MAKALAH
POLITIK
HUKUM
PERKEMBANGAN POLITIK
HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG (UU) NO. 1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN
OLEH
IJAN
SURYADI
NIM: 152.121.020
JURUSAN
MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Swt, yang telah memberikan kesehatan
dan kekuatan sehingga karya ini mampu jadi dan sempuena, seawat dan serta salam
kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw,berserta keluarga dan para sahabatnya
dan pengikutnya hinggan hari kiamat.
Makalah
yang berjudul Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya UU Perkawinan
Di Indonesia ini merupakan makalah yang mengkaji tentang penerapan dan
perkembangan hukum Perkawinan di
Indonesia yang diakibatkaln oleh polituk hokum, Dengan demikian maka makalah
ini akan mengakaji materi tengang Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya
Terhadap Berlakunya Hukum Perkawinan Di Indonesia yang pembahasan nya akan di bahan pada bab
selanjutnya.
Demikianlah
kata pengatar yang bisa kami samapaikan mudah-mudahan makalah ini dapat
bermamfaat bagi kita semua. Aimin
Mataram, 2 Januari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL
KATA
PENGATAR............................................................................ i
DAFTAR
ISI......................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ....................................................................... 4
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Islam Dan Politik......................................................................... 5
B.
Konsep Islam Tentang Politik Dan Hokum................................. 7
C.
Antara Islam Setruktural Dan Islam Kerkteral: kajian
perbandiangan ............................................................................ 9
D.
UU perkawinan sebagai Formulasi hukum islam ....................... 10
E.
politik hukum islam dan pengaruh berlakunya UU
perkawinan.. 17
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ................................................................................. 19
B.
Saran ........................................................................................... 19
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam merupakan agama yang memiliki penganut
mayoritas di Indonesia merupakan sebuah realita. Tentu saja hal tersebut tidak
dapat terjadi seketika, akan tetapi disinyalir ada beberapa penyebab yang
melatarbelakanginya. Salah satunya
adalah adanya akulturasi budaya lokal Indonesia yang kental dengan adat
ketimuran dengan budaya Islam, yang boleh jadi dianggap memiliki corak atau
bahkan konsep yang tidak jauh berbeda, paling tidak dalam esensinya.
Islam
termasuk di dalamnya huku dan politik sebagai konsep yang terintegrasi dan
dibangun berdasarkan agama Islam tentusaja harus mengikuti alur yang diajarkan oleh
Agama Islam yang bersumber dari dua sumber hukum utama yaitu Al-Quran dan
Al-Sunnah. Dalam konsep keyakinan umat Islam, maka konsep Islam harus dipercaya
sebagai konsep yang terbaik dan solutif bagi permasalahan dunia sepanjang
zaman, karena karakter hukum Islam itu sendiri dipastikan sesuai dengan
berbagai zaman.[1]
Dikarenakan
karakternya yang fleksibel, dalam tataran praktik, tidak dapat dipungkiri
apabila kemudian muncul dua aliran besar mengenai konsep Islam itu sendiri, termasuk
di dalamnya pemkiran mengenai penerapan hukum Islam. Pertama yaitu pandangan
yang tekstual yang mengutamakan simbolik formal. Islam menurut pandangan ini
tidak cukup dilaksanakan oleh individu sebagai ajaran agama, akan tetapi harus
menjadi aturan resmi bahkan jika perlu Islam menjadi simbol dan dasar negara. Dan
kedua, golongan yang berpaham konstekstual atau dikeal dengan Islam kultural,
yang menginginkan hukum Islam berlaku tetapi tidak mengutamakan simbol-simbol
struktural. Menurut pandangan ini, yang paling penting adalah sesensi dari
ajaran Islam itu sendiri yang mewarnai konsep sebuah aturan, tanpa harus
menyertakan label Islam di luarnya.[2]
Dalam
pandangan penulis, permasalahan yang muncul kemudian adalah faktor pemahaman
umat Islam Indonesia itu sendiri mengenai penerapan hukum Islam dalam setiap
aspek kehidupan. Penyebabnya boleh jadi karena belum disadarinya hukum Islam
sebagai konsep yang komprehensif. Kesyumulan
(komprehensif) hukum Islam dalam menjawab tantangan permasalahan dewasa ini,
masih banyak yang meragukan. Islam sering dibenturkan dengan kecanggihan
teknologi, dan banyak dikesankan kaku dan bahkan kuno. Bahkan berkaitan dengan
hukum, Islam sering dijustifikasi sebagai hukum yang bersebrangan dengan konsep
Hak Asasi Manusia.[3]
Perlu
dicatat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sesungguhnya sangat
dihargai dalam agama Islam. Dengan kata lain, yang menjadi salah satu akar
masalah mandegnya internalisasi konsep hukum Islam (syari’ah) termasuk di
dalamnya mengenai diberlakukannya hukum Islam dalam lingkup yang lebih besar,
yakni sistem hukum nasional, adalah dikarenakan konsep hukum Islam merupakan
satu hal yang masih asing bahkan bagi kalangan umat Islam itu sendiri.
Dalam
tataran sistem hukum nasional yang menggunakan konsep mix system, artinya percampuran antara hukum aliran Eropa
Kontinental (Civil Law), hukum adat
dan hukum Islam[4], maka
implementasi konsep-konsep Islam dalam sebuah peraturan yang baku, mengikat dan
memiliki daya paksa, yang diwujudkan dalam bentuk sebuah peraturan
perundang-undangan, seharusnya tidak menemui kendala, alih-alih diyakini
sebagai unsur pembentuk hukum yang mewarnai hukum positif di Indonesia, baik
dari sisi materi, budaya maupun struktur hukumnya.
Sekali
lagi, Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena yang menjadi sumber dalam
pembentukan hukum, dalam hal ini lebih ditekankan dalam arti undang-undang,
adalah percampuran antara hukum adat lokal masyarakat Indonesia, hukum Islam
dan hukum peninggalan kolonial Belanda. Artinya secara sadar, materi hukum
Islam pada dasarnya diakui dan berlaku bagi penduduk yang beragama Islam,
bahkan sejak penjajahan kolonial Belanda.
Sebagai
penduduk mayoritas, tentunya umat Islam memiliki kepentingan yang besar, agar
konsep hukum Islam dapat menjadi aturan yang mengikat dan kalau perlu berbentuk
sebuah undang-undang. Untuk Indonesia yang penduduknya plural, perjuangan hukum Islam lebih dianjurkan untuk
mengikuti pola kultural dan mengesampingkan gerakan simbolik-formal. Yang
paling perlu diperjuangkan adalah nilai-nilai substantif ajaran Islam agar
dapat mengakar kuat dan bahkan menjadi unsur yang mewarnai materi sebuah
peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang
merupakan wujud aspirasi penerapan prinsip-prinsip syariah dalam peraturan
perundang-undangan dan dianggap sebagai produk dari perjuangan politik hukum
Islam kultural adalah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh ajaran Islam terhadap
politik hukum Islam di Indonesia?
2. Bagaimana arah kebijakan politik hukum
Islam Indonesia dihubungkan dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Islam dan Politik
Tema
mengenai Politik di dalam Islam merupakan tema yag sangat penting dan tetap
menarik untuk didiskusikan. Secara konsep ternyata terjadi perdebatan yang
cukup panjang di antara cendekiawan muslin itu sendiri. Pendapat pertama
berpandangan bahwa Islam hanya merupakan hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, sehingga urusan duniawi termasuk politik di dalamnya merupakan urusan
yang terpisah dari agama. Golongan ini mengatakan bahwa “innad diina syai-un wasiyasatu syai-un a-khar” artinya bahwa
sesungguhnya agama adalah suatu hal dan politik adalah suatu hal yang lain.
Pendapat kedua mengatakan bahwa Islam mempunyai konsep dan aturan yang lengkap,
bukan hanya mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhannya tapi juga urusan
manusia dengan sesamanya, termasuk di dalamnya aturan berpolitik.[5]
Mengenai
dua perbedaan pendapat di atas, penulis cenderung memiliki pemikiran yang sama dengan pendapat kedua. Dalam pandangan
penulis justru letak lengkapnya konsep Islam itu terletak di sana. Sebaliknya
ketika Islam dipandang sebagai aturan yang terpisah dengan dunia, yang secara
tegas melebarkan jarak dengan politik, penulis melihat hal tersebut akan
menjadi titik kelemahan Islam itu
sendiri. Saat ini dunia sedang sibuk dengan mempersempit jarak dan sekat antar
negara dengan adanya globalisasi yang melibatkan umat Islam di dalamnya. Sebuah
keniscayaan ternyata hubungan antar negara dan bangsa tidak ddibatasi oleh
perbedaan agama, budaya dan bahasa sekalipun. Jika demikian, bagaimana jadinya
umat Islam jika menutupmata dari perkembangan dunia.
Sekali
lagi penulis cenderung mengatakan bahwa Islam secara jelas mengatur bagaimana
caranya berpolitik. Senada dengan pandangan penulis, Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy bahwa tata aturan Islam sesungguhnya merupakan tata aturan yang
bersipat politik dan bersipat agama. Sebagai rujukan beliau juga gambarkan
mengenai sejarah pembentukan negara Islam di Madinah oleh Nabi Muhammad saw dan
para sahabatnya merupakan tata aturan yang sangat kental dengan politik, yang
dikenal dengan konsep syura..[6]
Sebagai
catatan, ternyata sejarah politik Islam di kemudian hari juga sangat
dipengaruhi oleh warisan Romawi dan persia. Sebagaimana Rusjdi Ali Muhammad
mengatakan:[7]
“Dari kenyataan sejaharh, masa
kira-kira 30 tahun pertama sejarah Islam setelah wafat Nabi Muhammad saw,
sejarah Islam tidak mengenal sistem politik dinastik dan sistem kerajaan.
Tetapi dalam perkemabangan lebih lanjut, akibat kuatnya pengaruh warisan Romawi
dan Persia sejak zaman Khalifah Umayyah (tahun 661-749M), maka doktrin politik
egaliter tersebut terbenam di bawah pengaruh tersebut”.
B.
Konsep Islam Tentang Politik dan Hukum
Berbicara
tentang bagaimana konsep yang ditawarkan Islam mengenai politik dan hukum tentu
saja memerlukan waktu dan kesempatan yang lebih khusus. Hal tersebut
dikarenakan dua hal tersebut merupakan tema yang sangat luas cakupannya,
sehingga pada sub bab ini penulis hanya mendeskripsikan beberapa hal yang
menurut penulis dapat mewakili gambaran mengenai politik dan hukum di dalam
Islam.
Secara
sederhana gambaran tentang politik atau dalam literatur keislaman sering
disebut dengan istilah siasah islam
meliputi beberapa hal berikut[8]:
1. Siasah Islam menghormati eksistensi
kemanusiaan dan akal sehat (dasar-dasar dan prinsipnya sejalan dengan tata
alamiah)
2. Siasah Islam merupakan sistem yang
mutlak adil, tidak membedakan manusia berdasarkan ras, keturunan, serta harta
kekayaan dan beranggapan bahwa semua manusia sama di hadapan hukum (equal before the law).
3. Siasah Islam konsisten dengan
syarat-syarat seorang pemimpin yakni kesatriaan, kemuliaan, keimanan,
ketakwaan, kebersamaan, kekeluargaan, dan pengalamannya dalam urusan agama dan
dunia.
4. Siasah Islam merupakan bagian dari satu
sistem yang menyeluruh dan cara hidup yang total (kaafah).
5. Tidak ada tempat bagi pemikiran sekuler
yang memisahkan dunia dari agama. Siasah Islam adalah bagian dari agama.
Sementara
berkaitan dengan hukum, pandangan umum hukum sering diartikan sebagai kaidah
atau norma yang hidup sebagai pedoman pergaulan di dalam masyarakat yang
pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan sanksi dan diterapkan oleh lembaga yang
berwenang sebagai aturan yang mengikat. Artinya kaidah yang belum diterapkan
oleh lembaga yang berwenang (seperti parlemen) secara kategoris tidak disebut
hukum, meskipun secara harfiah sering disebut hukum.
Senada
dengan hal di atas, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, ciri yang menonjol
hukum yang “murni”, yaitu dibuat secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan
dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan penciptaan dan pembuatan
hukum itu.[9]
Menurut
Mahfud MD, Hal yang mendasari pemikiran tentang hukum, adalah adanya aturan
main dalam kehidupan bermasyarakat yang menciptakan ketertiban. Dasar pemikiran
tersebut digambarkan dalam adagium “ubi
societas ibi ius”, yang artinya “di mana ada masyarakat di sana ada hukum”.
Dari adagium tersebut jelas, bahwa hukum hanya ada di tengah-tengah masyarakat,
sehingga jika orang hidup sendiri (meskipun tidak mungkin) maka hukum dapat
dikatakan tidak ada. Orang menjadi terikat pada hukum karena dia hidup dengan
orang lain yang mempunyai kepentingan masing-masing. Dalam menaati hukum,
adagium tersebut, ternyata masih memberikan peluang bagi manusia untuk
melakukan pelanggaran, apabila merasa hidup sendiri atau merasa perbuatannya
tidak diketahui oleh orang lain
Dalam
konsep Islam, hukum itu ada tanpa harus seseorang hidup dengan orang lain.
Meskipun seumpamanya orang hidup sendiri, hukum itu ada karena hukum
diberlakukan sebagai alat kontrol dan pengatur hidup seseorang sebagai khalifah baik ketika berhubungan dengan
manusia lain, maupun hubungannya pribadinya dengan Tuhan. Dengan prinsip
seperti itu, ketaatan seseorang dituntut untuk selalu konsisten, kapan dan
dimanapun ia berada karena selalu merasa diawasi Tuhan, sekalipun tidak ada
orang yang mengetahui.
C.
Antara Islam Struktural dan Islam Kultural; Sebuah
Kajian Perbandingan
Penerapan
hukum Islam dengan segala konsepnya sejak islam berkuasa dimulai dengan
didirikannya negara Islam di madinah sampai dengan runtuhnya Islam setelah
perang salib, sampai saat ini telah mengalami pasang surut. Penerapannya di
negara-negara tertentu seperti, Iran, Arab Saudi, Yordania, Malaysia dan
Indonesia telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan aplikasi tanpa
meninggalkan esensi. Hal tersebut dikarenakan sejak awal konsep mengenai
politik dan hukum Islam itu sendiri telah berbeda, antara Islam yang tekstual
dan kontekstual.
Dilihat
dari penerapan hukum Islam, dalam membumikan hukum Islam itu sendiri, tampaknya
di Indonesia belakangan semakin mengkrucut menjadi dua gerakan. Yang pertama,
gerakan formal-struktural, biasanya
disebut Islam politik atau Islam struktural. Gerakan ini memperjuangkan Islam
menjadi simbol atau wadah formal dalam organisasi negara, mulai dari bentuk
yang paling tinggi, yakni mernjadi negara Islam sampai menjadikan hukum Islam
resmi seperti Undang-Undang atau Kanun. Yang kedua, gerakan Islam kultural yang menyebarkan dan
menanamkan nilai-nilai substantif tanpa melibatkan simbol Islam dan tidak
mengharuskan berdirinya negara Islam atau memformalkan hukum Islam melalui
kekuasaan negara.
Penulis
secara pribadi melihat kedua gerakan tersebut mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing yang di saat yang bersamaan akan dapat saling
melengkapi dan pada kesempatan yang berbeda mempunyai nilai efektifitas
tersendiri. Konteks keIndonesiaan sebagaimana disinggung di awal, ternyata
lebih tepat apabila memilih gerakan yang kedua (Islam kultural) sebagai
kendaraan untuk menerapkan hukum Islam.
D.
UU Perkawinan Sebagai Formalisasi Hukum Islam
1.
Hukum Islam di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah
Pada masa penjajahan Belanda,
sesungguhnya hukum Islam sudah berlaku di Indonesia berdasarkan pada dua teori,
yakni teori Receptie in Complexu yang
dikemukakan oleh Lodewijke Willem Cristian Van den Berg (1845-1927) yang dalam
tahun 1884 menulis buku Muhammadan Recht
(asas-asas hukum Islam), yang intinya menyatakan bahwa “hukum Islam diperlukan
bagi orang-orang Islam Bumi Putra walaupun dengan sedikit
penyimpangan-penyimpangan”[10].
Pendapat ini sesuai dengan Reegering Reglement (Stb 1884 No.129 di
negeri Belanda jo. Stb 1885 No.2 di Indonesia, terutama diatur dalam pasal 75,
pasal 78, jo Pasal 109 RR tersebut). Pasal 75 ayat (3) RR tersebut mengatur : “
apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama
Islam oleh Hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam Gonsdienting Wetten dan kebiasaan
mereka”.
Kemudian terdapat teori receptie yang menentang teori receptie in complexu yang di kemukakan
oleh Christian Snouck Hoergronje (1857-1936)
yang menyatakan Hukum Islam baru
dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi 2 syarat yaitu : pertama,
Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat
masyarakat setempat), kedua, kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma dan
kaidah hukum Islam itu juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah
ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.
Secara tegas sejak berdirinya
negara Indonesia dinatyatkan bahwa Indoensia adalah negara hukum yang berdasarkan
konstitusi UUD 1945. Bukan negara sekuler, bukan pula negara Islam. Sebagai
bukti konkrit, dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku di Indonesia terdiri tidak
terlepas dari tiga sumber hukum utama, yakni; pertama, hukum barat yang
merupakan hukum peninggalan penjajahan Belanda
yang di berlakukan di Indonesia berdasarkan Pasal II aturan peralihan.
Kedua, hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan Al-hadits
diberlakukan karena mayoritas rakyat di
Indonesia beragama Islam. Ketiga hukum adat, di dalam UUD 1945 negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip NKRI.
2.
Sejarah Singkat Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Sebagai
masyarakat mayoritas, telah lama umat Islam di Indonesia ingin memiliki
hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan
Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan.
Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada
awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Untuk
mendeskripsikan mengenai sejarah lahirnya undang-undang perkawinan tersebut,
paling tidak ada empat masa yang dilalui, yakni:
a.
Masa
Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam
sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di
Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke
13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.
Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan
Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi
memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang
bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala
urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan.[11]
Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam
seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut
diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[12]
3.
Masa
Penjajahan di Indonesia
Pada masa
kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia,
kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu
diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di
Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer,
mengikuti nama penghimpunnya.[13]
Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah
Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).[14]
Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur
berubah terhadap hukum Islam.
Pada
Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta
mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang
perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir
penjajah.[15]
Pada
permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan
Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern
huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan
berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak
meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan
oleh hakim.[16]
Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan
orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis.
Namun rancangan ordonansi tersebut ditolak oleh organisasi Islam karena isi
ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
4.
Masa Awal
Kemerdekaan
Setelah
kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang
perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai
Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam
pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4
tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi
tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi
tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian
bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Pada bulan
Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau
kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan.
Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19
tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua,
ketiga dan seterusnya.
Pada tanggal
6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang
secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei
1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus
dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan
oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan
Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah
perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon
pengantin.[17]
5.
Masa
Menjelang Kelahiran UU Perkawinan
Pada tahun
1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang
berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada
tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang
Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan
tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan
RUU Perkawinan yang baru pada tahun 1973.[18]
6.
Pemberlakuan
UU Perkawinan
Pada tanggal
22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep RUU
Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada
tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan
diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
Dalam
pandangan penulis dengan diberlakukannya UU Perkawinan tersebut, jelas
merupakan bagian penting dalam perjuangan umat Islam di Indonesia untuk
formalisasi hukum Islam menjadi sebuah aturan tertulis yang memiliki kekuatan
mengikat dan berlaku umum karena berlaku dalam bentuk undang-undang.
E.
Politi Hukum Islam dan pengaruh terhadap berlakunya
UU Perkawinan
1.
Pengaruh Ajaran Islam Kultural Terhadap Politik
Hukum Islam di Indonesia.
2.
Arah Kebijakan Politik Hukum Islam Indonesia Dalam
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Politik
sebagaimana yang dimaksud oleh Van Der Tas yaitu beleid (kebijakan). Apabila dikaitkan dengan politik hukum, penulis
cenderung memahaminya sebagai sebuah bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah
atau lembaga negara yang mempunyai kewenangan dalam membuat peraturan tersebut
sebagai sebuah kebijakan yang menentukan arah berkehidupan suatu bangsa. Bentuk
nyata yang paling kental dengan hal tersebut adalah diundangkannya sebuah
undang-undang.
Sebagaimana
disinggung di awal, bahwa undang-undang perkawinan merupakan salah satu produk
perundang-undangan yang disinyalir sangat kuat dipenagruhi oleh aspirasi umat
Islam di Indonesia, bahkan perjalanan sejarah telah merekam begitu panjang
proses awal sampai lahirnya undang-undang perkawinan pada tahun 1974.
Ketika
politik hukum diartikan sebagai arah kebijakan negara, dalam hal ini berkaitan
dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penulis melihat
bahwa arah kebijakan yang dimaksud adalah mengakomodir aspirasi umat Islam yang
kebetulan mayoritas memilih faham madzhab syafi’i dan diwujudkan dalam satu
bentuk perundang-undangan. Harapannya tentu saja agar nilai-nilai Islam yang
sudah sejak lama mewarnai cara berhukumnya orang Indonesia, kemudian dapat
memiliki ketegasan dan pengakuan dari negara. Dengan begitu perjuangan umat
Islam, yang dalam porsi tertentu mengharuskan diberlakukannya hukum islam,
paling tidak satu demi satu dapat terwujud walaupun dengan tetap memperhatikan
konteks keIndonsiaan yang dikenal multi agama, etnik dan budaya..
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ajaran Islam kulutral mempunyai pengaruh
yang sangat besar dan dianggap cukup
tepat dalam memberi bentuk corak politik hukum Islam di Indonesia yang bersifat
heterogen
2. Arah kebijakan politik hukum Islam di
Indonesia dihubungkan dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan sangat kental terlihat dengan dimasukannya materi fiqih islam
terutama fiqih madzhab Syafi’i hampir dalam seluruh pasal undang-undang tersebut.
B.
Saran
Demikianlah makalah ini disusun berdasarkan temayang
sudah menjadi topic dalam pembelajaran politik hukum, dengan demikian kirnya
setelah membaca dan memehami isi dari makalah ini barang tentu jika ada
kesalahan dan kekeliruan maka kami mengarapkan kemaklumanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ridha, Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?, Syamil Cipta Media,
Bandung, 2004.
Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, Ciputat Press, Tangerang, 2005.
Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum
Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia,
Rajawali, Bandung, 1983.
Hamka, Sejarah
Umat Islam Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Rafika Aditama, Bandung,
2006.
Idris
Ramulyo. Asas-asas Hukum Islam. Sinar
Grafika. Jakarta. 1997.
Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No: 1
tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif
Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan,
Jakarta, 2000.
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta,
1999
Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid III, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan,
Jakarta, 1984.
Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai
Undang-Undang Perkawinan, Yayasan Idayu, Jakarta, 1981.
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam
Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1992.
Misanam,
Munrokhim, , et.all, Ekonomi Islam,
Rajawali Perss, Jakarta, 2007.
Moch. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2010.
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Indonesia, Majalah Pembangunan No 2 Tahun ke XII, Maret 1982.
M. Khoirul Anam, Islam, Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial,
Inisiasi Press, 2004
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh;
Problem, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe
Aceh Darussalam, Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2003.
R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam
Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Universitas Airlangga Press,
Surabaya, 1988.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke 6, Alumni, Bandung, 2006.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, PT. Pustaka
Rizki Putra, Semarang, 2002.
[1] Dalam tema hukum Islam
yang diidentikan dengan dua istilah, yakni syariah;
konsep yang sudah baku dan tidak menerima tafsir, di dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits sendiri jumlahnya sedikit dan fiqh; konsep yang fleksibel dan menerima
interpretasi bahkan reinterpretasi disesuaikan dengan zaman
tanpa meninggalkan esensinya, jumlahnya dominan. Bandingkan dengan Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,
Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 11
[2] Bandingkan dengan
Munrokhim Misanam, et.all, Ekonomi Islam,
Rajawali Perss, Jakarta, 2007, hlm. 13
[3] Konsep HAM lahir setelah
adanya sekularisasi atau pemisahan yurisdikasi greja dan raja pada abad ke 13
dan 14. Sehingga muncullah teori kontrak sosial yang memberikan formulasi bahwa
raja atau pemerintah merupakan perwakilan rakyat yang ditunjuk berdasarkan
kesepakatan untuk mengatur dan memenuhi kepentingan masyarakat, termasuk di
dalamnya masalah HAM. Lihat Moch. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2010, hlm. 268
[4] Bandingkan dengan Huala
Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak
Internasional, Rafika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 31.
[5] Teungku Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy, Islam dan Politik
Bernegara, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 5-6
[6] Sebagai contoh konkrit
adalah proses pemilihan Abu Bakar r.a. sebagai khalifah selepas wafatnya
Rasulullah saw. Ketika itu diadakan pertemuan penting yang dihadiri oleh para
tokoh dari berbagai klan atau kabilah untuk membahas mengenai keadaan umat dan
negara serta menentukan aturan pemilihan pemimpin yang akan meneruskan
kepemimpinan Rasulullah saw. Bandingkan dengan Idem, hlm. 7
[7] Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh;
Problem, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe
Aceh Darussalam, Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2003, hlm. 15
[8] Abu Ridha, Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?, Syamil
Cipta Media, Bandung, 2004, hlm. 53-58
[10] Idris Ramulyo. Asas-asas Hukum Islam. Sinar Grafika. Jakarta.
1997. hlm 54
[11] Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 70
[12] Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid III, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan,
Jakarta, 1984, hlm. 197.
[13] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum
Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 11
[14] Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Indonesia, Majalah Pembangunan No 2 Tahun ke XII, Maret 1982,
hlm. 101.
[15] Maria Ulfah
Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Yayasan
Idayu, Jakarta, 1981, hlm. 9-10
[16] Nani
Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1992, hlm 77
[17] R. Soetedjo
Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, Universitas Airlangga Press, Surabaya, 1988, hlm. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar