah sebagai berikut:
1) Benda tetap karena sifatnya (pasal 506 KUH
Perdata)
2) Benda tetap karena peruntukan (pasal
507 KUH Perdata)
3) Benda tetap karena UU (pasal 508
KUH Perdata)
d. Prosedur Pengadaan Hak Hipotik
Syarat-syarat yang
harus dipenuhi ketika akan mengadakan hipotik adalah: 1) Harus ada perjanjian
hutang piutang, 2) Harus ada benda tak bergerak untuk dijadikan sebagai jaminan
hutang.
Setelah syarat di atas
dipenuhi, kemudian dibuat perjanjian hipotik secara tertulis dihadapan para
pejabat pembuat akta tanah atau disingkat PPAT (pasal 19 PP no. 10
tahun 1961), yang dihadiri oleh kresitur, debitur dan dua orang saksi yang
mana salah satu saksi tersebut biasanya adalah kepala desa atau kelurahan
setempat di mana tanah itu terletak. Kemudian akta hipotik itu didaftarkan pada
bagian pendaftaran tanah kantor agrarian yang bersangkutan.
e. Hapusnya Hipotik
Menurut pasal 1209 ada
tiga cara hapusnya hipotik, yaitu:
1) Karena hapusnya ikatan pokok
2) Karena pelepasan hipotik oleh si berpiutang atau
kreditur
3) Karena penetapan oleh hakim
Adapun hapusnya hipotik
di luar ketentuan KUH Perdata yaitu:
1) Hapusnya hutang yang dijamin oleh hipotik
2) Afstan hipotik
3) Lemyapnya benda hipotik
4) Pencampuran kedudukan pemegang dan pemberi hipotik
5) Pencoretan, karena pembersihan atau kepailitan
6) Pencabutan hak milik
2. GADAI
a.
Pengertian Gadai
Gadai adalah suatu hak
yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang
memberikan kekuasaan kepada si piutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya
dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya
mana yang harus didahulukan (Badrul Zaman, 1991).
b. Sifat-sifat umum gadai
1) Gadai adalah untuk benda bergerak Artinya obyek gadai
adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud (hak tagihan).
2) Sifat
kebendaan.Artinya memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa dikemudian hari piutangnya pasti dibayar
dari nilai barang jaminan.
3) Benda gadai dikuasai oleh pemegang gadai.Artinya benda
gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai.
4) Hak menjual sendiri benda gadai.Artinya hak untuk
menjual sendiri benda gadai oleh pemegang gadai.
5) Hak yang didahulukan
6) Hak accessoir.Artinya hak gadai tergantung pada
perjanjian pokok. (Badrul Zaman, 1991).
c. Barang yang dapat digadai
Barang yang dapat digadaikan yaitu semua barang
bergerak seperti barang-barang perhiasan, elektronik, peralatan rumah tangga,
mesin, tekstil, dll.
Barang yang tidak dapat digadaikan seperti barang
milik pemerintah, surat-surat berharga, hewan dan tanaman, bahan makanan dan
benda yang mudah busuk, benda-benda yang kotor, benda-benda yang untuk
menguasai dan memindahkan dari satu tempat ke tempat lain memerlukan izin,
barang yang karena ukurannya yang besar maka tidak dapat disimpan digadaian,
barang yang tidak tetap harganya. (Badrul Zaman, 1991).
d. Hak dan kewajiban pemegang gadai.
1) Hak pemegang gadai. Menjual gadai dengan kekuasaan
sendiri dan atau dengan perantara hakim, atas izin hakim tetap menguasai benda
gadai, mendapat ganti rugi, retorsi dan hak undang-undang untuk didahulukan.
2) Kewajiban pemegang gadai. Bertanggung jawab atas
kehilangan atau kerusakan barang gadai karena kelalaiannya, memberitahukan
kepada pemberi gadai apabila barang gadai itu di jual dan bertanggung jawab
terhadap hasil penjualan barang gadai tersebut. (Badrul Zaman, 1991).
e. Hapusnya gadai :
1) Perjanjian pokok
2) Musnahnya benda gadai
3) Pelaksanaan eksekusi
4) Pemegang gadai
telah melepaskan hak gadai secara sukarela
5) Pemegang gadai
telah kehilangan kekuasaan atas benda gadai
6) Penyalahgunaan
benda gadai.
f. Perbedaan gadai dan hipotik :
1) Gadai harus disertai dengan pernyataan kekuasaan atas
barang yang digadaikan, sedangkan hipotik tidak.
2) Gadai hapus
jika barang yang digadaikan berpindah tangan ke orang lain, sedangkan hipotik
tidak, tetapi teap mengikuti bendanya walaupun bendanya dipindahtangankan ke
orang lain
3) Satu barang tidak pernah dibebani lebih dari satu
gadai walaupun tidak dilarang, tetapi beberapa hipotik yang bersama-sama
dibebankan diatas satu benda adalah sudah merupakan keadaan biasa.
4) Adanya gadai dapat dibuktikan dengan
segala macam pembuktian yang dapat dipakai untuk membuktikan perjanjian pokok
sedangkan adanya perjanjian hipotik dibuktikan dengan akta otentik
A.
PEMBAGIAN PERIKATAN BAERDASARKAN SUMBERNYA.
lahirnya hukum
perikatan itu disebabkan oleh beberapa hal diantaranya sebagai berikut:
1.
Karena
Perjanjian
PerjanjianBerdasarkan
pasal 1313 BW, maka “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dari
sini dapat dipahami bahwa terdapat para pihak yang bersepakat untuk melakukan
perikatan. Para pihak tersebut dapat disebut dengan kreditur dan
debitur.Perjanjian merupakan instrument yang dapat digunakan oleh para pihak,
demi menjamin kepentingannya masing – masing.
Dalam
hal ini hukum perdata merupakan hukum yang bersifat mengatur atau disebut juga
dengan regelend recht. Hal dapat ditafsirkan, bahwa para pihak dapat membuat
suatu perikatan sesuai dengan kehendaknya, namun tidak boleh melanggar
ketentuan undang – undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Di sinilah dapat
dikatakan, adanya asas kebebasan berkontrak, yang merupakan salah satu asas
terpenting dalam perjanjian dapat diberlakukan melalui kehendak para pihak yang
dituangkan dalam suatu perjanjian.
Selanjutnya,
perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut akan menjadi lex
specialist derogate legi generalis bagi para pihak yang berjanji, yaitu
perjanjian tersebut akan mengesampingkan peraturan – peraturan yang lainnya,
namun apabila suatu ketentuan tidak diatur dalam perjanjian tersebut, maka akan
berlaku peraturan yang bersifat umum. Selain itu, bahwa perjanjian yang telah
dibuat oleh para pihak akan mempunyai kekuatan mengikat sebagai mana undang –
undang bagi keduanya, hal ini dikenal dengan asas pacta sunt servanda.
2.
Karena Undang – undang
Sebagaimana namanya, bahwa undang – undang dapat dijadikan acuan
dalam suatu perikatan (contohnya : jual beli dan sewa menyewa). Undang – undang
telah mengaturnya dan para pihak dapat menjadikannya acuan dalam perikatan yang
dilakukannya. Namun meskipun telah diatur dalam undang – undang, sebagaimana
yang telah dikemukakan pada poin satu di atas, bahwa perikatan masuk dalam
ranah hukum perdata dan bersifat regelend recht.
Jadi para pihak dapat memilih, sesuai dengan undang – undang
sajakah, ataukah membuat suatu perjanjian. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya…”.
contohnya antara lain : perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa,
perjanjian kredit, perjanjian deposito, dan lainnya.
1.
Undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUH Perdata,
perikatan itu dapat timbul dari
a.
undang-undang saja
Dari
undang-undang semata, misalnya Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
b.
undang-undang karena perbuatan orang.
Selanjutnya Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan bahwa perikatan yang dilahirkan
dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan yang
sesuai hukum atau dari perbuatan melanggar hukum. Atas dasar kedua pasal tersebut, dapat dikemukakan contoh sebagai
berikut :
1)
perbuatan manusia yang sesuai hukum (tidak melanggar hukum),
misalnya zaakwaarneming
atau perwakilan sukarela atau mewakili kepentingan orang lain tanpa diminta
atau disuruh oleh orang itu, seperti yang dimaksud oleh pasal 1354 KUHPerdata :
“jika
seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu mewakili
urusan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka ia secara
diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan
tersebut sehingga orang yang diwakili kepentingan dapat mengerjakan sendiri
urusan itu…”. Misalnya, A bertetangga dengan B. Pada suatu saat A pergi
ke luar negeri selama 3 bulan. B sebagai tetangga, melihat pekarangan
rumah A kotor, tidak terawat dan merusak pemandangan rumah B. Karena itulah B
secara sukarela dengan tidak mendapatkan perintah dari A merawat dan
membersihkan pekarangan rumah A. Terhadap peristiwa seperti ini maka
berdasarkan pasal 1354, B wajib untuk terus menerus membersihkan dan merawat
rumah A, sampai dengan A dapat mengerjakan sendiri pekerjaan itu.
2)
Melanggar hukum (onreehtmatige daad) seperti
yang dimaksud oleh pasal 1365 KUHPer : “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian pada orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”. Misalnya, motor milik A yang sedang diparkir
ditabrak oleh mobil yang dikendarai oleh B yang sedang dalam keadaan mabuk.
Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, A dapat menuntut B untuk memberikan ganti
rugi pada A, atas kerugian yang diderita oleh A yang dikarenakan perbuatan B.
A.
ASAS-ASAS PERJANJIAN
Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak
terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu
antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda),
asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality). Berikut ini
adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3) menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya, serta
4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah
tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan
berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam
zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam
zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas
Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.
Menurut paham individualisme, setiap orang
bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas
ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair ini menganggap
bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas.
Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Paham individualisme memberikan peluang yang
luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak
yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam
cengkeraman pihak yang kuat sperti yang diungkap dalam exploitation de homme
par l’homme
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham
etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak
berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan.
Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat
perlindungan.
Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi.
Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi.
Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum
menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui
penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak
ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah
terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.
2. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam
Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu
syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah
pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya
tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua
belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum
Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas
konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan
perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan
dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan
perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya,
yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum
Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang
artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah
ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan
dengan bentuk perjanjian.
3.Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
3.Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan
asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat
perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta
sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada
mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa
terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya
dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian
yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan
dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt
servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu
dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah
nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
3. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338
ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan
debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik
terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada
itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata
dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan
keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak
memihak) menurut norma-norma yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang
erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam
kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong
Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang
(devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.
Kasus Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu
firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga
sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu
tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir,
pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan
sudah banyak berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga
yang lebih tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka penjual akan menderita
kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut
darinya.
4. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan
bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal
1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti
ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung
maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka
yang membuatnya.
Namun demikian, ketentuan itu terdapat
pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPer yang
menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga,
bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian
kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang
dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan
adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer,
tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur
tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk
kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak
dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.