KATA PENGANTAR
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, والصلاة والسلام على
رسول الله, وعلى اله و أصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الد ين ,أمابعد
Segala puji hanya
milik Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga karya
ini mampu jadi dan sempurna, selawat dan serta salam kita haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW, berserta keluarga dan para sahabatnya dan pengikutnya hinggan
hari kiamat.
Akhirnya karya ini
bisa diselesaikan dengan tepat waktu, karya ini disusun berdasarkan sub materi
yang berkaitan dengan hukum pelinduang konsumen, dan ini juga dibuat sebagai
sarat dan setandriasi dalam mengikuti mata kuliah hukum pelinduangn konsumen,
ternsaksi secara online meruapakna salah satu kajian dalam hukum pelinduangn
konsumen, karan jika kita lihat secara detail perktik ini, maka kita bisa
melihat pelangaran-pelangaran yang dilakukan oleh pelaku usaha karna ternsaksi
mengkaji demikan untuk melihat pelindungan konsumen seperti apa.
Sementara itu
apabila ada kesalahan dan kekeliruan
dalam sitiamatika dalam karya ini maka saya selaku penulis meminta maaf
dan mudah-mudahan ini menjadi bermampaat bagi kita sebumua.
Mataram, 12 Mei 2015
Penulias
DAFTAR ISI
HALAM SAMPUL
KATA PENGENTAR.......................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Gambaran umum
pelinduang konsumen terhadap transaksi secara online
B. Definisi ternsaksi
secara online................................................... 7
C. Pernedaan ternsaksi secara online dan langsung........................ 9
D. Kaitannya ternsaksi
online dangan perjanjiaan........................... 12
BAB III PENUTUP
A. kesimpulan................................................................................... 19
B. saran............................................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Pada zaman
sekarang seiring pesatnya perubahan diberbagai bidang menciptakan corak dan
sistem yang semakin maju, salah satunya adalah ternsaksi mengunakan teknologi yang
kita kenal dengan online, ternsaksi online ini pada zaman sekarng sudah marak
terjadi dan sudah menjadi satu andalan masyarakat masa kini dalam melakukan
tarnsaksi, karna didalam ternsaksi online kita dimanjakan dengn segala
pasilitas yang ada salah satunya adalah kemudahan yang ditawarkan.
Trnsaksi secara online juga sudah menawarkan segala kemudahan
yang ada didalamnya termasuk situs-situs yang sudah beraneka ragam yang bisa
dikunjungi oleh setiap konsumen yang akan membeli barang, namun dari segalanya
kemudahan yang ditawarkan tentunya akan memiliki kelemahan dan kekurangan yang
akan merugikan konsumen, sehingga dalam ternsaksi secara online sangat rentan
dengan kecurangn dan penipuan.
Begitu rentanya kecurangan dan penipuan yang ada
menciptakan pelinduang terhadap konsumen sangatlah tipis, sehingga dengen
demikian masalah ini sangat perlu sekali untuk dikaji, dengen demikian saya
tertarik untuk membuat karya ilmiyah yang menyangkut tentang aspek pelinduangan konsuemn terhadap
ternsaksi secara online.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang dikaji dalam karya ilimayah ini yang akan dikaji pada
halaman berikutnya adalah sbb:
1. Apa gambaran umum pelinduang
konsumen terhadap transaksi secara online..?
2. Apa definisi
ternsaksi secara online…..?
3. Bagimana pernedaan ternsaksi secara online dan
langsung..?
4. Bagaimana kaitannya
ternsaksi online dangan perjanjiaan..?
