Sabtu, 07 Januari 2017

KRAKTERISTIK BERFIKIR DEDUKTIF DAN INDUKTIF





KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai “Berpikir Deduktif dan Induktif” dalam rangka memenuhi tugas Filsafat Ilmu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.





Mataram,  20  November 2016


Penulis
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL............................................................................        i
KATA PENGANTAR.........................................................................        ii
DAFTAR ISI.........................................................................................        iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................        1
A.    Latar Belakang............................................................................        1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................        1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................        2
A.    Definisi kerakteristik berpikir deduktif.......................................        2
B.     Macam corak berpikir deduktif...................................................        3
C.     Definisi kerakteristik berpikir induktif .......................................        7
D.    Macam corak berpikir induktif....................................................        8
BAB III PENUTUP..............................................................................        15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................        16









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada topik antologi ilmu telah dijelaskan bahwa pada dasarnya hakikat ilmu adalah objek bahasannya yang empiris terdapat dalam kegiatan sehari-hari, dapat diamati (dopotret, dividco) yang karnanya lingkup ilmu pengetahuan adalah ahl-hal yang dapat diukur (meansurabel), dan dapat diamati (obaervable). Objek emperis dari ilmu adalah   mengandung gejala yang memiliki keserupaan yang satu dengan yang lain, karna pula dapat di identifikasi kecenderngan yang diamati. Melalui metode penelaran yang cermat, maka dapatlah disusun teori yang tingkat kebenaran (logika) nya yang memiliki probabilitas kebenaran yang tinggi, sejauh tidak terdapat bukti baru yang membentuk.
Uraian berikut akan dipaparkan pola berpikir induktif dan deduktif dengan menempatkan asumsi-asumsi dasar objek emperis dalam ilmu pengetahuan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Definisi kerakteristik berpikir induktif dan deduktif.
2.      Macam corak berpikir deduktif dan induktif.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Berpikir Deduktif
Berpikir deduktif kehususnya berpikir tradisional bermula dari Zaman Yunani Kuno sekitar abad ketiga SM. Deduktif ini  merupakan peroses berpikir, baik secara langsung ataupun tidak secara langsung berdasarkan atas pertanyaan umum yang sudah lebih dahulu diketahui. Pernyataan yang berisi sesuatu yang sudah diketahui disebut anteseden (premis) yang merupakan pernyataan yang berisi pengetahuan yang ditarik dari pernyataan dasar atau disebut konsekuen (kesimpulan).[1]
1.      Deduktif berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya induktif (W.J.S.Poerwadarminta, 2006).
2.      Deduktif adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan (S.Suriasumantri, 2005).
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh:
1)      Setiap manusia yang ada didunia pasti suatu ketika akan mati.
2)      Ahmad adalah manusia
3)      Karna ahmad adalah manusia maka suatu saat pasti akan mati.[2]
Adapun berbagai macam corak berpikir deduktif adalah silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme disjungtif, atau silogisme alternatif, entimem, dan sebagainya.
a.       Silogisme Kategorial
Silogisme adalah suatu bentuk penalaran yang berusaha menghubungkan dua proposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang merupakan proposisi yang ketiga. Kedua proposisi yang pertama disebut dengan premis. Silogisme kategorial dibatasi sebagai suatu argumen deduktif yang mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari tiga (dan hanya tiga) proposisi kategorial, yang disusun menjadi tiga term yang muncul dalam rangkaian pernyataan itu, dan tiap term hanya boleh muncul dalam dua pernyataan, misalnya:
1)      Semua karyawan adalah PNS.
2)      Semua PNS adalah peserta Jamsostek.
3)      Jadi, semua karyawan adalah peserta Jamsostek.
Dalam rangkaian diatas terdapat tiga proposisi: (1) + (2) + (3). Dalam contoh ini rangkaian kategorial hanya terdapat dalam tiga term, dan tiap term muncul dalam dua proposisi. Term predikat dari konklusi adalah term mayor dari seluruh silogisme itu. Sedangkan subyek dari konklusinya disebut term minor dari silogisme. Sementara term yang muncul dalam kedua premis namun tidak muncul dalam kesimpulan disebut premis tengah.
b.      Silogisme Hipotesis
Silogisme hipotesis atau silogisme pengandaian adalah semacam pola penalaran deduktif yang mengandung hipotesa. Silogisme hipotesis bertolak dari suatu pendirian, bahwa ada kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi. Premis mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotesis. Oleh sebab itu rumus proposisi mayor silogisme ini adalah:[3]
Jika P, maka Q
Contoh
Premis Mayor  : Jika tidak turun hujan, maka Jazira akan pergi kursus.
Premis Minor   :  Hujan turun
Konklusi          :  Sebab itu Jazira tidak akan pergi kursus
Premis Mayor : Jika tidak turun hujan, maka Jazira akan pergi kursus.
Premis Minor   :  Hujan tidak turun
Konklusi          :  Sebab itu Jazira akan pergi kursus
Walaupun premis mayor bersifat hipotesis, premis minor dan konklusinya tetap bersifat kategorial. Premis mayor sebenarnya mengandung dua pernyataan kategorial, yang dalam contoh hujan tidak turun, dan Jazira akan pergi kencan. Bagian pertamanya disebut anteseden, sedangkan bagian keduanya disebut akibat.
Dalam silogisme hipotesis berasumsi bahwa ‘kebenaran anteseden akan mempengaruhi kebenaran akibat; kesalahan anteseden akan mengakibatkan kesalahan pada akibatnya’.
c.       Silogisme Alternatif
Jenis silogisme alternatif biasa juga disebut dengan silogisme disjungtif, karena proposisi mayornya merupakan sebuah proposisi alternatif, yaitu proposisi yang mengandung kemungkinan-kemungkinan atau pilihan. Sebaliknya proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi silogisme ini tergantung pada premis minornya, jika premis minornya menerima satu alternatif maka alternatif lainnya akan ditolak; dan jika premis minornya menolak satu alternatif maka alternatif lainnya akan diterima dalam konklusi.[4]
Contoh :
Premis Mayor : Zian ada di sekolah atau di rumah.
Premis Minor   : Zian ada di sekolah
Konklusi          : Sebab itu, Zian tidak ada dirumah
Secara praktis kita juga sering bertindak seperti itu. Untuk menetapkan sesuatu atau menemukan sesuatu secara sistematis kita bertindak sesuai dengan pola silogisme alternatif diatas.
d.      Entimem
Silogisme sebagai suatau cara untuk menyatakan pikiran tampaknya bersifat artificial. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme itu muncul hanya dengan dua proposisi, salah satunya dihilangkan. Walaupun dihilangkan,proposisi itu tetap dianggap ada dalam pikiran dan dianggap diketahui pula oleh orang lain. Bentuk semacam ini dinamakan entimem (dari enthymeme enthymema,yunani. Kata itu berasal dari kata kerja enthymeisthai yang berarti ‘simpan dalam ingatan’). Entimen adalah penalaran deduktif secara langsung. Misalnya sebuah silogisme asli akan dinyatakan oleh seoarang pengasuh ruangan olahraga dalam sebuah harian sebagai berikut:[5]
Premis mayorp     : Siapa saja yang dipilih mengikuti pertandingan   Thomas Cup adalah seorang pemain kawakan.
Premis minor       :Rudy Hartono terpilih untuk mengikuti pertandingan Thomas Cup
Konklusi              : Sebab itu Rudy Hartono adalah seorang pemain (bulu tangkis) kawakan.
Bila pengasuh ruangan olahraga menulis seperti diatas dan semua gaya tulisan sehari-hari mengikuti corak tersebut, maka akan dirasakan bahwa tulisannya terlalu kaku. Sebab itu ia akan mengambil bentuk lain, yaitu entimem. Bentuk itu akan berbunyi,”Rudi Hartono adalah seorang pemain bulu tangkis kawakan, karena terpilih untuk mengikuti pertandingan Thomas Cup.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa berpikir deduktif adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus yang disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
B.     Pengertian Berpikir Induktif
Filsuf pada zaman keemasan Yunani, Aristoteles menyatakan bahwa peruses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individu kepada yang bersifat universal, disebut sebagai pola penelaran induksi.[6] 
Induktif adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum (W.J.S. Poerwadarminta, 2006).
Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum (Suriasumantri,2005).
Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena yang ada, maka disebut sebagai sebuah corak berpikir yang ilmiah karena perlu proses penalaran yang ilmiah dalam penalaran induktif. Proses penalaran induktif dapat dibedakan lagi atas bermacam-macam variasi yaitu: generalisasi, hipotesa dan teori, analogi induktif, kausal, dan sebagainya.[7]
1.      Generalisasi
            Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak belakang dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena – fenomena.
Contoh : bila seseorang berkata bahwa mobil adalah semacam kendaraan  pengangkut, maka pengertian mobil dan kendaraan pengangkut merupakan hasil generalisasi juga. Dari bermacam-macam tipe kendaraan dengan ciri-ciri tertentu ia mendapatkan sebuah gagasan mengenai mobil, sedangkan dari bermacam-macam alat untuk mengangkut sesuatu lahirlah abstraksi yang lebih tinggi (generalisasi lagi) mengenai kendaraan pengangkut.
2.      Hipotesis dan teori
a.       Hipotesis
Secara bahasa hipotesis berasal dari dua kata, yaitu hypo artinya  dan thesisartinya pernyataan atau pendapat. Secara istilah hipotesis adalah suatu pernyataan yang pada waktu diungkapkan belum diketahui kebenarannya, tetapi memungkinkan untuk diuji dalam kenyataan empiris. Proses pembentukan hipotesis merupakan sebuah proses penalaran, yang melalui tahap-tahap tertentu. Hipotesis merupakan satu tipe proposisi yang langsung dapat diuji.
 Ciri Hipotesis Yang Baik. Perumusan hipotesis yang baik dan benar harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:
1)   Hipotesis harus dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan deklaratif, bukan kalimat pertanyaan.
