STUDI PRADABAN
AKULTURASI ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
DI INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas
perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam
mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini penulis akan membahas
mengenai “Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal Di Indonesia” dalam
rangka memenuhi tugas Studi Pradaban.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah
ini. Oleh karena itu, penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Mataram, 20 Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................... 3
A. Ontologi Interaksi Agama dan Budaya...................................... 3
B. Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal..................................... 10
C. Wujud dan Tantangan Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal. 13
BAB III PENUTUP.............................................................................. 23
A.
Kesimpulan ................................................................................. 23
B.
Saran............................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dihadirkan di muka
bumi, lahir, hidup, dan berkembang menjadi makhluk duniawi yang sekaligus
berperan sebagai khalifah. Sebagai makhluk duniawi, sudah tentu bergumul dan
bergulat dengan dunia, terhadap segala segi, masalah dan tantangannya, dengan
menggunakan segala potensi kemanusiaan dan ketuhanannya. Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan manusia dengan dunia tidaklah selalu diwujudkan dalam sikap
pasif, pasrah, dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya. Tetapi
justru diwujudkan dalam sifat aktif, memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan
hidup dan kehidupannya.
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan akal pikiran dan budi daya
manusia, Allah menunjuk manusia-manusia pilihan di antara kelompok atau
masyarakat tersebut untuk menyampaikan petunjuk dan peringatan tentang “siapa
sebenarnya kekuatan mutlak yang objektif dan rasional” yang mereka cari, dan
yang sebenarnya mereka persaksikan sebelum menyempurnakan pertumbuhan dan
perkembangan potensi fitrah manusianya. Hadirnya para utusan Tuhan tersebut,
kembali meluruskan budaya masyarakat yang menyimpang dan membentuk budaya
“khas” dalam wujud agama samawi.
Dengan sentuhan Ilahi, agama samawi
ini menyebar dan memasuki lingkungan budaya bangsa-bangsa, serta tumbuh dan
berkembang bersama budaya bangsa-bangsa tersebut, mewujudkan sistem budaya
universal dan menjadi rahmatan li al-‘alamin.
Hadirnya agama, dalam pengertiannya yang umum dimaknai sebagai kepercayaan
terhadap kekuatan/kekuasaan supranatural yang menguasai dan mengatur kehidupan
manusia, yang menimbulkan sikap bergantung/pasrah pada kehendak dan kekuasaanya
dan menimbulkan perilaku dan perbuatan tertentu secara cara berkomunikasi
dengan “Sang Mahadahsyat” dan memohon pertolongan untuk mendatangkan kehidupan
yang selamat dan sejahtera.
Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan manusia tidak
diciptakan untuk kepentingan agama. Dengan bimbingan agama, diharapkan manusia
mendapatkan pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidup dan membangun
peradabannya. Dengan paradigma ini maka agama adalah jalan, bukan tujuan. Agama
membimbing manusia berjalan mendekati Tuhan dan mengharap rida-Nya melalui amal
kebaikan yang berdimensi vertikal (ritual keagamaan) dan horizontal (pengabdian
sosial).
B. Rumusan Masalah
1. Apa Ontologi Interaksi Agama dan Budaya?
2.
Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal?
3.
Bagaimana Wujud dan Tantangan Akulturasi Islam
dengan Budaya Lokal
BAB II.
PEMBAHASAN
A.
Ontologi Interaksi Agama dan Budaya
1.
Agama
a.
Definisi Agama
Kalangan ahli-ahli agama (Islam)
banyak menggunakan definisi agama yang lebih menekankan aturan (fiqh oriented),
sehingga peran manusia sebagai pemeluk agama kurang mendapatkan posisi yang
kuat. Pengertian agama sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya,
berimplikasi pada kehidupan keberagamaan manusia yang kurang mendapatkan
sentuhan memadai. Seperti berkurang atau bertambahnya keyakinan, rasa berdosa,
rasa terpilih, perasaan damai setelah berzikir, dan sebagainya, tidak ditemukan
dalam definisi tersebut.
1) Agama, Religi, dan Din (pada umumnya) adalah satu sistem kredo atas adanya
zat yang Mahamutlak, yang disertai sistem ritus kepada yang Mahamutlak
tersebut, serta diikuti dengan sistem norma yang mengatur hubungan manusia
dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan
sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang transendental.
b.