BAB II
PEMBAHASAN
ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP TRANSAKSI SECARA ONLINE
A. Gambaran Umum
Tentang Pelinduangn Konsumen
Perlindungan
hukum terhadap konsumen menyangkut dalam banyak aspek kehidupan terutama dalam
aspek kegiatan bisnis. Dalam undang-undang pelindungan konsumen nomor 8 tahun
1999 pasal 1 menyebutkan bahwa konsumen adalah: setiap orang
pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Dengan
demikian, berdasarkan pengertian tersebut, konsumen adalah orang yang membeli
suatu produk hanya untuk digunakan olehnya (pemakai akhir), bukan untuk dijual
kembali. Namun masalah perlindungan konsumen pada kenyataannya perlu diimbangi
dengan langkah-langkah pengawasan agar kualitas dari barang yang bersangkutan
tetap terjamin dan tidak merugikan konsumen. sehingga didalam undang-undang
telah diatur tentang pengawasan terhadap barang yang dikonsumsi oleh setiap
konsumen. didalam undang-undang tentang makanan juga dijelaskan tentang
pengawasan yang terjantum didalam pasal 9 undang-undang tentang pangan nomor 18
tahun 2012 .[1]
Selanjutnya
berbicara tentang teransaksi pihak kedua yang harus dipahami adalah pelaku
usaha didalam undang-undang pelindungan konsumen nomor 8 tahun 1999 pasal 1
menjelaskan bahwa pelaku usaha adalah adalah
setiap orang perseorangan atau
badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
Dalam
kaitannya dengan hubungan perniagaan antara konsumen dengan pelaku usaha akan terkait
dengan obyek perjanjian. Obyek perjanjian tersebut bisa merupakan suatu barang
ataupun jasa yang diperjanjikan. Barang adalah setiap benda, baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak,dapat dihabiskan
maupun tidak dapat dihabiskan, yang
dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Sedangkan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1butir 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan
terhadap konsumen yang akan kami bahas adalah transaksi online yang sering kali
menimbulkan masalah dikemuadian salah satu yang banyak masalah yang timbul
adalah penipuan dan penyelewengan
didalamnya serta kurangnya perlindungan yang melindungi konsumen dalam aspek
ekonomi tersebut.
Sesuai
dengan pasal 2 Undang-undang dasar Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, terdapat 5 (lima) prinsip umum perlindungan konsumen.
a. Prinsip manfaat,
yaitu segala upaya perlindungan konsumen harus
memberi manfaat bagi konsumen dan pelaku usaha; artinya dalam setiap
transaksi apapun dan melewati apapun harus mengedapankan mamfaat demi kebaikan
kedua belah pihak baik pembeli dan penjual.
b. Prinsip keadilan,
yaitu konsumen dan pelaku usaha hendaknya mendapat haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil, begitu pula dalam setiap teransaksi harus dibarengi
dengan kedialan yang memadai baik kedilan bagi konumen dan pelaku usaha.
c. Prinsip Keseimbangan,
yaitu perlindungan konsumen diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah;
d. Prinsip keamanan dan
keselamatan konsumen, yaitu memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
konsumen dalam menggunakan suatuproduk barang/ jasa;
e. Prinsip kepastian
hukum, yaitu pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Kesemua
perinsip tersebut harus diikutsertakan didalam melakukan trensaksi terlebih
terensaksi melewati teknologi atau online, karna Konsumen sangat sulit untuk
meminta pertanggungjawaban produsen dari barang yang telah menimbulkan kerugian
pada konsumen sehingga setiap konsumen ketika melakukan ternsaksi harus cermat
dan pinter yang paling utama adalah kehati-hatian, kehati-hatian merupakan
modal yang paling utama yang harus
diperhatikan dalam terensaksi online iersebut karna seperti yang kita lihat
dengan melakukan ternsaksi melewati online semua menjadi mudah dan yang jauh
menjadi dekat namun kesemua keuntungan terseabut tentaunya bayak masalah yang
timbul.
Selanjutnya
dalam perlindungan konsumen, hubungan hukum antaran produsen dan konsumen dapat
terjadi melalui perjanjian yang langsung melibatkan kedua belah pihak. Pada
umumnya transaksi semacam ini hanya dilakukan untuk barang-barang buatan rumah
tangga yang diproduksi dalam jumlah yang tidak begitu besar. Melalui hukum
perjanjian, konsumen dapat dilindungi dari perilaku produsen. Apabila produsen
tidak memenuhi kewajiban yang telah
diperjanjikan, maka konsumen berhak untuk mengajukan gugatan berdasarkan
wanprestasi.
B. Definisi Ternsaksi
Secara On Line
Pada saat
ini banyak sekali bermunculan perjanjian yang bentuk dan isinya beraneka ragam,
termasuk perjanian secara elektronik, sebagai akibat pesatnya perkembangan
teknologi dewasa ini. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 10 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).[2]
Disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer
atau media elektronik lainnya. Transaksi jual beli secara elektronik merupakan
salah satu perwujudan ketentuan di atas.
Pada transaksi jual beli secara elektronik ini, para pihak yang terkait
didalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk
perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai
ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian
yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya.
Dalam
perjanjian secara elektronik ini terlihat adanya pergeseranmakna dari kesepakatan
sebagai keinginan atau kehendak para pihak yang membuat perjanjian, sehingga muncul berbagai macam perjanjian
baku/kontrak standar yaitu kontrak yang dibuat atas kehendak salah satu pihak
saja. Salah satu perjanjian/kontrak
seperti ini adalah perjanjian secara elektronik/kontrak elektronik (digital
contract), dimana dalam kontrak elektronik ini, bentuk dan isi kontraknya merupakan keinginan dari
penjual/pelaku usaha saja secara sepihak, sementara itu pembeli/konsumen hanya
dapat mengikuti dan melakukan isi kontrak tersebut, walaupun pembeli dapat juga
tidak menyetujui isi perjanjian tersebut, berarti tidak terjadi hubungan hukum
antara penjual dengan pembeli. Oleh
karena itu dikenal adagium take it or leave it.
Kontrak
elektronik adalah kontrak baku yang dirancang, dibuat,ditetapkan, digandakan,
dan disebarluaskan secara digital melalui situs internet (website) secara
sepihak oleh pembuat kontrak (dalam hal ini dapat pula oleh penjual), untuk
ditutup secara digital oleh penutup kontrak (dalam hal ini konsumen/pembeli).
Kontrak/perjanjian
secara elektronik sebagai salah satu perjanjian baku dilakukan secara jarak
jauh bahkan sampai melintasi batas negara, dan biasanya para pihak dalam
perjanjian elektronik tidak saling bertatap muka atau tidak pernah bertemu.
Perjanjian
elektronik menurut Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE), diartikan sebagai dokumen elektronik yang memuat transaksi dan/atau
perdagangan elektronik, sedangkan perdagangan secara elektronik diartikan
sebagai perdagangan barang maupun jasa yang dilakukan melalui jaringan komputer
atau media elektronik lainnya. Salah satu perjanjian yang akan dibahas adalah
perjanjian jual beli,sebagaimana termuat dalam Pasal 1457 BW yang berbunyi:
Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan
C. Perbedaan
Ternsaksi Secara Langsung Dengan Online
Untuk
membedakan kedua bentuk teransaksi ini baik terensaksi secara langsung dan
online tentunya memiliki bayak pernedaan, pada dasarnya perjanjian antara
produsen dan konsumen, prestasi yang harus dipenuhi dapat diukur baik jumlah,
berat, jenis, dan sebagainya.
1. Ternasaksi Secara
Langsung
Pada
mulanya, transaksi perdagangan dilakukan secara langsung antara produsen dan
konsumen, di mana produsen menyerahkan barang yang diproduksinya langsung
kepada konsumen yang langsung membayar harga barang. Namun transaksi semacam
itu saat ini sudah jarang sekali dilakukan terutama di perkotaan. padahal jika kita bandingkan ternsaksi semacam
ini lebih menguntungkan mulai dari akibat hukum sampai dengan kebebasan dalam
melakukan perjanjian,
Diantara
kelebihan yang dapat dilakukan oleh konsumen dalam memebeli barang sacara
langsung adalah sbb:
a. Bebas memilih barang
tampa ada unsur penipuan.
