Senin, 09 Januari 2017

STUDI PRADABAN, AKULTURASI ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL DI INDONESIA


STUDI PRADABAN
AKULTURASI ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL DI INDONESIA


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai “Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal Di Indonesia” dalam rangka memenuhi tugas Studi Pradaban.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.





Mataram,  20  Desember 2016


Penulis
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL............................................................................        i
KATA PENGANTAR.........................................................................        ii
DAFTAR ISI.........................................................................................        iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................        1
A.    Latar Belakang............................................................................        1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................        2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................        3
A.    Ontologi Interaksi Agama dan Budaya......................................        3
B.     Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal.....................................        10
C.     Wujud dan Tantangan Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal.        13
BAB III PENUTUP..............................................................................        23
A.    Kesimpulan .................................................................................        23
B.     Saran............................................................................................        24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................        26










BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
          Manusia dihadirkan di muka bumi, lahir, hidup, dan berkembang menjadi makhluk duniawi yang sekaligus berperan sebagai khalifah. Sebagai makhluk duniawi, sudah tentu bergumul dan bergulat dengan dunia, terhadap segala segi, masalah dan tantangannya, dengan menggunakan segala potensi kemanusiaan dan ketuhanannya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan dunia tidaklah selalu diwujudkan dalam sikap pasif, pasrah, dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya. Tetapi justru diwujudkan dalam sifat aktif, memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan akal pikiran dan budi daya manusia, Allah menunjuk manusia-manusia pilihan di antara kelompok atau masyarakat tersebut untuk menyampaikan petunjuk dan peringatan tentang “siapa sebenarnya kekuatan mutlak yang objektif dan rasional” yang mereka cari, dan yang sebenarnya mereka persaksikan sebelum menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan potensi fitrah manusianya. Hadirnya para utusan Tuhan tersebut, kembali meluruskan budaya masyarakat yang menyimpang dan membentuk budaya “khas” dalam wujud agama samawi.
 Dengan sentuhan Ilahi, agama samawi ini menyebar dan memasuki lingkungan budaya bangsa-bangsa, serta tumbuh dan berkembang bersama budaya bangsa-bangsa tersebut, mewujudkan sistem budaya universal dan menjadi rahmatan li al-‘alamin.
Hadirnya agama, dalam pengertiannya yang umum dimaknai sebagai kepercayaan terhadap kekuatan/kekuasaan supranatural yang menguasai dan mengatur kehidupan manusia, yang menimbulkan sikap bergantung/pasrah pada kehendak dan kekuasaanya dan menimbulkan perilaku dan perbuatan tertentu secara cara berkomunikasi dengan “Sang Mahadahsyat” dan memohon pertolongan untuk mendatangkan kehidupan yang selamat dan sejahtera.
Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan manusia tidak diciptakan untuk kepentingan agama. Dengan bimbingan agama, diharapkan manusia mendapatkan pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidup dan membangun peradabannya. Dengan paradigma ini maka agama adalah jalan, bukan tujuan. Agama membimbing manusia berjalan mendekati Tuhan dan mengharap rida-Nya melalui amal kebaikan yang berdimensi vertikal (ritual keagamaan) dan horizontal (pengabdian sosial).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Ontologi Interaksi Agama dan Budaya?
2.      Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal?
3.      Bagaimana Wujud dan Tantangan Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal 
BAB II.
PEMBAHASAN

A.          Ontologi Interaksi Agama dan Budaya
1.       Agama
a.       Definisi Agama
        Kalangan ahli-ahli agama (Islam) banyak menggunakan definisi agama yang lebih menekankan aturan (fiqh oriented), sehingga peran manusia sebagai pemeluk agama kurang mendapatkan posisi yang kuat. Pengertian agama sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya, berimplikasi pada kehidupan keberagamaan manusia yang kurang mendapatkan sentuhan memadai. Seperti berkurang atau bertambahnya keyakinan, rasa berdosa, rasa terpilih, perasaan damai setelah berzikir, dan sebagainya, tidak ditemukan dalam definisi tersebut.
1)   Agama, Religi, dan Din (pada umumnya) adalah satu sistem kredo atas adanya zat yang Mahamutlak, yang disertai sistem ritus kepada yang Mahamutlak tersebut, serta diikuti dengan sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang transendental.
b.      Agama Sebagai Simbol
                  Konsepsi yang berbeda, mendefinisikan agama sebagai suatu simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, bertahan lama pada diri manusia. Jadi, agama adalah sistem simbol yang berfungsi menguatkan dan memberi motivasi pada diri seseorang melalui pola tindakan berupa konsepsi-konsepsi mengenai aturan (hukum) dan kemudian mencerminkan pola tindakan yang mencerminkan kenyataan-kenyataan.
                   Konsepsi inilah yang digunakan oleh Geertz ketika mempetakan keberagamaan masyarakat Jawa dengan membaginya ke dalam tiga model;
1)      abangan,
2)      santri, dan
3)      priyayi.
2.      Kebudayaan
a.       Definisi Kebudayaan
           Adapun kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau menginterpretasikan keseluruhan tindakan manusia.[1]
1)      Kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Sebagai pola bagi tindakan, kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Sedangkan sebagai pola dari tindakan, kebudayaan adalah apa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang berdasar pada pedoman yang diyakini kebenarannya.
2)      Kebudayaan dalam definisi yang semakna adalah hasil pengolahan, pengerahan, dan pengarahan terhadap alam oleh manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi, dan berbagai dimensi ruhaniah lainnya) dan raganya, yang terwujudkan dalam berbagai segi kehidupan (ruhaniah) dan penghidupan (lahiriah) manusia. Hal ini merupakan jawaban atas segala tantangan, tuntutan, dan dorongan dari dalam atau luar diri manusia, demi terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual dan material) manusia, baik sebagai pribadi, masyarakat, maupun bangsa.[2]
           Suatu kebudayaan, dalam tataran praksisnya diungkapkan dengan upacara-upacara yang merupakan perilaku pemujaan atau ketaatan yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap suatu kepercayaan yang dianut. Dengan upacara-upacara tersebut, orang di bawah keadaan dimana getaran-getaran jiwa terhadap keyakinan mereka menjadi lebih kuat dari dalam. Dengan demikian, upacara tradisonal pada dasarnya berfungsi sebagai media komunikasi antara manusia dengan kekuatan lain yang ada di luar diri manusia.
           Merujuk dari uraian tersebut perlu dipahami bahwa untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya manusia juga memerlukan "regenerasi" semangat kehidupan sosial. Oleh karena itu, rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan oleh banyak kebudayaan sangatlah penting, misalnya dalam upacara hamil tua, upacara saat anak tumbuh, upacara memotong rambut pertama, upacara keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan si bayi untuk pertama kali, upacara sunatan, upacara perkawinan, upacara kematian dan sebagainya.
           Sebagai serangkaian ajaran atau doktrin, kebudayaan juga bukan sesuatu yang stagnan, karena ia diwariskan dari satu orang atau generasi kepada orang lain atau generasi berikutnya. Akibatnya, akan terdapat perubahan-perubahan, baik dalam skala besar maupun kecil. Dengan kata lain, bahwa kebudayaan tidak hanya diwariskan tetapi juga dikonstruksikan atau invented. Proses pewarisan tersebut melahirkan ide atau gagasan-gagasan baru yang dikembangkan dengan berpijak pada medan budaya setempat. Sehingga pemaknaan terhadap hakekat suatu benda dan perilaku yang dirituskan menghasilkan modifikasi baru terhadap budaya. Hal ini terjadi oleh karena dalam invented culture, kebudayaan dinilai sebagai serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition) sehingga pada akhirnya menjadi tradisi, yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan dengan masa lalu.
Sebagian upacara adat tidak dipungkiri merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan oleh umat muslim sendiri, sementara sebagian lain tidak jelas asalnya tetapi semuanya bernuansa Islam. Aktivitas lainnya mengacu kepada upacara adat yang bukan berasal dari Islam tetapi ditolerir dan dipertahankan setelah mengalami proses modifikasi islamisasi dari bentuk aslinya. Ritual-ritual adat dalam bentuknya yang sekarang tidak membahayakan keyakinan Islam, bahkan telah digolongkan sebagai manifestasi keyakinan itu sendiri dan digunakan sebagai syiar Islam khas daerah tertentu.
Budaya yang teraktualisasi dalam wujud adat mulai dipahami sebagai fenomena alam yang kehadirannya secara umum dan inheren memberi kontribusi terhadap perilaku manusia, hingga yang berkenaan dengan cara melakukan sesuatu, seperti menjalankan kewajiban agama dan perilaku sosial. Beberapa bentuk adat merupakan kreasi asli daerah, sedangkan yang lain mungkin berasal dari luar. Sebagian bersifat ritual, dan sebagian lain seremonial. Dari sudut pandang agama, ada adat yang baik (‘urf sahih) dan ada adat yang jelek (‘urf fasid); sebagian sesuai dengan syariat dan dinyatakan dalam kaidah fikih, sebagian lagi sesuai dengan semangat tata susila menurut Islam. Oleh karena itu, dalam suatu perayaan religius, paling tidak ada tiga elemen yang terkombinasi bersamaan: perayaan itu termasuk adat karena dilaksanakan secara teratur; juga bersifat ibadah karena seluruh yang hadir memanfaatkannya untuk mengungkapkan identitas kemuslimannya; dan juga pemuliaan pemikiran tentang umat di mana ikatan sosial internal di dalam komunitas pemeluk lebih diperkuat lagi.
Hal ini menjadi menarik karena ada praktek yang dicontohkan Nabi saw. yang melegalisasikan kebiasaan-kebiasaan purwa Islam menjadi sebuah sistem hukum. Hukum Islam selalu mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan tuntutan dan peluangnya. Peluang transformasi ini sekalipun terbuka lebar namun kendali efektif berjalan ketat sehingga keragaman interpretasi menjadi fenomena yang konfiguratif dalam wacana pemikiran hukum Islam tetap terjaga.
Mengambil kasus pada ranah keindonesiaan, tradisi yang dalam hal ini juga dimaknai sebagai adat memiliki sejarah pergulatan dalam teori-teori keberlakuan hukum Islam di Indonesia sejak masa kolonial. Hal ini dapat dilihat dari adanya perdebatan sengit dalam konsep penerapan beberapa teori pemberlakukan hukum Islam yang satu sama lain saling membantah, yaitu: teori receptio in complexu; teori antagonis/reseptie; teori receptie exit/teori receptio a contrario, dan teori existensi.
Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, telah memaparkan bagaimana Islam sebagai sistem nilai yang berpijak pada konsep tauhid dapat mempengaruhi sistem simbol kebudayaan apapun dan mewarnai kebudayaan tersebut. Kuntowijoyo kemudian membahasakan format akulturasi tersebut dalam istilah asimilasi kultural, asimilasi struktural, dan asimilasi agama. Ketika mengangkat kasus keturunan Tionghoa, tanpa meninggalkan kultur khas yang melekat pada tradisi mereka, etnis Tionghoa yang ada di Indonesia misalnya, telah melebur dalam asimilasi kultural melalui berbagai jalan, yaitu etnisisasi, Indonesianisasi, dan massifikasi. Pluralisme budaya yang mereka hadapi ketika berhadapan dengan asimilasi agama menjadikan etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam tidak lagi dikatakan memeluk agama mayoritas ataupun dianggap sebagai kemenangan ideologi mayoritas, tetapi bagaimana mencairkan kebekuan tradisi mereka untuk bisa saling mewarnai dengan ideologi lainnya.
3.      Akulturasi
a.       Definisi Akulturasi
Salah satu teori yang membahas tentang akulturasi telah dijelaskan oleh beberapa ahli adalah sbb:
1)      oleh J. Powel yang mengungkapkan bahwa akulturasi dapat diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya asing ke dalam budaya lokal tradisional. Budaya yang berbeda itu bertemu, yang luar mempengaruhi yang telah mapan untuk menuju suatu keseimbangan.
2)      Koentjaraningrat juga mengartikan akulturasi sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dan kebudayaannya.[3]
B.     Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal
Malinowski dalam bukunya yang berjudul The Dinamic of Culture Change mengemukakan teori untuk meneliti suatu proses akulturasi dengan pendekatan fungsional terhadap akulturasi (fungsional approach to acculturation).
Merupakan suatu kerangka yang terdiri dari tiga kolom;
1.      Pertama, menjelaskan tentang keterangan mengenai kebutuhan, maksud, kebijaksanaan, dan cara-cara yang dilakukan oleh agen atau ulama Islam yang didukung oleh pemerintah, untuk memasukkan pengaruh kebudayaan asing ke dalam suatu kebudayaan tradisional.
2.      Menjelaskan tentang jalannya proses akulturasi dalam suatu kebudayaan tradisional.
3.      Menjelaskan tentang reaksi masyarakat terhadap pengaruh kebudayaan Islam yang keluar dalam bentuk usaha atau gerakan untuk menghindari pengaruh tadi, atau sebaliknya untuk menerima dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebutuhan mereka sendiri.
Sebagai sistem yang menata kehidupan manusia, Islam bersikap terbuka terhadap budaya lokal. Alquran sendiri turun dengan asbab al-nuzulnya yang tidak lepas dari kerangka budaya Arab. Nilai-nilai moral dan tata pergaulan Arab banyak yang dipertahankan, seperti karim atau kedermawanan, muru’ah atau keperwiraan, wafa’ atau kesetiaan pada janji, dan ‘iffah atau memelihara kehormatan diri. Cara berpakaian, sebagian dari hukum keluarga dan sebagian dari tradisi berpolitik bangsa Arab pun tidak dibuang, bahkan sistem politik Islam diadopsi dari filosofi politik Arab, seperti akidah, kabilah, dan ganimah. Muhammad saw. tidak datang dengan suatu peradaban lengkap yang sama sekali baru, tetapi melengkapi peradaban yang sudah ada dan mendorong untuk berkembang dengan semangat dan orientasi baru. Hal-hal yang telah ada sebelumnya ada yang dibuang, ada yang diubah, dan ada yang dibiarkan berjalan sebagaimana adanya.
Berdasarkan hal itu, sikap Islam terhadap budaya lokal yang ditemuinya dapat dipilah menjadi tiga, yaitu:
1.      Menerima dan mengembangkan budaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan berguna bagi pemuliaan kehidupan umat manusia. Misalnya, tradisi belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang ditemui pada bangsa Persi dan Yunani. Para khalifah muslimin bahkan mendorong ilmuwan untuk menggalakkan penelitian dan penemuan baru.
2.      Menolak tradisi dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai contoh, kebiasaan minum khamar dan beristri banyak pada bangsa Arab dan berbagai bangsa lainnya.
3.      Membiarkan saja, seperti pada cara berpakaian sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip dasar Islam, yaitu menutup aurat dan tidak membahayakan pemakainya. Masalah model, corak, dan variasinya diberikan kebebasan untuk memilihnya.
                 Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini, diyakini bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Teori ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks kekinian, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syariah. Dalam pandangan mereka, jika syariah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.

C.    Wujud dan Tantangan Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal
             Seperti juga agama lain, Islam adalah kekuatan spiritual dan moral yang mempengaruhi, memotivasi, dan mewarnai tingkah laku individu. Menguraikan Islam yang tumbuh di kelompok masyarakat tertentu adalah menelusuri karakteristik Islam yang terbentuk dalam budaya atau tradisi yang populer di tengah masyarakat. Dengan asumsi bahwa, suatu budaya atau unsur tradisi bersifat islami ketika pelakunya bermaksud atau mengaku bahwa tingkah lakunya sesuai dengan jiwa Islam.
             Berangkat dari itu, tampak adanya pengaruh tertentu lingkungan budaya dalam ekspresi keagamaan seseorang. Begitupula tentang adanya kaitan antara kondisi geografis, klimatologis, dan subur-tandusnya suatu daerah dengan watak para penghuninya.
1.      Kajian para ahli tentang agama dan budaya
a.    Ibnu Khaldun
                Dalam bukunya yang masyhur, Muqaddimah. Ia bahkan memaparkan teori tentang pengaruh keadaan udara suatu daerah terhadap akhlak serta tingkah laku orang-orang setempat.

b.    Syahristani
                Yang menyinggung tentang teori peradaban manusia yang dipengaruhi oleh letak daerah huniannya, kemiripan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya berdasarkan jasmani dan tabiatnya. Semua itu ia tuangkan dalam kitabnya yang terkenal, al-Milal wa al-Nihal.
Jika penelitian Ibnu Khaldun dan al-Syahrastani benar, maka patut diduga bahwa ada pengaruh-pengaruh tertentu lingkungan hidup sekelompok manusia terhadap keagamaannya. Namun ini bukan berarti pembatalan segi universalitas suatu agama, apalagi agama Islam. Hal itu hanya membawa akibat adanya realitas keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama, yaitu keanekaragamaan berkenaan dengan tata cara (technicalities).
        Selain pada tingkat yang diabstraksikan oleh oleh Ibnu Khaldun dan al-Syharastani tersebut, akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya lokal juga ditemukan dalam hal-hal praktis dan kongkret terkait dengan ekspresi keagamaan maupun budaya. Sarung, songkok, sejadah, dan tasbih misalnya, merupakan contoh nyata yang dapat ditunjuk dengan mudah. Tidak ada universalitas dalam penggunaan sarung dan songkok, namun secara kultural lokal, keduanya telah menjadi lambang keislaman.
Kompromi Islam dengan budaya lokal juga banyak terbantu oleh penyebaran Islam yang dibawa oleh para sufi. Sufisme (tasawuf) dapat dikatakan mewakili segi paling intelektual agama Islam dibandingkan dengan fikih yang berpandangan lebih praktis dan kalam yang cenderung defensif. Dalam masa-masa kemunduran politik dan militer Islam, kaum Sufi berjasa menjaga eksistensi dan elan (semangat perjuangan) agama Islam, untuk kemudian menyebarkannya ke daerah-daerah lain tanpa penaklukan militer. Pengaruh ajaran sufi inilah yang juga dialami pada Islam Jawa yang dikenal dengan istilah Islam ”kejawen” sebagai bias dari pengislaman mistisisme Jawa meskipun oleh sebagian orang menilainya sebagai bentuk sinkretisme.
Kajian tentang Islam oleh para ahli dari Barat, khususnya Amerika, cenderung menganggap tidak begitu penting unsur keislaman dalam budaya Indonesia. Sikap ini disebabkan oleh banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur-unsur budaya lokal yang membuat Islam Indonesia berbeda daripada Islam di wilayah lainnya. Selain secara geografis Indonesia adalah negeri Muslim yang paling jauh dari dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah, Indonesia adalah negeri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Ditambah lagi oleh adanya serangan imperialis dengan jargon nasionalisme dan demokratisasinya ikut menghambat intensifikasi pengislamannya. [4]Kondisi inilah yang menjadikan Islam di Indonesia sering dipandang belum bersifat Islam sebenarnya, dengan akibat diabaikannya unsur Islam dalam memahami budaya Indonesia.
Di luar lingkaran spiritualisme dan kesufian, serta berbagai bidang lain, Islam sangat kuat mempengaruhi budaya Indonesia di bidang kemasyarakatan dan kenegaraan. Jika hanya dibatasi pada perumusan nilai-nilai Pancasila saja, maka unsur-unsur Islam itu akan segera tampak dalam konsep-konsep tentang adil, adab, rakyat, hikmat, musyawarah, dan wakil. Lebih dari itu, dapat disebutkan bahwa rumusan sila keempat Pancasila sangat mirip dalam ungkapan bahasa Arab yang sering dijadikan dalil dan pegangan oleh para ulama, ra’sul hikmah al-masyurah (pangkal kebijaksanaan ialah musyawarah).
c.       Kutipan Bill Dalton yang ditulis oleh Nurcholish Madjid juga layak untuk disimak. Dalam buku Indonesian Handbook.
        Dalton mengatakan bahwa daya tarik utama Islam bersifat psikologis. Islam secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan yang kedatangannya ke Nusantara menjadi konsep revolusioner yang sangat kuat. Sebelum Islam datang, Raja adalah seorang penguasa mutlak, yang dapat merampas tanah rakyatnya, bahkan istrinya, kapan saja ia mau. Kedatangan Islam telah membebaskan banyak orang dari belenggu feodal Hindu dengan mengajarkan bahwa semua orang di mata Allah adalah sama, tak seorang pun dibenarkan untuk diistimewakan sebagai lebih unggul. Tidak ada sakramen ataupun acara-acara inisiasi yang misterius, juga tidak ada kelas pendeta/ulama dalam Islam. Islam memiliki kesederhanaan yang hebat dengan hubungannya yang langsung antara pribadi manusia dengan Tuhan.
Studi terhadap sejarah teori hukum Islam dalam dunia intelektual Islam selalu berkaitan dengan pergulatan hukum dan tradisi yang seiring dengan islamisasi. Hal ini disebabkan oleh aktualisasi ajaran yang mengalami pengembangan ruang geografis yang menembus sekat tradisi masyarakat. Tradisi yang merupakan sebuah interpretasi budaya menjadi sesuatu yang amat diperhatikan dalam penetapan hukum.
Persentuhan antara Islam dengan budaya lokal kemudian juga disikapi secara epistemologis oleh ilmu usul fikih dengan lahirnya kaidah yang menyatakan bahwa “adat dapat menjadi hukum (al-adah muhakkamah)” yang oleh Nurcholish Madjid dimaknai bahwa budaya lokal adalah sumber hukum dalam Islam.[5] Meskipun lahirnya kaidah ini bisa dianggap sebagai wujud rekonsiliasi Islam dengan budaya lokal untuk menghindari terjadinya penolakan dalam proses islamisasi, namun wujud rekonsiliasi tersebut banyak ditemukan dalam filosofi beberapa wilayah nusantara yang mengalami islamisasi secara top down.
Sejalan dengan itu, penelitian tentang sejarah perjalanan hukum Islam menemukan bahwa faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai produk-produk pemikiran hukum Islam dalam bentuk kitab fikih, peraturan perundang-undangan di negeri Muslim, keputusan pengadilan, dan fatwa-fatwa ulama. ‘Abd al-Wahhab Khallaf juga menguraikan bahwasanya para pembangun mazhab dahulu juga tidak menafikan unsur-usnur tradisi dalam sisitem hukum yang mereka kembangkan. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar praktek penduduk Madinah. Abu> Hanifah dan para pendukungnya beraneka ragam dalam hukum-hukum mereka berdasarkan aneka ragamnya adat kebiasaan mereka. Imam al-Syafi’i setelah berdiam di Mesir merubah sebagian hukum-hukum perubahan adat kebiasaan (dari Irak ke Mesir) sehingga ia mempunyai dua pandangan hukum (qawl al-qadim dan qawl al-jadid).[6]
d.      Robert N. Bellah sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid,
                  Bahwa Islam datang ke Indonesia juga melewati proses akulturasi dengan warisan budaya Persia (Iran/Arya). Terlepas dari kontroversi sekitar kapan, dari mana, dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia, tapi pengaruh unsur-unsur budaya Persia dalam Islam di Indonesia dapat dilihat dalam bidang bahasa. Diketahui, hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia diadopsi melalui bahasa Persia. Ini dibuktikan dari contoh ta’ marbut}ah, huruf ”t” yang jika berhenti, berubah ejaannya menjadi huruf ”h”, dan jika disambung dengan huruf hidup tetap dieja dengan ”t”. Hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia dengan akhiran ta’ marbut}ah dibaca (dalam wakaf) sebagai ”t”, seperti kata adat, berkat, dawat, hajat, jemaat, kalimat, masyarakat, niat, rahmat, sifat, tobat, warkat, zakat, dan lain-lain. Kemudian setelah itu menyusul adopsi langsung dari bahasa Arab, dengan ciri-ciri akhiran ta’ marbut}ah dieja sebagai ”h” pada wakaf, seperti jerapah, gairah, makalah, mahkamah, muamalah, usrah, zarrah, dan lain-lain.[7]
Begitupula pada sistem stratafikasi sosial-politik, unsur Aryanisme telah ikut mengukuhkan sistem masyarakat Islam yang hirarkis warisan Bani Umayyah yang sesungguhnya menjadi polusi ke dalam sistem dan prinsip-prinsip Islam klasik. Jadi, sistem yang bertingkat-tingkat pada masyarakat Islam Indonesia yang tidak egaliter sepenuhnya, seperti pada masyarakat Islam klasik, sebagian adalah akibat faktor-faktor historis tersebut. Sebagian lagi adalah akibat interaksi ajaran Islam dengan budaya setempat yang diketahui telah terlebih dahulu mengalami Aryanisasi melalui agama-agama india (Hindu dan Budha). Beberapa bentuk unsur luar yang sempat masuk ke dalam praktek-praktek Islam itu mengalami banyak penyimpangan dari norma-norma ajaran Islam yang kemudian menjadi sasaran empuk gerakan pembaruan kaum purifikasi.
2.      syarat atau prinsip-prinsip agar Islam dan kebudayaan lokal dapat berakulturasi, maka diperlukan beberapa berikut:
a.       Principle of unitility; unsur-unsur kebudayaan harus dapat dimanfaatkan untuk menggantikan unsur-unsur kebudayaan lama. Misalnya, tradisi selamatan dalam Islam dapat menggantikan tradisi kurban atau sesaji.
b.      Principle of function; unsur kebudayaan baru itu harus mampu menggantikan fungsi kebudayaan lama. Misalnya, tradisi ziarah makam dalam Islam menggantikan tradisi pemujaan arwah leluhur.
c.       Principle of concretness; unsur kebudayaan baru harus dapat dipergunakan dengan konkrit dalam masyarakat. Misalnya, salat sebagai pengganti selamatan untuk menghormati arwah leluhur dan penyembahan kepada dewa dan roh.
d.      Principle of early learning, unsur-unsur kebudayaan baru itu sesuai dengan budaya yang pertama kali dipelajari dalam proses sosialiasi masyarakat yang didatangi itu. Misalnya, penghormatan Islam terhadap bangsa Indonesia yang sejak dulu menghormati para kepala suku, para dukun, serta para pendeta.
e.       Principle of integration; unsur-unsur kebudayaan baru itu dapat diintegrasikan dengan pola-pola kebudayaan yang didatanginya. Misalnya, unsur kekeluargaan, unsur demokrasi, unsur sosial dengan sedekah maupun ibadah dari ajaran Islam dapat diintegrasikan dengan pola-pola kehidupan lokal.
Dalam wujud praksisnya, pengaruh Islam kemudian juga dirasakan dalam upacara-upacara sosial budaya. Di Sumatera terdapat upacara ”tabut” untuk memperingati mawlid (kelahiran) Nabi saw. yang di Jawa dikenal dengan ”sekaten” dan di Takalar dikenal dengan ”maudu’ lompoa”. Dalam pertunjukan-pertunjukan kesenian populer tradisional juga tak luput mendapat pengaruh Islam. Mulai dari seni tari (Jipen, Zaman, Seudati, Srandul, Kuntulan, Emprak, dan Badui), seni musik (gambus dan kasidah), kaligrafi, sastra, arsitektur, hingga seni bela diri dan pedukunan/santet, tidak dapat disangkal adanya pengaruh Islam yang sangat kuat.
Sejatinya, Islam adalah agama yang lahir dari hasil dialektika antara kehendak Allah dan kebudayaan manusia, atau lebih khusus lagi tradisi lokal Arab pra-Islam. Oleh karena itu, wajar jika kenyataan tersebut kemudian mendorong sebagian kalangan menghendaki agar dimensi partikular yang ada dalam Islam dibedakan dari dimensi universalitasnya. Meskipun demikian ini bukan berarti tidak menghormati satu tradisi yang telah memoles tampilan Islam, tetapi tentu akan lebih bijak jika tradisi yang telah memberikan kontribusi bagi peradaban Islam itu dibaca kembali dengan menggunakan perspektif kekinian. Sebab, bagaimanapun juga perubahan waktu dan tempat pasti menghendaki pembaharuan cara pandang terhadap agama, tanpa menghilangkan semangat dan nilai moral yang dikandungnya.



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Seluruh hasil budaya suatu suku bangsa ataupun kelompok masyarakat adalah sosok dari jati diri pemilikinya. Namun, jati diri tersebut bukanlah sesuatu yang harus statis. Ungkapan-ungkapan budaya dapat mengalami perubahan, fungsi-fungsi dalam berbagai pranata dapat pula mengalami perubahan. Perubahan itu dapat terjadi oleh rangsangan atau tarikan dari gagasan-gagasan baru yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Pada satu titik, rangsangan dan tarikan dari luar itu bisa amat besar tekanannya sehingga yang terjadi bisa bukan saja pengayaan budaya, melainkan justru pencerabutan akar budaya untuk diganti dengan isi budaya yang sama sekali baru dan tak terkait dengan aspek tradisi mana pun. Jika itu yang terjadi, warisan budaya sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk membentuk jati diri bangsa. Situasi yang lebih lunak dapat terjadi, yaitu jati diri budaya lama berubah oleh pengambilalihan unsur-unsur budaya lain secara besar-besaran (sebagaimana yang dikenal sebagai akulturasi), yang pada gilirannya membentuk suatu sosok baru, namun masih membawa serta sebagian warisan budaya lama yang dapat berfungsi sebagai ciri identitas yang berlanjut.
Islam, di manapun, adalah agama wahyu yang mengklaim diri sebagai penerus dan penyempurna tradisi Judeo-Kristiani. Pada gilirannya, Islam membangun tradisi baru yang berintikan jalinan tiga sendi, yaitu iman (percaya), Islam (berserah diri), dan ihsan (berbuat baik). Dari sini berkembang seperangkat sistem kepercayaan, ritual, dan etik behavioral yang kompleks namum penerapannya bisa lentur sehingga dalam batas-batas tertentu ada ruang yang cukup bagi terjadinya proses adopsi, adaptasi, dan akomodasi secara jenius dengan budaya lokal. Dengan demikian, walau inti ajaran Islam sama (universal) namun artikulasinya bisa beragam sesuai dengan konteks lokal dan sosial di mana pemeluknya berada. Berbagai tradisi lokal yang telah mengalami persentuhan Islam yang pada akhirnya diklaim sebagai budaya Islam hampir semuanya berakar pada wahyu atau mendapatkan pembenaran di dalam sumber hukum Islam yang paling mendasar, Alquran dan hadis. Terlepas apakah dasar pembenaran tersebut dapat diterima atau sesuai dengan kaum Muslim lainnya, hal tersebut lebih merupakan debat teologi internal di dalam tubuh masyarakat Muslim daripada subyek penilaian pengamat.
Dengan demikian, Islam menjadi sesuatu yang menyatu dengan tradisi, sehingga tidak ada kakagetan atau keterkejutan budaya. Selain itu, Islam kemudian dapat ditampilkan sebagai suatu tradisi budaya yang membawa arah baru dengan bahan yang sebenarnya sudah dikenal, tidak membawa keterasingan, sehingga mudah diterima. Berangkat dari itu, setiap kabajikan yang dilakukan seorang muslim sesungguhnya adalah perwujudan sikap ihsan yang merupakan hasil kreasi dari buah iman dan Islam yang dimilikinya. Sikap ihsan tersebut diaktualisasikan dalam budaya tutur, sikap dan perilaku yang mencerminkan Islam yang rahmatan li al-alamin.
B.     Saran
Demikianlah materi pembahasan yang paparkan pada bab II, terkait tentang tema yang dibahas yaitu akulturasi Islam dan budaya local di indonesia. Besar harapan makalah ini mampu  memberikan sumbangan untuk menambah khazanah keilmuan di bidang ilmu khususnya  Studi Pradaban.


















DAFTAR PUSTAKA

Syaiful  Arif,. Deradikalisasi Islam; Paradigma dan Strategi Islam Kultural. Cet. I; Jakarta: Koekoesan, 2010.
Busthanul  Arifin,. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Bisri, Cik Hasan (ed.) Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
H.A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Cet: III; Jakarta: Dian Jakarta, 1990.






[1] Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Cet: III;  (Jakarta: Dian Jakarta, 1990). h. 13-33.
[2] Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, h.49.
[3] Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, h. 82.
[4] Syaiful  Arif,. Deradikalisasi Islam; Paradigma dan Strategi Islam Kultural. Cet. I; (Jakarta: Koekoesan, 2010), h. 76.
[5] H.A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.), h.30.

                         [6] Busthanul  Arifin,. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. Cet. I; (Jakarta: Gema Insani Press, 1996.), h.37.

   [7] Busthanul  Arifin,. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. H.39-40.