Agama Sebagai Simbol
Konsepsi
yang berbeda, mendefinisikan agama sebagai suatu simbol yang bertindak untuk
memantapkan perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh,
bertahan lama pada diri manusia. Jadi, agama adalah sistem simbol yang
berfungsi menguatkan dan memberi motivasi pada diri seseorang melalui pola
tindakan berupa konsepsi-konsepsi mengenai aturan (hukum) dan kemudian
mencerminkan pola tindakan yang mencerminkan kenyataan-kenyataan.
Konsepsi inilah yang digunakan oleh Geertz
ketika mempetakan keberagamaan masyarakat Jawa dengan membaginya ke dalam tiga
model;
1)
abangan,
2)
santri, dan
3)
priyayi.
2.
Kebudayaan
a.
Definisi Kebudayaan
Adapun
kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai
pedoman atau menginterpretasikan keseluruhan tindakan manusia.[1]
1)
Kebudayaan adalah pedoman bagi
kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut.
Sebagai pola bagi tindakan, kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang
dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat,
model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan untuk memahami dan
menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Sedangkan sebagai pola dari
tindakan, kebudayaan adalah apa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat yang berdasar pada pedoman yang diyakini kebenarannya.
2)
Kebudayaan
dalam definisi yang semakna adalah hasil pengolahan, pengerahan, dan pengarahan
terhadap alam oleh manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan,
intuisi, imajinasi, dan berbagai dimensi ruhaniah lainnya) dan raganya, yang
terwujudkan dalam berbagai segi kehidupan (ruhaniah) dan penghidupan (lahiriah)
manusia. Hal ini merupakan jawaban atas segala tantangan, tuntutan, dan dorongan
dari dalam atau luar diri manusia, demi terwujudnya kebahagiaan dan
kesejahteraan (spiritual dan material) manusia, baik sebagai pribadi,
masyarakat, maupun bangsa.[2]
Suatu kebudayaan, dalam
tataran praksisnya diungkapkan dengan upacara-upacara yang merupakan perilaku
pemujaan atau ketaatan yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap suatu
kepercayaan yang dianut. Dengan upacara-upacara tersebut, orang di bawah keadaan
dimana getaran-getaran jiwa terhadap keyakinan mereka menjadi lebih kuat dari
dalam. Dengan demikian, upacara tradisonal pada dasarnya berfungsi sebagai
media komunikasi antara manusia dengan kekuatan lain yang ada di luar diri
manusia.
Merujuk dari uraian
tersebut perlu dipahami bahwa untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru,
maka dalam lingkaran hidupnya manusia juga memerlukan "regenerasi"
semangat kehidupan sosial. Oleh karena itu, rangkaian ritus dan upacara
sepanjang tahap-tahap pertumbuhan oleh banyak kebudayaan sangatlah penting,
misalnya dalam upacara hamil tua, upacara saat anak tumbuh, upacara memotong
rambut pertama, upacara keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan si bayi
untuk pertama kali, upacara sunatan, upacara perkawinan, upacara kematian dan
sebagainya.
Sebagai serangkaian ajaran
atau doktrin, kebudayaan juga bukan sesuatu yang stagnan, karena ia diwariskan
dari satu orang atau generasi kepada orang lain atau generasi berikutnya.
Akibatnya, akan terdapat perubahan-perubahan, baik dalam skala besar maupun kecil.
Dengan kata lain, bahwa kebudayaan tidak hanya diwariskan tetapi juga
dikonstruksikan atau invented. Proses pewarisan tersebut melahirkan ide atau
gagasan-gagasan baru yang dikembangkan dengan berpijak pada medan budaya
setempat. Sehingga pemaknaan terhadap hakekat suatu benda dan perilaku yang
dirituskan menghasilkan modifikasi baru terhadap budaya. Hal ini terjadi oleh
karena dalam invented culture, kebudayaan dinilai sebagai serangkaian tindakan
yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan
(repetition) sehingga pada akhirnya menjadi tradisi, yang secara otomatis
mengacu kepada kesinambungan dengan masa lalu.
Sebagian upacara adat tidak dipungkiri merupakan hasil kebudayaan yang
diciptakan oleh umat muslim sendiri, sementara sebagian lain tidak jelas
asalnya tetapi semuanya bernuansa Islam. Aktivitas lainnya mengacu kepada
upacara adat yang bukan berasal dari Islam tetapi ditolerir dan dipertahankan
setelah mengalami proses modifikasi islamisasi dari bentuk aslinya.
Ritual-ritual adat dalam bentuknya yang sekarang tidak membahayakan keyakinan
Islam, bahkan telah digolongkan sebagai manifestasi keyakinan itu sendiri dan
digunakan sebagai syiar Islam khas daerah tertentu.
Budaya yang teraktualisasi dalam wujud adat mulai dipahami sebagai fenomena
alam yang kehadirannya secara umum dan inheren memberi kontribusi terhadap
perilaku manusia, hingga yang berkenaan dengan cara melakukan sesuatu, seperti
menjalankan kewajiban agama dan perilaku sosial. Beberapa bentuk adat merupakan
kreasi asli daerah, sedangkan yang lain mungkin berasal dari luar. Sebagian
bersifat ritual, dan sebagian lain seremonial. Dari sudut pandang agama, ada
adat yang baik (‘urf sahih) dan ada adat yang jelek (‘urf fasid); sebagian
sesuai dengan syariat dan dinyatakan dalam kaidah fikih, sebagian lagi sesuai
dengan semangat tata susila menurut Islam. Oleh karena itu, dalam suatu
perayaan religius, paling tidak ada tiga elemen yang terkombinasi bersamaan:
perayaan itu termasuk adat karena dilaksanakan secara teratur; juga bersifat
ibadah karena seluruh yang hadir memanfaatkannya untuk mengungkapkan identitas
kemuslimannya; dan juga pemuliaan pemikiran tentang umat di mana ikatan sosial
internal di dalam komunitas pemeluk lebih diperkuat lagi.
Hal ini menjadi menarik karena ada praktek yang dicontohkan Nabi saw. yang
melegalisasikan kebiasaan-kebiasaan purwa Islam menjadi sebuah sistem hukum.
Hukum Islam selalu mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan tuntutan
dan peluangnya. Peluang transformasi ini sekalipun terbuka lebar namun kendali
efektif berjalan ketat sehingga keragaman interpretasi menjadi fenomena yang
konfiguratif dalam wacana pemikiran hukum Islam tetap terjaga.
Mengambil kasus pada ranah keindonesiaan, tradisi yang dalam hal ini juga dimaknai
sebagai adat memiliki sejarah pergulatan dalam teori-teori keberlakuan hukum
Islam di Indonesia sejak masa kolonial. Hal ini dapat dilihat dari adanya
perdebatan sengit dalam konsep penerapan beberapa teori pemberlakukan hukum
Islam yang satu sama lain saling membantah, yaitu: teori receptio in complexu;
teori antagonis/reseptie; teori receptie exit/teori receptio a contrario, dan
teori existensi.
Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, telah
memaparkan bagaimana Islam sebagai sistem nilai yang berpijak pada konsep
tauhid dapat mempengaruhi sistem simbol kebudayaan apapun dan mewarnai
kebudayaan tersebut. Kuntowijoyo kemudian membahasakan format akulturasi
tersebut dalam istilah asimilasi kultural, asimilasi struktural, dan asimilasi
agama. Ketika mengangkat kasus keturunan Tionghoa, tanpa meninggalkan kultur
khas yang melekat pada tradisi mereka, etnis Tionghoa yang ada di Indonesia
misalnya, telah melebur dalam asimilasi kultural melalui berbagai jalan, yaitu
etnisisasi, Indonesianisasi, dan massifikasi. Pluralisme budaya yang mereka
hadapi ketika berhadapan dengan asimilasi agama menjadikan etnis Tionghoa yang
memeluk agama Islam tidak lagi dikatakan memeluk agama mayoritas ataupun
dianggap sebagai kemenangan ideologi mayoritas, tetapi bagaimana mencairkan
kebekuan tradisi mereka untuk bisa saling mewarnai dengan ideologi lainnya.
3.
Akulturasi
a.
Definisi Akulturasi
Salah satu teori yang membahas tentang akulturasi telah dijelaskan oleh
beberapa ahli adalah sbb:
1)
oleh J. Powel yang mengungkapkan
bahwa akulturasi dapat diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya asing ke
dalam budaya lokal tradisional. Budaya yang berbeda itu bertemu, yang luar
mempengaruhi yang telah mapan untuk menuju suatu keseimbangan.
2)
Koentjaraningrat juga mengartikan
akulturasi sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh
suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam
kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dan kebudayaannya.[3]
B. Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal
Malinowski dalam bukunya yang berjudul The Dinamic of Culture Change
mengemukakan teori untuk meneliti suatu proses akulturasi dengan pendekatan
fungsional terhadap akulturasi (fungsional approach to acculturation).
Merupakan suatu kerangka yang terdiri dari tiga kolom;
1.
Pertama, menjelaskan tentang
keterangan mengenai kebutuhan, maksud, kebijaksanaan, dan cara-cara yang
dilakukan oleh agen atau ulama Islam yang didukung oleh pemerintah, untuk
memasukkan pengaruh kebudayaan asing ke dalam suatu kebudayaan tradisional.
2.
Menjelaskan tentang jalannya proses
akulturasi dalam suatu kebudayaan tradisional.
3.
Menjelaskan tentang reaksi
masyarakat terhadap pengaruh kebudayaan Islam yang keluar dalam bentuk usaha
atau gerakan untuk menghindari pengaruh tadi, atau sebaliknya untuk menerima
dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebutuhan
mereka sendiri.
Sebagai sistem yang menata kehidupan manusia, Islam bersikap terbuka
terhadap budaya lokal. Alquran sendiri turun dengan asbab al-nuzulnya yang
tidak lepas dari kerangka budaya Arab. Nilai-nilai moral dan tata pergaulan
Arab banyak yang dipertahankan, seperti karim atau kedermawanan, muru’ah atau
keperwiraan, wafa’ atau kesetiaan pada janji, dan ‘iffah atau memelihara
kehormatan diri. Cara berpakaian, sebagian dari hukum keluarga dan sebagian
dari tradisi berpolitik bangsa Arab pun tidak dibuang, bahkan sistem politik
Islam diadopsi dari filosofi politik Arab, seperti akidah, kabilah, dan
ganimah. Muhammad saw. tidak datang dengan suatu peradaban lengkap yang sama
sekali baru, tetapi melengkapi peradaban yang sudah ada dan mendorong untuk
berkembang dengan semangat dan orientasi baru. Hal-hal yang telah ada
sebelumnya ada yang dibuang, ada yang diubah, dan ada yang dibiarkan berjalan
sebagaimana adanya.
Berdasarkan hal itu, sikap Islam terhadap budaya lokal yang ditemuinya
dapat dipilah menjadi tiga, yaitu:
1.
Menerima dan mengembangkan budaya
yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan berguna bagi pemuliaan kehidupan
umat manusia. Misalnya, tradisi belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang
ditemui pada bangsa Persi dan Yunani. Para khalifah muslimin bahkan mendorong
ilmuwan untuk menggalakkan penelitian dan penemuan baru.
2.
Menolak tradisi dan unsur-unsur
budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai contoh,
kebiasaan minum khamar dan beristri banyak pada bangsa Arab dan berbagai bangsa
lainnya.
3.
Membiarkan saja, seperti pada cara
berpakaian sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip dasar Islam, yaitu menutup
aurat dan tidak membahayakan pemakainya. Masalah model, corak, dan variasinya
diberikan kebebasan untuk memilihnya.
Relasi antara Islam
sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas dalam kajian
antropologi agama. Dalam perspektif ini, diyakini bahwa agama merupakan penjelmaan
dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap
merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Teori ini
kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya.
Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah
institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks kekinian, pengkajian hukum dengan
pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum
Islam yang peduli terhadap nasib syariah. Dalam pandangan mereka, jika syariah
tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan
terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi
perubahan masyarakat.
C. Wujud dan Tantangan Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal
Seperti juga agama lain,
Islam adalah kekuatan spiritual dan moral yang mempengaruhi, memotivasi, dan
mewarnai tingkah laku individu. Menguraikan Islam yang tumbuh di kelompok
masyarakat tertentu adalah menelusuri karakteristik Islam yang terbentuk dalam budaya
atau tradisi yang populer di tengah masyarakat. Dengan asumsi bahwa, suatu
budaya atau unsur tradisi bersifat islami ketika pelakunya bermaksud atau
mengaku bahwa tingkah lakunya sesuai dengan jiwa Islam.
Berangkat dari itu,
tampak adanya pengaruh tertentu lingkungan budaya dalam ekspresi keagamaan
seseorang. Begitupula tentang adanya kaitan antara kondisi geografis,
klimatologis, dan subur-tandusnya suatu daerah dengan watak para penghuninya.
1.
Kajian para ahli tentang agama dan
budaya
a. Ibnu Khaldun
Dalam
bukunya yang masyhur, Muqaddimah. Ia bahkan memaparkan teori tentang pengaruh
keadaan udara suatu daerah terhadap akhlak serta tingkah laku orang-orang
setempat.
b. Syahristani
Yang
menyinggung tentang teori peradaban manusia yang dipengaruhi oleh letak daerah
huniannya, kemiripan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya berdasarkan
jasmani dan tabiatnya. Semua itu ia tuangkan dalam kitabnya yang terkenal,
al-Milal wa al-Nihal.
Jika penelitian Ibnu Khaldun dan
al-Syahrastani benar, maka patut diduga bahwa ada pengaruh-pengaruh tertentu
lingkungan hidup sekelompok manusia terhadap keagamaannya. Namun ini bukan
berarti pembatalan segi universalitas suatu agama, apalagi agama Islam. Hal itu
hanya membawa akibat adanya realitas keragaman penerapan prinsip-prinsip umum
dan universal suatu agama, yaitu keanekaragamaan berkenaan dengan tata cara
(technicalities).
Selain
pada tingkat yang diabstraksikan oleh oleh Ibnu Khaldun dan al-Syharastani
tersebut, akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya lokal juga
ditemukan dalam hal-hal praktis dan kongkret terkait dengan ekspresi keagamaan
maupun budaya. Sarung, songkok, sejadah, dan tasbih misalnya, merupakan contoh
nyata yang dapat ditunjuk dengan mudah. Tidak ada universalitas dalam
penggunaan sarung dan songkok, namun secara kultural lokal, keduanya telah
menjadi lambang keislaman.
Kompromi Islam dengan budaya lokal
juga banyak terbantu oleh penyebaran Islam yang dibawa oleh para sufi. Sufisme
(tasawuf) dapat dikatakan mewakili segi paling intelektual agama Islam
dibandingkan dengan fikih yang berpandangan lebih praktis dan kalam yang
cenderung defensif. Dalam masa-masa kemunduran politik dan militer Islam, kaum
Sufi berjasa menjaga eksistensi dan elan (semangat perjuangan) agama Islam,
untuk kemudian menyebarkannya ke daerah-daerah lain tanpa penaklukan militer.
Pengaruh ajaran sufi inilah yang juga dialami pada Islam Jawa yang dikenal
dengan istilah Islam ”kejawen” sebagai bias dari pengislaman mistisisme Jawa
meskipun oleh sebagian orang menilainya sebagai bentuk sinkretisme.
Kajian tentang Islam oleh para ahli
dari Barat, khususnya Amerika, cenderung menganggap tidak begitu penting unsur
keislaman dalam budaya Indonesia. Sikap ini disebabkan oleh banyaknya kompromi
antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur-unsur budaya lokal yang membuat Islam
Indonesia berbeda daripada Islam di wilayah lainnya. Selain secara geografis
Indonesia adalah negeri Muslim yang paling jauh dari dari pusat-pusat Islam di
Timur Tengah, Indonesia adalah negeri Muslim yang paling sedikit mengalami
Arabisasi. Ditambah lagi oleh adanya serangan imperialis dengan jargon
nasionalisme dan demokratisasinya ikut menghambat intensifikasi pengislamannya.
[4]Kondisi
inilah yang menjadikan Islam di Indonesia sering dipandang belum bersifat Islam
sebenarnya, dengan akibat diabaikannya unsur Islam dalam memahami budaya
Indonesia.
Di luar lingkaran spiritualisme dan
kesufian, serta berbagai bidang lain, Islam sangat kuat mempengaruhi budaya
Indonesia di bidang kemasyarakatan dan kenegaraan. Jika hanya dibatasi pada
perumusan nilai-nilai Pancasila saja, maka unsur-unsur Islam itu akan segera
tampak dalam konsep-konsep tentang adil, adab, rakyat, hikmat, musyawarah, dan
wakil. Lebih dari itu, dapat disebutkan bahwa rumusan sila keempat Pancasila
sangat mirip dalam ungkapan bahasa Arab yang sering dijadikan dalil dan
pegangan oleh para ulama, ra’sul hikmah al-masyurah (pangkal kebijaksanaan
ialah musyawarah).
c.
Kutipan Bill Dalton yang ditulis
oleh Nurcholish Madjid juga layak untuk disimak. Dalam buku Indonesian Handbook.
Dalton
mengatakan bahwa daya tarik utama Islam bersifat psikologis. Islam secara
radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan yang kedatangannya ke
Nusantara menjadi konsep revolusioner yang sangat kuat. Sebelum Islam datang,
Raja adalah seorang penguasa mutlak, yang dapat merampas tanah rakyatnya,
bahkan istrinya, kapan saja ia mau. Kedatangan Islam telah membebaskan banyak
orang dari belenggu feodal Hindu dengan mengajarkan bahwa semua orang di mata
Allah adalah sama, tak seorang pun dibenarkan untuk diistimewakan sebagai lebih
unggul. Tidak ada sakramen ataupun acara-acara inisiasi yang misterius, juga
tidak ada kelas pendeta/ulama dalam Islam. Islam memiliki kesederhanaan yang
hebat dengan hubungannya yang langsung antara pribadi manusia dengan Tuhan.
Studi terhadap sejarah teori hukum Islam dalam dunia intelektual Islam
selalu berkaitan dengan pergulatan hukum dan tradisi yang seiring dengan
islamisasi. Hal ini disebabkan oleh aktualisasi ajaran yang mengalami
pengembangan ruang geografis yang menembus sekat tradisi masyarakat. Tradisi
yang merupakan sebuah interpretasi budaya menjadi sesuatu yang amat
diperhatikan dalam penetapan hukum.
Persentuhan antara Islam dengan budaya lokal kemudian juga disikapi secara
epistemologis oleh ilmu usul fikih dengan lahirnya kaidah yang menyatakan bahwa
“adat dapat menjadi hukum (al-adah muhakkamah)” yang oleh
Nurcholish Madjid dimaknai bahwa budaya lokal adalah sumber hukum dalam Islam.[5]
Meskipun lahirnya kaidah ini bisa dianggap sebagai wujud rekonsiliasi Islam
dengan budaya lokal untuk menghindari terjadinya penolakan dalam proses
islamisasi, namun wujud rekonsiliasi tersebut banyak ditemukan dalam filosofi
beberapa wilayah nusantara yang mengalami islamisasi secara top down.
Sejalan dengan itu, penelitian tentang sejarah perjalanan hukum Islam
menemukan bahwa faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai
produk-produk pemikiran hukum Islam dalam bentuk kitab fikih, peraturan
perundang-undangan di negeri Muslim, keputusan pengadilan, dan fatwa-fatwa
ulama. ‘Abd al-Wahhab Khallaf juga menguraikan bahwasanya para pembangun mazhab
dahulu juga tidak menafikan unsur-usnur tradisi dalam sisitem hukum yang mereka
kembangkan. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar praktek
penduduk Madinah. Abu> Hanifah dan para pendukungnya beraneka ragam dalam
hukum-hukum mereka berdasarkan aneka ragamnya adat kebiasaan mereka. Imam
al-Syafi’i setelah berdiam di Mesir merubah sebagian hukum-hukum perubahan adat
kebiasaan (dari Irak ke Mesir) sehingga ia mempunyai dua pandangan hukum (qawl
al-qadim dan qawl al-jadid).[6]
d.
Robert N. Bellah sebagaimana dikutip
oleh Nurcholish Madjid,
Bahwa
Islam datang ke Indonesia juga melewati proses akulturasi dengan warisan budaya
Persia (Iran/Arya). Terlepas dari kontroversi sekitar kapan, dari mana, dan
bagaimana Islam masuk ke Indonesia, tapi pengaruh unsur-unsur budaya Persia
dalam Islam di Indonesia dapat dilihat dalam bidang bahasa. Diketahui, hampir
semua kata Arab dalam bahasa Indonesia diadopsi melalui bahasa Persia. Ini
dibuktikan dari contoh ta’ marbut}ah, huruf ”t” yang jika berhenti, berubah
ejaannya menjadi huruf ”h”, dan jika disambung dengan huruf hidup tetap dieja
dengan ”t”. Hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia dengan akhiran ta’
marbut}ah dibaca (dalam wakaf) sebagai ”t”, seperti kata adat, berkat, dawat,
hajat, jemaat, kalimat, masyarakat, niat, rahmat, sifat, tobat, warkat, zakat,
dan lain-lain. Kemudian setelah itu menyusul adopsi langsung dari bahasa Arab,
dengan ciri-ciri akhiran ta’ marbut}ah dieja sebagai ”h” pada wakaf, seperti
jerapah, gairah, makalah, mahkamah, muamalah, usrah, zarrah, dan lain-lain.[7]
Begitupula pada sistem stratafikasi sosial-politik, unsur Aryanisme telah
ikut mengukuhkan sistem masyarakat Islam yang hirarkis warisan Bani Umayyah
yang sesungguhnya menjadi polusi ke dalam sistem dan prinsip-prinsip Islam
klasik. Jadi, sistem yang bertingkat-tingkat pada masyarakat Islam Indonesia
yang tidak egaliter sepenuhnya, seperti pada masyarakat Islam klasik, sebagian
adalah akibat faktor-faktor historis tersebut. Sebagian lagi adalah akibat
interaksi ajaran Islam dengan budaya setempat yang diketahui telah terlebih
dahulu mengalami Aryanisasi melalui agama-agama india (Hindu dan Budha).
Beberapa bentuk unsur luar yang sempat masuk ke dalam praktek-praktek Islam itu
mengalami banyak penyimpangan dari norma-norma ajaran Islam yang kemudian
menjadi sasaran empuk gerakan pembaruan kaum purifikasi.
2.
syarat atau prinsip-prinsip agar
Islam dan kebudayaan lokal dapat berakulturasi, maka diperlukan beberapa berikut:
a.
Principle of unitility; unsur-unsur
kebudayaan harus dapat dimanfaatkan untuk menggantikan unsur-unsur kebudayaan
lama. Misalnya, tradisi selamatan dalam Islam dapat menggantikan tradisi kurban
atau sesaji.
b.
Principle of function; unsur
kebudayaan baru itu harus mampu menggantikan fungsi kebudayaan lama. Misalnya,
tradisi ziarah makam dalam Islam menggantikan tradisi pemujaan arwah leluhur.
c.
Principle of concretness; unsur
kebudayaan baru harus dapat dipergunakan dengan konkrit dalam masyarakat.
Misalnya, salat sebagai pengganti selamatan untuk menghormati arwah leluhur dan
penyembahan kepada dewa dan roh.
d.
Principle of early learning,
unsur-unsur kebudayaan baru itu sesuai dengan budaya yang pertama kali
dipelajari dalam proses sosialiasi masyarakat yang didatangi itu. Misalnya,
penghormatan Islam terhadap bangsa Indonesia yang sejak dulu menghormati para
kepala suku, para dukun, serta para pendeta.
e.
Principle of integration;
unsur-unsur kebudayaan baru itu dapat diintegrasikan dengan pola-pola
kebudayaan yang didatanginya. Misalnya, unsur kekeluargaan, unsur demokrasi,
unsur sosial dengan sedekah maupun ibadah dari ajaran Islam dapat
diintegrasikan dengan pola-pola kehidupan lokal.
Dalam wujud praksisnya, pengaruh Islam kemudian juga dirasakan dalam
upacara-upacara sosial budaya. Di Sumatera terdapat upacara ”tabut” untuk
memperingati mawlid (kelahiran) Nabi saw. yang di Jawa dikenal dengan ”sekaten”
dan di Takalar dikenal dengan ”maudu’ lompoa”. Dalam pertunjukan-pertunjukan
kesenian populer tradisional juga tak luput mendapat pengaruh Islam. Mulai dari
seni tari (Jipen, Zaman, Seudati, Srandul, Kuntulan, Emprak, dan Badui),
seni musik (gambus dan kasidah), kaligrafi, sastra,
arsitektur, hingga seni bela diri dan pedukunan/santet, tidak dapat disangkal
adanya pengaruh Islam yang sangat kuat.
Sejatinya, Islam adalah agama yang lahir dari hasil dialektika antara kehendak
Allah dan kebudayaan manusia, atau lebih khusus lagi tradisi lokal Arab
pra-Islam. Oleh karena itu, wajar jika kenyataan tersebut kemudian mendorong
sebagian kalangan menghendaki agar dimensi partikular yang ada dalam Islam
dibedakan dari dimensi universalitasnya. Meskipun demikian ini bukan berarti
tidak menghormati satu tradisi yang telah memoles tampilan Islam, tetapi tentu
akan lebih bijak jika tradisi yang telah memberikan kontribusi bagi peradaban
Islam itu dibaca kembali dengan menggunakan perspektif kekinian. Sebab,
bagaimanapun juga perubahan waktu dan tempat pasti menghendaki pembaharuan cara
pandang terhadap agama, tanpa menghilangkan semangat dan nilai moral yang
dikandungnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seluruh hasil budaya suatu suku bangsa ataupun kelompok masyarakat adalah
sosok dari jati diri pemilikinya. Namun, jati diri tersebut bukanlah sesuatu
yang harus statis. Ungkapan-ungkapan budaya dapat mengalami perubahan,
fungsi-fungsi dalam berbagai pranata dapat pula mengalami perubahan. Perubahan
itu dapat terjadi oleh rangsangan atau tarikan dari gagasan-gagasan baru yang
datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Pada satu titik, rangsangan dan
tarikan dari luar itu bisa amat besar tekanannya sehingga yang terjadi bisa
bukan saja pengayaan budaya, melainkan justru pencerabutan akar budaya untuk
diganti dengan isi budaya yang sama sekali baru dan tak terkait dengan aspek
tradisi mana pun. Jika itu yang terjadi, warisan budaya sudah tidak memiliki
kekuatan lagi untuk membentuk jati diri bangsa. Situasi yang lebih lunak dapat
terjadi, yaitu jati diri budaya lama berubah oleh pengambilalihan unsur-unsur
budaya lain secara besar-besaran (sebagaimana yang dikenal sebagai akulturasi),
yang pada gilirannya membentuk suatu sosok baru, namun masih membawa serta
sebagian warisan budaya lama yang dapat berfungsi sebagai ciri identitas yang
berlanjut.
Islam, di manapun, adalah agama wahyu yang mengklaim diri sebagai penerus
dan penyempurna tradisi Judeo-Kristiani. Pada gilirannya, Islam membangun
tradisi baru yang berintikan jalinan tiga sendi, yaitu iman (percaya), Islam
(berserah diri), dan ihsan (berbuat baik). Dari sini berkembang seperangkat
sistem kepercayaan, ritual, dan etik behavioral yang kompleks namum
penerapannya bisa lentur sehingga dalam batas-batas tertentu ada ruang yang
cukup bagi terjadinya proses adopsi, adaptasi, dan akomodasi secara jenius
dengan budaya lokal. Dengan demikian, walau inti ajaran Islam sama (universal)
namun artikulasinya bisa beragam sesuai dengan konteks lokal dan sosial di mana
pemeluknya berada. Berbagai tradisi lokal yang telah mengalami persentuhan
Islam yang pada akhirnya diklaim sebagai budaya Islam hampir semuanya berakar
pada wahyu atau mendapatkan pembenaran di dalam sumber hukum Islam yang paling
mendasar, Alquran dan hadis. Terlepas apakah dasar pembenaran tersebut dapat
diterima atau sesuai dengan kaum Muslim lainnya, hal tersebut lebih merupakan
debat teologi internal di dalam tubuh masyarakat Muslim daripada subyek
penilaian pengamat.
Dengan demikian, Islam menjadi sesuatu yang menyatu dengan tradisi,
sehingga tidak ada kakagetan atau keterkejutan budaya. Selain itu, Islam
kemudian dapat ditampilkan sebagai suatu tradisi budaya yang membawa arah baru
dengan bahan yang sebenarnya sudah dikenal, tidak membawa keterasingan,
sehingga mudah diterima. Berangkat dari itu, setiap kabajikan yang dilakukan
seorang muslim sesungguhnya adalah perwujudan sikap ihsan yang merupakan hasil
kreasi dari buah iman dan Islam yang dimilikinya. Sikap ihsan tersebut
diaktualisasikan dalam budaya tutur, sikap dan perilaku yang mencerminkan Islam
yang rahmatan li al-alamin.
B. Saran
Demikianlah
materi pembahasan yang paparkan pada bab II, terkait tentang tema yang dibahas yaitu
akulturasi Islam dan budaya local di indonesia. Besar harapan makalah ini
mampu memberikan sumbangan untuk
menambah khazanah keilmuan di bidang ilmu khususnya Studi Pradaban.
DAFTAR PUSTAKA
Syaiful Arif,. Deradikalisasi Islam; Paradigma dan Strategi Islam Kultural. Cet. I;
Jakarta: Koekoesan, 2010.
Busthanul Arifin,. Pelembagaan Hukum
Islam di Indonesia; Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. Cet. I; Jakarta: Gema
Insani Press, 1996.
Bisri, Cik Hasan (ed.) Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Cet.
I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
H.A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2014.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Cet: III; Jakarta:
Dian Jakarta, 1990.
[1]
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Cet: III; (Jakarta: Dian Jakarta, 1990). h. 13-33.
[4]
Syaiful Arif,. Deradikalisasi Islam; Paradigma dan Strategi Islam Kultural.
Cet. I; (Jakarta: Koekoesan, 2010), h. 76.