2)   Hipotesis berisi penyataan mengenai hubungan antar paling sedikit dua variabel penelitian.
3)   Hipotesis harus sesuai dengan fakta dan dapat menerangkan fakta.
4)    Hipotesis harus dapat diuji (testable). Hipotesis dapat duji secara spesifik menunjukkan bagaimana variabel-variabel penelitian itu diukur dan bagaimana prediksi hubungan atau pengaruh antar variabel termaksud.[8]
5)    Hipotesis harus sederhana (spesifik) dan terbatas, agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian.
b.      Teori
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.
Teori juga merupakan suatu 
hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian di alam, atau tingkah laku hewan. Sering kali, teori dipandang sebagai suatu model atas kenyataan. Misalnya : apabila kucing mengeong berarti minta makan.
c.       Hubungan antara hipotesis dengan teori
Hipotesis ini merupakan suatu jenis proposisi yang dirumuskan sebagai jawaban tentatif atas suatu masalah dan kemudian diuji secara empiris. Sebagai suatu jenis proposisi, umumnya hipotesis menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel yang di dalamnya pernyataan-pernyataan hubungan tersebut telah diformulasikan dalam kerangka teoritis. Hipotesis ini, diturunkan, atau bersumber dari teori dan tinjauan literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu, teori yang tepat akan menghasilkan hipotesis yang tepat untuk digunakan sebagai jawaban sementara atas masalah yang diteliti atau dipelajari dalampenelitian. Dalam penelitian kuantitatif peneliti menguji suatu teori. Untuk meguji teori tersebut, peneliti menguji hipotesis yang diturunkan dari teori.
d.      Analogi
Analogi dalam bahasa Indonesia adalah kias (Arab: Qasa mengukur, membandingkan). Analogi adalah suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. Analogi merupakan salah satu teknik dalam proses penalaran induktif. Sehingga analogi kadang-kadang disebut juga sebagai analogi induktif, yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi juga pada fenomena yang lain.
Macam-macam analogi
a)      Analogi Induktif
Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang diperbandingkan. Misalnya, Tim Uber Indonesia mampu masuk babak final karena berlatih setiap hari. Maka tim Thomas Indonesia akan masuk babak final jika berlatih setiap hari.
b)      Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai. Misalnya, untuk penyelenggacraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.
c)      Hubungan Kausal
Hubungan kausal sering diartikan sebagai penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan, hubungan sebab – akibat (hubungan kausal) dapat berupa sebab yang sampai kepada kesimpulan yang merupakan akibat atau sebaliknya. Pada umumnya hubungan sebab akibat dapat berlangsungdalam tiga pola, yaitu sebab ke akibat, akibat ke sebab, dan akibat ke akibat. Namun, pola yang umum dipakai adalah sebab ke akibat dan akibat ke sebab. Ada 3 jenis hubungan kausal, yaitu:
1)          Hubungan sebab-akibat. Yaitu dimulai dengan mengemukakan fakta yang menjadi sebab dan sampai kepada kesimpulan yang menjadi akibat. Pada pola sebab ke akibat sebagai gagasan pokok adalah akibat, sedangkan sebab merupakan gagasan penjelas.
2)          Hubungan sebab-akibat, Yaitu hubungan yang dimulai dengan fakta yang menjadi akibat, kemudian dari fakta itu dianalisis untuk mencari sebabnya.
3)          Hubungan sebab-akibat, Yaitu dimulai dari suatu sebab yang dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat pertama berubah menjadi sebab yang menimbulkan akibat kedua. Demikianlah seterusnya hingga timbul rangkaian beberapa akibat.
d)     Induktif dalam metode eksposisi,
Eksposisi adalah salah satu jenis pengembangan paragraf dalam penulisan yang dimana isinya ditulis dengan tujuan untuk menjelaskan atau memberikan pengertian dengan gaya penulisan yang singkat, akurat, dan padat.
Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa berpikir induktif adalah cara berpikir yang bertolak dari hal-hal khusus ke umum yang mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena yang telah terjadi.














BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Berpikir deduktif adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Sedangkan berpikir induktif merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.















DAFTAR PUSTAKA

Aceng Rahmat dan Conny Semiawan dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana, 2011.
Mundiri, Logika. Jakarta: PT Raja Grapindo perdada, 1999.
Muhammad Adib, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Susanto,  Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumu Aksara, 2014.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002




[1] Aceng Rahmat dan Conny Semiawan dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Kencana, 2011). H.230.
[2] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h.57
[3] Mundiri, Logika (Jakarta: PT Raja Grapindo perdada, 1999), h.99.
[4]  Mundiri, Logika. H.100.
[5] Mundiri, Logika h. 103.
[6] Muhammad Adib, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.165.
[7] Susanto,  Filsafat Ilmu (Jakarta: Bumu Aksara, 2014), h.104.
[8] Mundiri, Logika,  h. 110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar