MAKALAH
POLITIK HUKUM
Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya Hukum Waris
Positif Di Indonesia
OLEH
IJAN SURYADI
NIM:152.121.020
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI
ISLAM INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik
Allah Swt, yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga karya ini
mampu jadi dan sempuena, seawat dan serta salam kita haturkan kepada Nabi
Muhammad Asw,berserta keluarga dan para sahabatnya dan pengikutnya hinggan hari
kiamat.
Makalah yang
berjudul Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya Hukum Waris
Positif Di Indonesia ini merupakan makalah yang mengkaji tentang penerapan dan
perkembangan hokum waris di Indonesia yang diakibatkaln oleh polituk hokum,
Dengan demikian maka makalah ini akan mengakaji materi tengang Perkembangan
Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif Di
Indonesia yang pembahasan nya akan di
bahan pada bab selanjutnya.
Demikianlah kata pengatar yang bisa kami samapaikan
mudah-mudahan makalah ini dapat bermamfaat bagi kita semua. Aimin
Mataram, 2 November 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAM SAMPUL............................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah............................................................... 1
B.
Rumusan masalah........................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Politik Hukum di
Indonesia ................................ 4
B.
pengaruh Perkembangan Politik Hukum
terhadap Hukum Waris Positif 7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ................................................................................. 16
B.
Saran ......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum adalah seperangkat peraturan
tingkah laku yang berisi perintah/ anjuran, larangan, dan ada sanksi (upaya
pemaksa) bagi para pelanggarnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi
masyarakat Indonesia di masa ini dan masa yang akan datang dalam rangka
membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945
yang mempunyai tujuan negara yang berorientasi pada konsep negara kesejahteraan
dengan sendirinya hukumnya akan mengarah pada pencapaian tujuan hukum tersebut.
Berdasarkan pasal II AP UUD
1945 yang sekarang telah berubah menjadi pasal I AP UUD 1945
amandemen telah mengisyaratkan kepada pembentuk undang-undang di Indonesia
agar dapat mewujudkan cita-cita hukum nasional. Untuk dapat memenuhi cita-cita
hukum diperlukan pembangunan hukum dan pembinaan hukum. Pembangunan hukum
mengarah kepada pengertian pembentukan hukum baru dengan antara lain dengan
mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang
tertentu, sedangkan pembinaan hukum berorientasi dengan melakuakan sebuah
pembinaan terhadap hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan dilakukan
sebagai langkah yang strategis untuk mencapai pembangunan hukum nasional yang
tidak lagi mengenal penggolongan penduduk dan bersifat unifikasi.
Hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat ditandai dengan adanya perubahan masyarakat dan perubahannya
tersebut sudah terarahkan atau diarahkan tercapainya politik
hukum dibidang hukum yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang.
Dalam Hukum Waris politik
hukumnya dimulai dengan melakukan perubahan pada aspek hukum keluarga dan
perkawinan melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
Maka untuk penyusunan hukum nasional
diperlukan adanya konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum yang berasal dari hukum
adat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh
bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah Unifikasi
Hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Salah satu inti dari unsur hukum
adat guna pembinaan hukum waris nasional dalam Hukum Waris Adat,
oleh karenanya bahan-bahan hukum waris adat perlu diketengahkan dengan jalan
melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan untuk
dapat mengetahui dari berbagai system dan asa hukum waris adat yang terdapat di
seluruh wawasan nusantara ini dapat di cari titik temu.dan kesesuainya dengan
kesadaran hukum nasional
Menurut perkiraan kita kesadaran
hukum nasional yang menyangkut hukum waris adat adalah pada tempatya apabila
hak-hak kebendaan atau warisan tidak lagi dibedakan antara pria dan wanita
untuk sebagian besar bangsa Indonesia dalam hal ini kita berada pada garis
demokrasi antara hukum adat dengan Islam yang mana hukum Islam itu pada
sebagian besar masyarakat yang beragama Islam belum berlaku sebagaimana
mestinya. Di sebagian besar masyarakat kecuali di beberapa daerah atau pada
kelompok terbatas masih berpegang pada hukum waris adat kemudian mengenai hukum
waris adat itu sendiri terhadap sistem dan asas-asas hukumnya yang
berbeda-beda.
B.
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut
diatas dapat di ambil rumusan masalah :
1.
Bagaimanakah Perkembangan Politik
Hukum di Indonesia ?
2.
Apa pengaruh Perkembangan Politik
Hukum terhadap Hukum Waris Positif ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Perkembangan Politik Hukum
Dilihat dari perubahan masyarakat
karena pengaruh hukum, maka kajian ini sudah menyentuh sudut pandang Politik
Hukum Nasional. Menurut Bellefroid politik hukum adalah suatu
disiplin ilmu hukum yang mengatur tentang cara bagaimana merubah ius
constitutum menjadi ius constituendum, atau menciptakan hukum baru
untuk mencapai tujuan mereka. Selanjutnya kegiatan politik hukum meliputi
mengganti hukum dan menciptakan hukum baru karena adanya kepentingan yang
mendasar untuk dilakukan perubahan sosial dengan membuat suatu regeling
(peraturan) bukan beschiking (penetapan).[1]
Dalam kajian politik hukum dengan
sendirinya akan memperhatikan fungsi hukum, seperti yang disebutkan
oleh Roscou Pond:
1.
Law as a tool of social control,
yaitu hukum sebagai alat pengendali masyarakat. Artinya hukum berfungsi sebagai
penjaga tata tertib masyarakat. Apabila ada yang melanggar akan dikenai
sanksi sebagai wujud dari fungsi kontrol sosialnya. Dalam hal ini hukum
berposisi di belakang masyarakat.
2.
Law as a tool of social engineering,
yaitu hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat. Dalam hal ini hukum
berposisi berada didepan masyarakat, hukum membawa dan menggerakkan masyarakat
untuk berubah dan bergerak kearah yang telah ditentukan.
Selain kedua fungsi hukum tersebut
di atas, oleh Muchsan ditambah dengan satu fungsi lagi, yaitu
sebagai law as a tool of social empowering, yaitu hukum berfungsi sebagai
yang memberdayakan masyarakat, agar masyarakat ikut berperan/ berpartisipasi
dalam pembangunan. Dalam hal ini hukum berposisi di dalam masyarakat.[2]
Dalam politik hukum ada salah
satu fungsi hukum yang menonjol, yaitu sebagai law as a tool of social
engineering. Artinya hukum sebagai produk politik hukum akan menjadi sangat
berpengaruh dalam perubahan masyarakat, sebab melalui hukum tersebut masyarakat
berubah secara menyeluruh pola perilakunya untuk menyesuaikan dengan ketentuan
hukum yang diberlakukan.
Hukum waris di Indonesia sejak
dahulu sampai saat ini masih beraneka-ragam bentuknya, masing-masing golongan
penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan
ketentuan Pasal 163 IS Jo. Pasal 131 IS. Golongan penduduk tersebut terdiri
dari :
a.
Golongan Eropa
b.
Golongan Timur Asing
c.
Golongan Bumi Putera.
Dan untuk hukum waris positif atau
hukum waris yang sedang berlaku di Indonesia terbagi menjadi 3 macam hukum
waris. Hukum waris tersebut adalah :[3]
a.
Hukum waris adat.
b.
Hukum waris Islam.
c.
Hukum waris BW/ perdata.
Dalam pemakaian hukum waris di
setiap golongan-golongan tersebut diberlakukan berbeda-beda, hal ini dapat
dilihat sebagai berikut :
a.
Golongan Eropa : menggunakan hukum
waris BW/ perdata.
b.
Golongan Timur Asing :
1)
Cina : menggunakan hukum waris BW/
perdata.
2)
Bukan : Cina menggunakan hukum waris
adat.
c.
Golongan bumi putera : menggunakan
hukum waris adat/ hukum waris Islam.
Dasar hukumnya dan juga dapat
diambil beberapa teaching point yaitu :
1)
Secara normatif bahwa hukum waris
adalah bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang berlaku di Indonesia.
2)
Adanya ketentuan pasal 163 IS yo
pasal 131 IS, yang dimana pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pergolongan
rakyat dan pluralisme hukum. Dan juga dalam pasal-pasal ini politik hukum ikut
diberlakukan.
Atas pertimbangan secara historis
sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan sekarang ternyata terdapat
pergeseran dan perbedaan arah politik hukumnya. Pada jaman pemerintahan Hindia
Belanda Politik Hukumnya terlihat pada adanya Politik Pergolongan Rakyat, yang
dibagi dalam 3 golongan yaitu: Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan
Golongan Bumi Putera. Selanjutnya keadaan tersebut diteruskan oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan sedikit-sedikit dan secara bertahap dilakukan
perubahan ke arah hanya ada 1 golongan masyarakat yaitu Masyarakat Nasional.
Arah politik hukum dari pemerintah
Republik Indonesia dalam menghadapi masih adanya golongan rakyat tersebut dan
adanya perkembangan kewenangan Pengadilan Negeri maupun kewenangan Pengadilan
Agama, khususnya di bidang Hukum Kewarisan yang dihadapkan pada adanya
Pemilihan Hukum, ternyata menggambarkan adanya cara berfikir yang tidak lagi
didasarkan pergolongan rakyat, akan tetapi berorientasi pada hak yang dimiliki
Pengadilan Negeri maupun oleh Pengadilan Agama. Dan di sisi lain apabila
menyinggung pembicaraan tentang Hukum Adat pandangan kita akan tertuju pada
gambaran adanya masyarakat setempat yang di Indonesia terdapat banyak sekali
corak dan bentuk dari masyarakat setempat dan terdapat pula adanya aneka ragam
agama yang dianut oleh masyarakat.
B.Pengaruh Perkembangan Politik Hukum terhadap berlakunya Hukum Waris
Positif.
yakni golongan warga negara
Indonesia tanpa diembel-embeli, maka sudah pada Dengan dihapuskan penggolongan
warga negara Indonesia berdasarkan keturunan atau class menjadi hanya hanya 1
(satu) golongan warga negara
tempatnya berlaku
pula hukum kodifikasi untuk golongan warga negara tersebut. Akan tetapi di
dalam kenyataannya sampai saat ini cita-cita untuk membentuk Hukum Kewarisan
Nasional belum juga terwujud.
Suasana pluralistis Hukum
Kewarisan, kenyataannya masih tetap mewarnai sistem dan penerapan Hukum
Kewarisan di Indonesia. Pada hal sebagai negara yang telah lama merdeka sudah
pada tempatnya apabila Hukum Kewarisan yang berlaku di dalam masyarakat
berbentuk kodifikasi dan unifikasi. Karena dengan hukum kodifikasi dan
unifikasi dapat menjadi sarana efektif di dalam mempererat rasa
persatuan dan kesatuan bangsa, di samping untuk menciptakan
kepastian dan ketertiban hukum di dalam masyarakat tanpa meninggalkan prinsip-prinsip
atau kaedah-kaedah agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat.[4]
Agar lebih memudah memahami
bagaimana pengaruh dari perkembangan poltik hukum, kita dapat menganalisanya
melalui produk hukumnya yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Undang-Undang No 7 Tahun 2009.
1.
Pengaruh Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan sebagai produk unifikasi hukum terhadap Hukum Waris
Positif di Indonesia
Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka dalam hal ini berlaku asas “Lex Posterior
Derogate Lex Priori“, yaitu bahwa undang-undang baru membatalkan undang-undang
terdahulu sejauh undang- undang tersebut mengatur hal yang sama.[5]
Dan sejak diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut maka tidak diberlakukan
lagi hukum perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata. Dan konsekuensinya adalah
bagi orang- orang yang melakukan perkawinan sebelum diberlakukan UU Nomor 1
Tahun 1974 mereka tunduk pada sistem hukum waris KUHPerdata (BW), dan bagi
orang- orang yang melakukan perkawinan setelah adanya UU No 1 Tahun 1974 maka
tidak diberlakukan lagi hukum waris menurut KUHPerdata.
Indonesia mengenal tiga macam sistem
hukum waris sebagai hukum positif yaitu Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW),
Sistem Hukum Waris Adat dan Sistem Hukum Waris Islam. Hal ini berdasarkan atas
ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, secara yuridis yang dimaksud
dengan peralihan yaitu berlaku sementara sepanjang belum ditentukan hukum yang
baru atas dasar UUD 1945 sebagai Hukum Nasional. Sistem hukum waris positif
saat ini hanya berlaku sementara atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
sampai terbentuk peraturan baru yang bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945
dan Pancasila. Sebagai suatu sistem, hukum waris mempunyai hubungan yang
bersifat sistemik dan sebagai akibat dari Sistem Hukum Keluarga dan dan Hukum
Perkawinan. Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mengatur Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Kedudukan suami Isteri di dalam
perkawinan dan Harta Benda Perkawinan yang berbeda dengan prinsip KUH Perdata
(BW).
Sejak berlakunya Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketiga Sistem Hukum Waris Positif posisinya
mulai terlihat bersifat sementara, terutama Sistem Hukum Waris BW. Sebagai konsekuensinya,
Hukum Perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata (BW) dinyatakan tidak berlaku
lagi sejak saat di undangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Maka Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW) hanya berlaku bagi orang
yang semula tunduk kepada KUH Perdata (BW) yang melangsungkan perkawinannya
sebelum di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan mereka yang
yang melakukan perkawinan seteleh di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tidak lagi diberlakukan ketentuan hukum waris menurut KUH Perdata (BW).
Untuk Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum Adat masih berlaku sebagai hukum
positif karna secara historis kedua sistem tersebut telah lama hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang sama yaitu masyarakat Indonesia yang beragama
Islam, khususnya dalam bidang Hukum waris kedua sistem tersebut memegang
peranan penting dalam mewujudkan cita-cita hukum yaitu sebagai sumber hukum
terbentuknya Hukum Nasional. Berbeda dengan posisi Sistem Hukum Waris KUH
Perdata (BW), Sistem Hukum Waris Islam dan Sistem Hukum Waris Adat kedepan akan
menjadi sumber hukum potensial dalam terbentuknya Hukum Waris Nasional.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan merupakan salah satu bentuk produk Hukum Nasional yang
bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila. Berkaitan dengan bidang
hukum waris, maka dalam hal ini pembentuk Undang-undang melalui UU No. 1 Tahun
1974 melakukan perubahan politik hukum terhadap aspek hukum keluarga dan
perkawinan.
bertujuan membentuk keluarga, dan
keluarga akan menjadi dasar pembentukan masyarakat nasional (basic sosial
structure). Dengan di tetapkannya politik hukum di bidang hukum keluarga dan
perkawinan maka prinsip-prinsip dasar keluarga yang di berlakukan secara
nasional merupakan nilai baru yang menjadi arah dalam melakukan sosial
engeneering. Perubahan yang dimaksud ialah perubahan masyarakat secara
revolusioner yang berorientasi pada politik hukum nasional yaitu unifikasi
hukum dan tidak adanya pergolongan penduduk dengan prinsip persamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara Indonesia sehingga tidak
lagi berorientasi pada politik hukum Pemerintahan Hindia Belanda yaitu
pluralisme hukum dan adanya pergolongan penduduk di Indonesia.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
merupakan bentuk unifikasi hukum berdasarkan politik hukum nasional dan di
berlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia di seluruh wilayah hukum
Republik Indonesia. secara normatif terjadi perubahan revolusioner dan mendasar
terhadap sistem hukum perkawinan dan struktur hukum keluarga masyarakat
Indonesia karena Undang-undang tersebut di berlakukan secara serentak bagi
seluruh warga negara Indonesia sejak saat di berlakukan.
Dengan telah di berlakukannya
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk
yang beragama Islam, maka para ulama membentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI)
sebagai hasil dari interpretasi hukum mengenai hukum keluarga dan perkawinan
serta hukum waris dengan berlandaskan Inpres No. 1 Tahun 1991.
UU No. 1 tahun 1974 ini sangat
berarti dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain
menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun
1974 tentanng Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan
Pelaksanaanya, maka terbit pulalah ketentuan Hukum Acara di Peradilan Agama,
biarpun baru sebagian kecil saja. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menampak menjelaskan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem
peradilan di Indonesia. Hanya saja putusan dan penetapan Pengadilan Agama tidak
dapat dilaksanakan sebelum ada pengukuhan dari Peradilan Umum.
Sebelum Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 Tentang Pengadilan Agama Hukum Waris Positif masih berorientasi pada
politik hukum Pemerintah Hindia Belanda yaitu, adanya pluralisme hukum dan
pergolongan penduduk. Satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa dan
mengadili perkara warisan adalah Pengadlan Negeri, opsi hukum atau choice of
law terjadi karena golongan penduduk dari masyarakat Bumi Putera yang beragama
Islam berada pada dua wilayah hukum, yaitu Hukum Islam dan Hukum Adat.
Jika mereka tidak menggunakan haknya
untuk melakukan pilihan hukum maka oleh Pengadilan Negeri akan diterapkan Hukum
Adat dan dalam pandangan Pemerintah Hindia Belanda Hukum Islam bukan
Undang-undang melainkan hanya bagian dari Hukum Adat. dalam hal ini para pihak
dapat mengajukan permohonan pada hakim agar perkara warisnya di periksa dan di
adili dengan menggunakan Hukum Islam. Pada waktu itu Pengadilan Agama hanya
mempunyai kewenangan dalam aspek NTR (Nikah, Talak, dan Rujuk).
Arah politik hukum dari pemerintah
Republik Indonesia dalam menghadapi masih adanya golongan rakyat dan adanya
perkembangan kewenangan Pengadilan Negeri maupun
kewenangan Pengadilan Agama, khususnya di bidang Hukum Kewarisan yang dihadapkan
pada adanya Pemilihan Hukum, ternyata menggambarkan adanya cara berfikir
yang tidak lagi didasarkan pergolongan rakyat, akan tetapi berorientasi pada
hak yang dimiliki Pengadilan Negeri maupun oleh Pengadilan Agama. Dan di sisi
lain apabila menyinggung pembicaraan tentang Hukum Adat pandangan
kita akan tertuju pada gambaran adanya masyarakat setempat yang di Indonesia
terdapat banyak sekali corak dan bentuk dari masyarakat setempat dan terdapat
pula adanya aneka ragam agama yang dianut oleh masyarakat.
Dengan berlakunya Undang-Undang
tentang Peradilan Agama maka hal itu semakin menegaskan bahwa Politik
Hukum di Indonesia tidak lagi mengenal Penggolongan
Penduduk dengan diperluasnya kewenangan mengadili dari Pengadilan Agama
untuk memeriksa, dan menyelesaikan pembagian warisan bagi WNI yang
beragama Islam, dan kepada mereka diperkenalkan Opsi Hukum (pasal 49
Undang-Undang No 7 tahun 1989).
Tetapi kemudian dengan lahirnya
Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama maka semakin menambah kejelasan Politik Hukum di
Indonesia/Nasional dengan mempertegas diterapkannya Pengadilan
Agama dengan menghilangkan Opsi Hukumnya.
2.
Pengaruh Undang-Undang No 7 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama sebagai produk unifikasi hukum terhadap Hukum
Waris Positif di Indonesia.
Pada tahun 1989, pemerintah
menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang
ini menetapkan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan hal-hal yang
berhubungan dengan warisan atau faraid. UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3
tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak hanya sebatas mengadili
masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi
juga bidang usaha ekonomi syari’ah.
BAB III
PENUTUP
A.kesimpulan
Perkembangan Politik Hukum terhadap
hukum waris positif di Indonesia Politik hukum di Indonesia mengalami
perkembangan, dari yang awalnya menganut konsep Penggolongan Penduduk dan
Pluralisme Hukum berkembang menjadi hanya ada 1 Golongan Penduduk dan
Unifikasi Hukum.
Pengaruh Perkembangan Politik Hukum
terhadap Hukum Waris Positif Dengan dihapuskan penggolongan warga negara
Indonesia berdasarkan keturunan atau class menjadi hanya hanya 1 (satu)
golongan warga negara yakni golongan warga negara Indonesia tanpa
diembel-embeli, maka sudah pada tempatnya berlaku pula hukum kodifikasi untuk
golongan warga negara tersebut. Akan tetapi di dalam kenyataannya sampai saat
ini cita-cita untuk membentuk Hukum Kewarisan Nasional belum juga terwujud.
B.Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali.. Hukum Waris,
Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. (Jakarta : Rineka Cipta. 1997)
Ahlan Sjarif, Surini.. Intisari
Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
(Jakarta : Ghalia Indonesia. 1986)
Ependi Perangin,hokum waris,(jakrta, PT Raja Grapindo Persada, 2008)
Eman Suparman,hokum waris di Indonesia,(Bandung, PT Rafika Aditama,
2007)
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris
Indonesia Menurut : Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. (Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti. Cet. II. 1996. )
Mohd. Idris RamulyoBeberapa
Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk
Wetboek). (Jakarta : Sinar Grafika. . 1996. )
Moh.Mahfud MD,politik hokum di Indonesia,(Jakarta,PT
Raja Grafindo Persada, November 2012)
.membangun politik hokum menegakkan konsitusi, (Jakarta,pustaka
LP3ES Indonesia,2006)
Satrio, J.. Hukum Waris.
(Bandung : Alumni. 1992)
Sudarsono,hokum waris dan system birateral,(Jakarta,PT
Rineka Cipta, oktober 1994)
[1] Moh.Mahfud MD,politik
hokum di Indonesia,(Jakarta,PT Raja Grafindo Persada, November 2012) hlm.9
[2] Moh.Mhgfud MD.membangun
politik hokum menegakkan konsitusi,(Jakarta,pustaka LP3ES Indonesia,2006)
hlm.13
[3] Ependi
Perangin,hokum waris,(jakrta, PT Raja Grapindo Persada, 2008) hlm.29
[4]Eman Suparman,hokum
waris di Indonesia,(Bandung, PT Rafika Aditama, 2007) hlm.23
[5] Sudarsono,hokum waris dan system birateral,(Jakarta,PT
Rineka Cipta, oktober 1994) hlm.174