Artinya apa
bahwa ketika seorang melakukan tarnsaksi secara langsung seorang pembeli bebas
memilih dan melihat barang yang diinginkan bahkan untuk barang-barang tertentu
bisa dicoba, sehingga tingkat kepuasan sangat tinggi serta unsure penipuan
terhadap barang juga semikin kecil.
b. Kepastian akan barang
untuk didapatkan terjamin.
Keuntungan
yang kedua adalah barang yang kita inginkan juga pasti kita dapatkan, sehingga
adanya barang maka adanya pembelian terhadap barang itu sendiri, hal ini
berbeda dengan jual beli secara on line yang tingkat penipuanya sangat tinggi,
dimana kadang penjual sengaja meminta bayaran duluan kemudian barang baru bisa
dikirim, inilah yang kadang sarat dengan unsure penipuan.
c. Bisa langsung
memggugat pelaku usaha apabila melakukan kesalahan.
Inilah
kelebihan yang selanjutnya dimana seorang yang meras dirugikan terhgadap
suatubarang berhak untuk menuntut secara hukum bahwa telah terjadi penipuan dan
lain sebaginya
2. Ternsaksi Secara On
Line
Saat trensaksi
melewati online sedang marak terjadi media dengan dengan situs yang beraneka ragam, kondisi
seperti ini disebabkan oleh trend perdagangan di mana barang-barang diproduksi
secara masal dan melibatkan rantai perdagangan yang panjang, sehingga konsumen
tidak lagi dapat berhubungan langsungdengan produsen Dengan tidak adanya
hubungan kontraktual langsung antara produsen dan konsumen, maka apabila
produsen tidak memenuhi kewajibannya, konsumen tidak lagi dapat menggugat
produsen atas dasar wanprestasi. Konsumen hanya dapat menggugat produsen atas
dasar perbuatan melawan hukum.
Kemudian
jika mengacu kepada kekurangan yang dimiliki ternyata ternsaksi melewati on
line riskan dengan kecurangan dan penipuan yang berbagi bentuk.
Selanjutnya,
sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia, maka pemerintah Republik Indonesia harus
melakukan tindakan-tindakan yang dapat
melindungi konsumen di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa setiap anggota masyarakat adalah konsumen.
Dengan
demikian perlindungan terhadap konsumen dapat diwujudkan melalui pembentukan
peraturan perundang-undangan ataupun melalui keputusan-keputusan tata usaha
negara; yang termasuk dalam ruang lingkup hukum publik. Selain itu pemerintah
dapat mengembangkan pendidikan bagi konsumen dan penetapan suatu insentif untuk
mendorong perilaku yang diharapkan oleh pemerintah; dalam hal ini yang
menyangkut perlindungan terhadap konsumen.
Perjanjian
jual beli yang terjadi antara penjual dengan pembeli terkadang dibuat dalam
bentuk perjanjian standar atau klausula baku yang isinya ditetapkan secara
sepihak oleh penjual. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8
tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, telah ditegaskan bahwa penjual
dilarang membuat atau mencantumkan klausulabaku pada setiap perjanjian yang :
1. Menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang
dibeli konsumen;
3. menyatakan bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan atau jasa yang dibeli konsumen;
D. Transaksi On Line
Kaitanya Dengan Perjanjiaan
Persoalan
mengenai transaksi jual beli tidak terlepas dari perjanjian,karena setiap
proses jual beli pasti akan diawali dengan sebuah kesepakatan,yang mana
kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian. Berdasarkan ketentuan Pasal
1313 Burgerlijk Wetboek (BW), disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu
orang lain atau lebih. Perjanjian dapat dilakukan oleh para pihak sesuai
kehendaknya masing-masing baik dari segi bentuk, macam maupun isinya, hal ini
merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal
1338 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.[3] Namun demikian sebebas apapun seseorang
membuat perjanjian tetap harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian seperti
termuat dalam ketentuan pasal 1320 BW, tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan
ketertiban umum. Pasal 1320 BW
mengatur bahwa syarat sahnya perjanjian terdiri dari:
a) Kesepakatan para
pihak[4]
b) Kecakapan para pihak
dalam perjanjian
c) Suatu hal tertentu
d) Suatu sebab yang
halal[5]
Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak
yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh
ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog). Kecakapan hukum
sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian maksudnya bahwa para pihak yang
melakukan perjanjian harus telah dewasa, sehat mentalnya serta diperkenankan
oleh undang-undang. Menurut Pasal 1330
BW juncto Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
seseorang dikatakan dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah.
Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan sebuah perjanjian, maka dapat
diwakili oleh orang tua atau walinya.
Sementara itu seseorang dikatakan sehat mentalnya berarti orang tersebut
tidak berada dibawah pengampuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 junto
Pasal 433 BW. Orang yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau curatornya.
Sedangkan orang yang tidak dilarang oleh undang-undang maksudnya orang
tersebut tidak dalam keadaan pailit sesuai isi Pasal 1330 BW junto
Undang-Undang Kepailitan. Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek
perjanjian, maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan
dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta
mungkin untuk dilakukan para pihak. Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian
termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 BW,
suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan. Sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya
sebuah perjanjian.
Kesepakatan
para pihak dan kecakapan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian yang
bersifat subjektif. Apabila tidak tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan
artinya selama dan sepanjang para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka
perjanjian masih tetap berlaku. Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat objektif. Apabila
tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula dianggap
tidak pernah ada perjanjian.
Pada
kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian
secara keseluruhan, misalnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak
dari para pihak yang membuat perjanjian pada saat ini telah mengalami
pergeseran dalam pelaksanaannya. Pada
saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat dimana isinya hanya merupakan
kehendak dari salah satu pihak saja. Perjanjian seperti itu dikenal dengan
sebutan Perjanjian Baku. Dalam suatu perjanjian harus diperhatikan pula
beberapa macam asas yang dapat diterapkan antara lain :
1) Asas Konsensualisme,
yaitu azas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada seketika setelah
ada kata sepakat.
2) Asas Kepercayaan,
yang harus ditanamkan diantara para pihak yang membuat perjanjian.
3) Asas kekuatan
mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat pada
seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku
4) Asas Persamaan Hukum,
yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para pihak mempunyai kedudukan yang sama
dalam hukum.
5) Asas Keseimbangan,
maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan
kewajiban dari masingmasing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
6) Asas Moral adalah
sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang membuat dan
melaksanakan perjanjian.
7) Asas Kepastian Hukum
yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi
para pembuatnya.
8) Asas Kepatutan
maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tetapi juga.harus sesuai dengan kepatutan,
sebagaimana ketentuan Pasal 1339 BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
9) Asas Kebiasaan,
maksudnya bahwa perjanjian harus
mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347
BW yang berbunyi hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke
dalam.perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. [6]
Hal ini
merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian. Sebagai wujud dari
asas kebebasan berkontrak, pada saat ini banyak sekali bermunculan perjanjian
yang bentuk dan isinya beraneka ragam,termasuk perjanjian secara elektronik,
sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini.
Selanjutnya,
dalam kontrak jual beli para pelaku yang terkait didalamnya yaitu penjual dan
pembeli memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda. hak seorang pembeli yang diatur didalam
undang-undang nomor 8 tahun 1999 pasal 4 tentang pelindungan konsumen
menjelaskan hak konumen yang harus diberikan oleh pelaku usaha dianatara hak
terseabut yang bisa dilanggar dalam julan beli secara online adalah sbb:
1. hak untuk mendapatkan
informasi.
Didalam
jual beli secara online yang paling rentan dengan kekurangan adalah informasi
yang kurang jelas dari penjual, sehingga produk yang dibeli kadang tidak sesui
dengan apa yang tawarkan, ini meruupakan salah satu bentuk pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha.
padahal
seorang konumen harus mendapatkan informasu yang jelas terhadap suatu produk apabila
benda yang ditrnsasikan cacat maka
perjanjian bisa dibatlakan, begitupula kekeliruan baik keliluar terhadap
benda maupun subjek maka didalm hukum perjajian maka perjanjian tersebut bisa
dibatalakan.[7]
Pada
transaksi jual beli secara elektronik, seorang penjual atau pelaku usaha yang
menawarkan suatu produk melalui media elektronik wajib menyediakan informasi
secara lengkap da benar berkaitan dengan syaratsyarat kontrak, produsen dan
produk yang ditawarkan. Ketentuan
termaksud telah ditegaskan dalam Pasal 9
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, sehingga tidak ada alasan bagi pelaku usaha dalam hal ini penjual
untuk tidak beritikad baik dalam menawarkan serta menjual produk-produknya itu.
2. Hak Untuk Mendapat
Uapaya Hukum Yang Patut.
kemudian
inilah yang menjadi masalah yang sangat besar, dari kekurangan ternsaksi
melewati online ketika seorang konsumen dirugikan maka dimana mereka mengadukan
sementara ternsaksi secara online tidak secara langsung, sehingga sulit untuk
mencari pelaku usaha yang memasarkan barng tersebut, sehingga ini menjadi
masalah yang sangat serius dan pelangaran hak konsumen yang sangat
memperihatinkan.
Dengan
demikian hak dan kewajiban penjual dan pembeli sebagai para pihak dalam
perjanjian jual beli harus dilaksanakan dengan benar dan lancar,apabila para
pihak memperhatikan dan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual
dan pembeli tersebut diatas, berlaku juga dalam transaksi jual beli secara
elektronik, walaupun antara penjual dan pembeli tidak bertemu langsung, namun
tetap ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli ini harus tetap
ditaati.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Setelah
mengkaji dan membaca isi dari karya ini maka kita bisa menarik kesimpulan
bahwa, elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya. Transaksi jual beli
secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas.
Ternsaksi
tersebut sekalipun memiliki kemudahan namun kekurangan juga sangat
diperhitungkan karna tidak jarang mereka yang melakukan ternsaksi tersebut
tidak puas karna adanya kesalah salah satu pihak, sehingga setiap ternsaksi
tersebut husunya seorang konsuemn harus cermat dan hati-hati dalam melakukan
ternsaksi tersebut, sehingga bisa terhindar dari kecurangan dan penipuan.
B. saran
Kemudian
adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah: apabila dalam karya ini
terdapat kesalahan dan kekliruan maka saya selaku penyusun meminta maaf dan
mudah-mudahan karna ilmiyah ini dapat menjadikan salah satu media untuk
meningkatkan keilmuan kita husunya dibidang hukum.
DAFTAR PUSATKA
Ahmad Miru,hukum pelindungan
konsumen,(jakrta,PT Raja Grapindo persada, 2004)
Gunawan Widjaja Dkk,Hapusnya
perikatan.(Jakarta,PT Raja Grapindo Persada, 2003)
J.Satrio,hukum perikatan perikatan
pada umunya,(bandung,Alumni,1999)
Subekti, Tjitrosudibio,kitab
undang-undang hukum perdata,(jakrta,PT Frainya Parmita,2004)
Suharnoko,hukum perjanjian teori dan
analisi kasus,(Jakrta,Prenadamedia Group,2008)
Uandang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan.
UndangUndang Nomor 11 Tahun 2007 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
[1]
uandang-undang nomor 18 tahun 2012
tentang pangan.
[2]
UndangUndang Nomor 11 Tahun 2007
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
[3]
Subekti, Tjitrosudibio,kitab undang-undang hukum perdata,(jakrta,PT
Frainya Parmita,2004)
[4]
J.Satrio,hukum perikatan perikatan pada umunya,(bandung,Alumni,1999)
hlm.33
[5]
suharnoko,hukum perjanjian teori dan analisi kasus,(Jakrta,Prenadamedia
Group,2008) hlm.27
[6]
Gunawan Widjaja Dkk,Hapusnya perikatan.(Jakarta,PT Raja Grapindo
Persada, 2003) hlm.13
[7]
Ahmad Miru,hukum pelindungan konsumen,(jakrta,PT Raja Grapindo persada,
2004) hlm.39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar