Minggu, 17 Januari 2016

politik hukum,PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG (UU) NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

MAKALAH
POLITIK HUKUM
PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG (UU) NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN




OLEH
IJAN SURYADI                                                       
                                                  NIM: 152.121.020





JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2016


KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Swt, yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga karya ini mampu jadi dan sempuena, seawat dan serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw,berserta keluarga dan para sahabatnya dan pengikutnya hinggan hari kiamat.
Makalah yang berjudul Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya UU Perkawinan Di Indonesia ini merupakan makalah yang mengkaji tentang penerapan dan perkembangan hukum Perkawinan  di Indonesia yang diakibatkaln oleh polituk hokum, Dengan demikian maka makalah ini akan mengakaji materi tengang Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya Hukum Perkawinan Di Indonesia  yang pembahasan nya akan di bahan pada bab selanjutnya.
Demikianlah  kata pengatar yang bisa kami samapaikan mudah-mudahan makalah ini dapat bermamfaat bagi kita semua. Aimin
                                                                       
          Mataram, 2 Januari 2015
                                                                                                  Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGATAR............................................................................        i
DAFTAR ISI.........................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................        1        
B.    Rumusan Masalah .......................................................................        4
BAB II PEMBAHASAN
A.    Islam Dan Politik.........................................................................        5
B.    Konsep Islam Tentang Politik Dan Hokum.................................        7
C.    Antara Islam Setruktural Dan Islam Kerkteral: kajian
      perbandiangan ............................................................................        9
D.    UU perkawinan sebagai Formulasi hukum islam  .......................        10
E.     politik hukum islam dan pengaruh berlakunya UU perkawinan..        17
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan .................................................................................        19
B.    Saran ...........................................................................................        19
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
    Islam merupakan agama yang memiliki penganut mayoritas di Indonesia merupakan sebuah realita. Tentu saja hal tersebut tidak dapat terjadi seketika, akan tetapi disinyalir ada beberapa penyebab yang melatarbelakanginya. Salah satunya  adalah adanya akulturasi budaya lokal Indonesia yang kental dengan adat ketimuran dengan budaya Islam, yang boleh jadi dianggap memiliki corak atau bahkan konsep yang tidak jauh berbeda, paling tidak dalam esensinya.
Islam termasuk di dalamnya huku dan politik sebagai konsep yang terintegrasi dan dibangun berdasarkan agama Islam tentusaja harus mengikuti alur yang diajarkan oleh Agama Islam yang bersumber dari dua sumber hukum utama yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah. Dalam konsep keyakinan umat Islam, maka konsep Islam harus dipercaya sebagai konsep yang terbaik dan solutif bagi permasalahan dunia sepanjang zaman, karena karakter hukum Islam itu sendiri dipastikan sesuai dengan berbagai zaman.[1]
Dikarenakan karakternya yang fleksibel, dalam tataran praktik, tidak dapat dipungkiri apabila kemudian muncul dua aliran besar mengenai konsep Islam itu sendiri, termasuk di dalamnya pemkiran mengenai penerapan hukum Islam. Pertama yaitu pandangan yang tekstual yang mengutamakan simbolik formal. Islam menurut pandangan ini tidak cukup dilaksanakan oleh individu sebagai ajaran agama, akan tetapi harus menjadi aturan resmi bahkan jika perlu Islam menjadi simbol dan dasar negara. Dan kedua, golongan yang berpaham konstekstual atau dikeal dengan Islam kultural, yang menginginkan hukum Islam berlaku tetapi tidak mengutamakan simbol-simbol struktural. Menurut pandangan ini, yang paling penting adalah sesensi dari ajaran Islam itu sendiri yang mewarnai konsep sebuah aturan, tanpa harus menyertakan label Islam di luarnya.[2]
Dalam pandangan penulis, permasalahan yang muncul kemudian adalah faktor pemahaman umat Islam Indonesia itu sendiri mengenai penerapan hukum Islam dalam setiap aspek kehidupan. Penyebabnya boleh jadi karena belum disadarinya hukum Islam sebagai konsep yang komprehensif. Kesyumulan (komprehensif) hukum Islam dalam menjawab tantangan permasalahan dewasa ini, masih banyak yang meragukan. Islam sering dibenturkan dengan kecanggihan teknologi, dan banyak dikesankan kaku dan bahkan kuno. Bahkan berkaitan dengan hukum, Islam sering dijustifikasi sebagai hukum yang bersebrangan dengan konsep Hak Asasi Manusia.[3]
Perlu dicatat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sesungguhnya sangat dihargai dalam agama Islam. Dengan kata lain, yang menjadi salah satu akar masalah mandegnya internalisasi konsep hukum Islam (syari’ah) termasuk di dalamnya mengenai diberlakukannya hukum Islam dalam lingkup yang lebih besar, yakni sistem hukum nasional, adalah dikarenakan konsep hukum Islam merupakan satu hal yang masih asing bahkan bagi kalangan umat Islam itu sendiri.
Dalam tataran sistem hukum nasional yang menggunakan konsep mix system, artinya percampuran antara hukum aliran Eropa Kontinental (Civil Law), hukum adat dan hukum Islam[4], maka implementasi konsep-konsep Islam dalam sebuah peraturan yang baku, mengikat dan memiliki daya paksa, yang diwujudkan dalam bentuk sebuah peraturan perundang-undangan, seharusnya tidak menemui kendala, alih-alih diyakini sebagai unsur pembentuk hukum yang mewarnai hukum positif di Indonesia, baik dari sisi materi, budaya maupun struktur hukumnya.   
Sekali lagi, Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena yang menjadi sumber dalam pembentukan hukum, dalam hal ini lebih ditekankan dalam arti undang-undang, adalah percampuran antara hukum adat lokal masyarakat Indonesia, hukum Islam dan hukum peninggalan kolonial Belanda. Artinya secara sadar, materi hukum Islam pada dasarnya diakui dan berlaku bagi penduduk yang beragama Islam, bahkan sejak penjajahan kolonial Belanda.
Sebagai penduduk mayoritas, tentunya umat Islam memiliki kepentingan yang besar, agar konsep hukum Islam dapat menjadi aturan yang mengikat dan kalau perlu berbentuk sebuah undang-undang. Untuk Indonesia yang penduduknya plural,  perjuangan hukum Islam lebih dianjurkan untuk mengikuti pola kultural dan mengesampingkan gerakan simbolik-formal. Yang paling perlu diperjuangkan adalah nilai-nilai substantif ajaran Islam agar dapat mengakar kuat dan bahkan menjadi unsur yang mewarnai materi sebuah peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang merupakan wujud aspirasi penerapan prinsip-prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan dan dianggap sebagai produk dari perjuangan politik hukum Islam kultural adalah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
B.       Rumusan  Masalah
1.      Bagaimana pengaruh ajaran Islam terhadap politik hukum Islam di Indonesia?
2.      Bagaimana arah kebijakan politik hukum Islam Indonesia dihubungkan dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Islam dan Politik
Tema mengenai Politik di dalam Islam merupakan tema yag sangat penting dan tetap menarik untuk didiskusikan. Secara konsep ternyata terjadi perdebatan yang cukup panjang di antara cendekiawan muslin itu sendiri. Pendapat pertama berpandangan bahwa Islam hanya merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, sehingga urusan duniawi termasuk politik di dalamnya merupakan urusan yang terpisah dari agama. Golongan ini mengatakan bahwa “innad diina syai-un wasiyasatu syai-un a-khar” artinya bahwa sesungguhnya agama adalah suatu hal dan politik adalah suatu hal yang lain. Pendapat kedua mengatakan bahwa Islam mempunyai konsep dan aturan yang lengkap, bukan hanya mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhannya tapi juga urusan manusia dengan sesamanya, termasuk di dalamnya aturan berpolitik.[5]
Mengenai dua perbedaan pendapat di atas, penulis cenderung memiliki pemikiran yang  sama dengan pendapat kedua. Dalam pandangan penulis justru letak lengkapnya konsep Islam itu terletak di sana. Sebaliknya ketika Islam dipandang sebagai aturan yang terpisah dengan dunia, yang secara tegas melebarkan jarak dengan politik, penulis melihat hal tersebut akan menjadi titik kelemahan Islam  itu sendiri. Saat ini dunia sedang sibuk dengan mempersempit jarak dan sekat antar negara dengan adanya globalisasi yang melibatkan umat Islam di dalamnya. Sebuah keniscayaan ternyata hubungan antar negara dan bangsa tidak ddibatasi oleh perbedaan agama, budaya dan bahasa sekalipun. Jika demikian, bagaimana jadinya umat Islam jika menutupmata dari perkembangan dunia.
Sekali lagi penulis cenderung mengatakan bahwa Islam secara jelas mengatur bagaimana caranya berpolitik. Senada dengan pandangan penulis, Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy bahwa tata aturan Islam sesungguhnya merupakan tata aturan yang bersipat politik dan bersipat agama. Sebagai rujukan beliau juga gambarkan mengenai sejarah pembentukan negara Islam di Madinah oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya merupakan tata aturan yang sangat kental dengan politik, yang dikenal dengan konsep syura..[6] 
Sebagai catatan, ternyata sejarah politik Islam di kemudian hari juga sangat dipengaruhi oleh warisan Romawi dan persia. Sebagaimana Rusjdi Ali Muhammad mengatakan:[7]
“Dari kenyataan sejaharh, masa kira-kira 30 tahun pertama sejarah Islam setelah wafat Nabi Muhammad saw, sejarah Islam tidak mengenal sistem politik dinastik dan sistem kerajaan. Tetapi dalam perkemabangan lebih lanjut, akibat kuatnya pengaruh warisan Romawi dan Persia sejak zaman Khalifah Umayyah (tahun 661-749M), maka doktrin politik egaliter tersebut terbenam di bawah pengaruh tersebut”.

B.     Konsep Islam Tentang Politik dan Hukum
Berbicara tentang bagaimana konsep yang ditawarkan Islam mengenai politik dan hukum tentu saja memerlukan waktu dan kesempatan yang lebih khusus. Hal tersebut dikarenakan dua hal tersebut merupakan tema yang sangat luas cakupannya, sehingga pada sub bab ini penulis hanya mendeskripsikan beberapa hal yang menurut penulis dapat mewakili gambaran mengenai politik dan hukum di dalam Islam.
Secara sederhana gambaran tentang politik atau dalam literatur keislaman sering disebut dengan istilah siasah islam meliputi beberapa hal berikut[8]:
1.      Siasah Islam menghormati eksistensi kemanusiaan dan akal sehat (dasar-dasar dan prinsipnya sejalan dengan tata alamiah)
2.      Siasah Islam merupakan sistem yang mutlak adil, tidak membedakan manusia berdasarkan ras, keturunan, serta harta kekayaan dan beranggapan bahwa semua manusia sama di hadapan hukum (equal before the law).
3.      Siasah Islam konsisten dengan syarat-syarat seorang pemimpin yakni kesatriaan, kemuliaan, keimanan, ketakwaan, kebersamaan, kekeluargaan, dan pengalamannya dalam urusan agama dan dunia.
4.      Siasah Islam merupakan bagian dari satu sistem yang menyeluruh dan cara hidup yang total (kaafah).
5.      Tidak ada tempat bagi pemikiran sekuler yang memisahkan dunia dari agama. Siasah Islam adalah bagian dari agama.
Sementara berkaitan dengan hukum, pandangan umum hukum sering diartikan sebagai kaidah atau norma yang hidup sebagai pedoman pergaulan di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan sanksi dan diterapkan oleh lembaga yang berwenang sebagai aturan yang mengikat. Artinya kaidah yang belum diterapkan oleh lembaga yang berwenang (seperti parlemen) secara kategoris tidak disebut hukum, meskipun secara harfiah sering disebut hukum.
Senada dengan hal di atas, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, ciri yang menonjol hukum yang “murni”, yaitu dibuat secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan penciptaan dan pembuatan hukum itu.[9]
Menurut Mahfud MD, Hal yang mendasari pemikiran tentang hukum, adalah adanya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat yang menciptakan ketertiban. Dasar pemikiran tersebut digambarkan dalam adagium “ubi societas ibi ius”, yang artinya “di mana ada masyarakat di sana ada hukum”. Dari adagium tersebut jelas, bahwa hukum hanya ada di tengah-tengah masyarakat, sehingga jika orang hidup sendiri (meskipun tidak mungkin) maka hukum dapat dikatakan tidak ada. Orang menjadi terikat pada hukum karena dia hidup dengan orang lain yang mempunyai kepentingan masing-masing. Dalam menaati hukum, adagium tersebut, ternyata masih memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan pelanggaran, apabila merasa hidup sendiri atau merasa perbuatannya tidak diketahui oleh orang lain
Dalam konsep Islam, hukum itu ada tanpa harus seseorang hidup dengan orang lain. Meskipun seumpamanya orang hidup sendiri, hukum itu ada karena hukum diberlakukan sebagai alat kontrol dan pengatur hidup seseorang sebagai khalifah baik ketika berhubungan dengan manusia lain, maupun hubungannya pribadinya dengan Tuhan. Dengan prinsip seperti itu, ketaatan seseorang dituntut untuk selalu konsisten, kapan dan dimanapun ia berada karena selalu merasa diawasi Tuhan, sekalipun tidak ada orang yang mengetahui.
C.    Antara Islam Struktural dan Islam Kultural; Sebuah Kajian Perbandingan
Penerapan hukum Islam dengan segala konsepnya sejak islam berkuasa dimulai dengan didirikannya negara Islam di madinah sampai dengan runtuhnya Islam setelah perang salib, sampai saat ini telah mengalami pasang surut. Penerapannya di negara-negara tertentu seperti, Iran, Arab Saudi, Yordania, Malaysia dan Indonesia telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan aplikasi tanpa meninggalkan esensi. Hal tersebut dikarenakan sejak awal konsep mengenai politik dan hukum Islam itu sendiri telah berbeda, antara Islam yang tekstual dan kontekstual.
Dilihat dari penerapan hukum Islam, dalam membumikan hukum Islam itu sendiri, tampaknya di Indonesia belakangan semakin mengkrucut menjadi dua gerakan. Yang pertama, gerakan formal-struktural, biasanya disebut Islam politik atau Islam struktural. Gerakan ini memperjuangkan Islam menjadi simbol atau wadah formal dalam organisasi negara, mulai dari bentuk yang paling tinggi, yakni mernjadi negara Islam sampai menjadikan hukum Islam resmi seperti Undang-Undang atau Kanun. Yang kedua, gerakan Islam kultural yang menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai substantif tanpa melibatkan simbol Islam dan tidak mengharuskan berdirinya negara Islam atau memformalkan hukum Islam melalui kekuasaan negara.
Penulis secara pribadi melihat kedua gerakan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang di saat yang bersamaan akan dapat saling melengkapi dan pada kesempatan yang berbeda mempunyai nilai efektifitas tersendiri. Konteks keIndonesiaan sebagaimana disinggung di awal, ternyata lebih tepat apabila memilih gerakan yang kedua (Islam kultural) sebagai kendaraan untuk menerapkan hukum Islam.
D.    UU Perkawinan Sebagai Formalisasi Hukum Islam
1.      Hukum Islam di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah
Pada masa penjajahan Belanda, sesungguhnya hukum Islam sudah berlaku di Indonesia berdasarkan pada dua teori, yakni teori Receptie in Complexu yang dikemukakan oleh Lodewijke Willem Cristian Van den Berg (1845-1927) yang dalam tahun 1884 menulis buku Muhammadan Recht (asas-asas hukum Islam), yang intinya menyatakan bahwa “hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam Bumi Putra walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan”[10].
Pendapat ini sesuai dengan Reegering Reglement (Stb 1884 No.129 di negeri Belanda jo. Stb 1885 No.2 di Indonesia, terutama diatur dalam pasal 75, pasal 78, jo Pasal 109 RR tersebut). Pasal 75 ayat (3) RR tersebut mengatur : “ apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh Hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam Gonsdienting Wetten dan kebiasaan mereka”.
Kemudian terdapat teori receptie yang menentang teori receptie in complexu yang di kemukakan oleh Christian Snouck Hoergronje (1857-1936)  yang menyatakan  Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi 2 syarat yaitu : pertama, Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat), kedua, kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma dan kaidah hukum Islam itu juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.
Secara tegas sejak berdirinya negara Indonesia dinatyatkan bahwa Indoensia adalah negara hukum yang berdasarkan konstitusi UUD 1945. Bukan negara sekuler, bukan pula negara Islam. Sebagai bukti konkrit, dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku di Indonesia terdiri tidak terlepas dari tiga sumber hukum utama, yakni; pertama, hukum barat yang merupakan hukum peninggalan penjajahan Belanda  yang di berlakukan di Indonesia berdasarkan Pasal II aturan peralihan. Kedua, hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan Al-hadits diberlakukan  karena mayoritas rakyat di Indonesia beragama Islam. Ketiga hukum adat, di dalam UUD 1945 negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
2.      Sejarah Singkat Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sebagai masyarakat mayoritas, telah lama umat Islam di Indonesia ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk mendeskripsikan mengenai sejarah lahirnya undang-undang perkawinan tersebut, paling tidak ada empat masa yang dilalui, yakni:
a.       Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan.[11] Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[12]
3.      Masa Penjajahan di Indonesia
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[13] Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).[14] Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.[15]
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.[16] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut ditolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
4.      Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.[17]
5.      Masa Menjelang Kelahiran UU Perkawinan
Pada tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada tahun 1973.[18]
6.      Pemberlakuan UU Perkawinan
Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
Dalam pandangan penulis dengan diberlakukannya UU Perkawinan tersebut, jelas merupakan bagian penting dalam perjuangan umat Islam di Indonesia untuk formalisasi hukum Islam menjadi sebuah aturan tertulis yang memiliki kekuatan mengikat dan berlaku umum karena berlaku dalam bentuk undang-undang.            
E.     Politi Hukum Islam dan pengaruh terhadap berlakunya UU Perkawinan
1.      Pengaruh Ajaran Islam Kultural Terhadap Politik Hukum Islam di Indonesia.
2.      Arah Kebijakan Politik Hukum Islam Indonesia Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Politik sebagaimana yang dimaksud oleh Van Der Tas yaitu beleid (kebijakan). Apabila dikaitkan dengan politik hukum, penulis cenderung memahaminya sebagai sebuah bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga negara yang mempunyai kewenangan dalam membuat peraturan tersebut sebagai sebuah kebijakan yang menentukan arah berkehidupan suatu bangsa. Bentuk nyata yang paling kental dengan hal tersebut adalah diundangkannya sebuah undang-undang.
Sebagaimana disinggung di awal, bahwa undang-undang perkawinan merupakan salah satu produk perundang-undangan yang disinyalir sangat kuat dipenagruhi oleh aspirasi umat Islam di Indonesia, bahkan perjalanan sejarah telah merekam begitu panjang proses awal sampai lahirnya undang-undang perkawinan pada tahun 1974.
Ketika politik hukum diartikan sebagai arah kebijakan negara, dalam hal ini berkaitan dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penulis melihat bahwa arah kebijakan yang dimaksud adalah mengakomodir aspirasi umat Islam yang kebetulan mayoritas memilih faham madzhab syafi’i dan diwujudkan dalam satu bentuk perundang-undangan. Harapannya tentu saja agar nilai-nilai Islam yang sudah sejak lama mewarnai cara berhukumnya orang Indonesia, kemudian dapat memiliki ketegasan dan pengakuan dari negara. Dengan begitu perjuangan umat Islam, yang dalam porsi tertentu mengharuskan diberlakukannya hukum islam, paling tidak satu demi satu dapat terwujud walaupun dengan tetap memperhatikan konteks keIndonsiaan yang dikenal multi agama, etnik dan budaya.. 


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Ajaran Islam kulutral mempunyai pengaruh yang sangat besar  dan dianggap cukup tepat dalam memberi bentuk corak politik hukum Islam di Indonesia yang bersifat heterogen
2.      Arah kebijakan politik hukum Islam di Indonesia dihubungkan dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sangat kental terlihat dengan dimasukannya materi fiqih islam terutama fiqih madzhab Syafi’i hampir dalam seluruh pasal undang-undang tersebut.
B.     Saran
Demikianlah makalah ini disusun berdasarkan temayang sudah menjadi topic dalam pembelajaran politik hukum, dengan demikian kirnya setelah membaca dan memehami isi dari makalah ini barang tentu jika ada kesalahan dan kekeliruan maka kami mengarapkan kemaklumanya.








DAFTAR PUSTAKA
Abu Ridha, Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?, Syamil Cipta Media, Bandung, 2004.
Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Ciputat Press, Tangerang, 2005.
Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Rajawali, Bandung, 1983.
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Rafika Aditama, Bandung, 2006.
Idris Ramulyo. Asas-asas Hukum Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 1997.
Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, Jakarta, 2000.
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999
Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, Jakarta,  1984.
Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Yayasan Idayu, Jakarta,  1981.
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1992.
Misanam, Munrokhim, , et.all, Ekonomi Islam, Rajawali Perss, Jakarta, 2007.
Moch. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta,  2010.
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, Majalah Pembangunan No 2 Tahun ke XII, Maret 1982.
M. Khoirul Anam, Islam, Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, Inisiasi Press, 2004
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2003.
R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Universitas Airlangga Press, Surabaya, 1988.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke 6, Alumni, Bandung, 2006.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002.





[1] Dalam tema hukum Islam yang diidentikan dengan dua istilah, yakni syariah; konsep yang sudah baku dan tidak menerima tafsir, di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sendiri  jumlahnya sedikit dan fiqh; konsep yang fleksibel dan menerima interpretasi bahkan reinterpretasi disesuaikan dengan zaman tanpa meninggalkan esensinya, jumlahnya dominan. Bandingkan dengan Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 11
[2] Bandingkan dengan Munrokhim Misanam, et.all, Ekonomi Islam, Rajawali Perss, Jakarta, 2007, hlm. 13
[3] Konsep HAM lahir setelah adanya sekularisasi atau pemisahan yurisdikasi greja dan raja pada abad ke 13 dan 14. Sehingga muncullah teori kontrak sosial yang memberikan formulasi bahwa raja atau pemerintah merupakan perwakilan rakyat yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan untuk mengatur dan memenuhi kepentingan masyarakat, termasuk di dalamnya masalah HAM. Lihat Moch. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta,  2010, hlm. 268
[4] Bandingkan dengan Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Rafika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 31.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 5-6
[6] Sebagai contoh konkrit adalah proses pemilihan Abu Bakar r.a. sebagai khalifah selepas wafatnya Rasulullah saw. Ketika itu diadakan pertemuan penting yang dihadiri oleh para tokoh dari berbagai klan atau kabilah untuk membahas mengenai keadaan umat dan negara serta menentukan aturan pemilihan pemimpin yang akan meneruskan kepemimpinan Rasulullah saw. Bandingkan dengan Idem, hlm. 7
[7] Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2003, hlm. 15
[8] Abu Ridha, Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?, Syamil Cipta Media, Bandung, 2004, hlm. 53-58
[9] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke 6, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 15
[10] Idris Ramulyo. Asas-asas Hukum Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 1997. hlm 54
[11] Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 70
[12] Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, Jakarta,  1984, hlm. 197.
[13] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 11
[14] Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, Majalah Pembangunan No 2 Tahun ke XII, Maret 1982, hlm. 101.
[15] Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Yayasan Idayu, Jakarta,  1981, hlm. 9-10
[16] Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1992, hlm 77
[17] R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Universitas Airlangga Press, Surabaya, 1988, hlm. 18
[18] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Rajawali, Bandung, 1983, hlm.  98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar