Minggu, 17 Januari 2016

HUKUM ISLAM DI INDONESIA KOMPILASI HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

MAKALAH
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
KOMPILASI HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA



logo iain mataram


OLEH
IJAN SURYADI                                                                                                         NIM: 152.121.020



JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016


KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Swt, yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga karya ini mampu jadi dan sempuena, seawat dan serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad Saw,berserta keluarga dan para sahabatnya dan pengikutnya hinggan hari kiamat.
Makalah yang berjudul kompilasi hukum islam ini meruakan salah satu makalah yang disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah hukum islam di Indonesia, makalah ini mencaoba untuk memaparkan terkait tentang prosedur dan sejarah kompilasi hukum islam menajadi hukum positif  indonesa semenatar itu juga penjalasan terkait materi ini yang akan dibahas pada bab berikutnya.
semenatar itu makalh ini juga di buat berdasarkan satuana cara perkuliahakan  yang reprensinya diambil dari berbagai sumber  terkait dengan tema tersebut,dengan demikian kiranya makalah ini mudah-mudahan bermamfaat dan menjadi salah satu media untuk meningkatkan pemahaman kita diduani keilmuan husunya ilmu yang berkaitan dengan ilmu syariah. amin
Mataram, 11 Januari 2015
penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR.........................................................................        i
DAFTAR ISI.........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................
B.     Rumusan Masalah.......................................................................
BAB II PEMBAHSAN
A.    Selayang Pandang Kompilasi Hukum Islam...............................
B.     Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam................
C.     Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam..............................
D.    Isi Kompilasi Hukum Islam.........................................................
E.     Kompilasi Hukum Islam Sebagai Konsesus Ulama Indonesia....
F.      Kompilasi Hukum Islam dalam Herarki   Perundang- undangan                         di Indonesia         
G.    Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia.....
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................
B.     Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Hukum  merupakan salah satu perasngkat yang memiliki peran yang sangat besar, guna menciptakan suatu Negara yang aman dan terkontrol, sebagainegara hukum Indonesia memiliki hukum yang berane karagam mualaidari hukum yang tertulis atau dikenal dengan hukum adat mupun hokum yang ditulis atau yang biasa disebut dengan UU.
Keberadaan hukum yang ada di Indonesia jika dilihat dari sejarah terbentuknya atau lahirnya undang-undang, maka hal yang paling utama kita perhatikan adalah sejarah beralakunya hukum, sebagi Negara yang termasuk kedalam Negara jajah maka hukum yang berkembang barang tentu hukum Negara jajahan yaitu belanda. namun jauh sebelum berlakunya hukum belanda yang ada di Indonesia maka masyarakat sudah mengenah hokum yaitu hukum adat dan hukum islam.
sejarah mencatat bahwa masuknya agama islam di Indonesia menimbulkan keberlakuan huokum bagi masyarakat islam pada masa itu, namun melihat perkembangan dan peluang akan berlakunya hukum islam di Indonesia menciptakan banyak langkah untu kmenerapkan  hukum islam menjadi salah satu hukum di Negara, salah satunya adalah dengan melakukan kompilasi hukum islamj menjadi hukum nasional Indonesia. dengan demikian melihat haltersebut maka makalah ini mencoba untuk mengkaji  kompilasi hukum islam menjadi hukum positif di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah yang menjadi titik pokus pada kajian dalam makalah ini adalah menyang kut tentang peruses dan langkah yang telah ditembuh  untuk melakukan kompilasi hukum islam menjadi hokum positif Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Selayang Pandang Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi  Hukum  Islam  atau  yang  lebih  familiar  dengan  sebutan KHImerupakan ekspetasi tertinggi yang mampu dicapai hukum Islam saat ini, khususnya di  Indonesia.  Meski  memberikan  dampak  positif  baik  dari  segi  institusi, masyarakat, maupun dinamika pemikiran hukum Islam, keberadaan  KHI  masih  membawa  polemik.  Tidak  hanya  proses  pemberlakuanya, penamaan  kompilasi  juga  memberikan  perdebatan  sendiri  di  kalangan  para  cendikiawan. Adanya  perdebatan  istilahkompilasi dalam  term  Kompilasi  Hukum  Islam disebabkan kurang populernya kata tersebut digunakan, baik digunakan dalam pergaulan sehari-hari, praktik, bahkan dalam kajian hukum sekalipun. Kompilasi  diambil  dari  bahasa  Inggris compilation dan Compilatie dalam  bahasa  Belanda  yang  diambil  dari  kata compilare yang  artinya  mengumpulkan  bersama-sama,  seperti  misalnya  mengumpulkan  peraturanperaturan  yang  tersebar  berserakan  dimana-mana. dalam  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia kompilasi adalah  kumpulan  yang  tersusun  secara  teratur  (tentang daftar informasi, karangan dsb). Sedangkan dalam Kamus Inggris -Indonesia  - Indonesia  – Inggris,  karangan  S.  Wojowasito  dan  WJS.[1]
Poerwadaminta, compilation diartikan  sebagai  karangan  yang  tersusun  dan  kutipan dari buku-buku lain. Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari  sudut bahasa kompilasi  dapat diartikan sebagai  usaha untuk mengumpulkan  sumber-sumber  (informasi,  karangan  dsb) dari  berbagai  literatur  dan dijadikan  satu  untuk  mempermudah  pencarian.  Hal  ini  dipertegas  oleh  Abdurrahman dalam bukunya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia:
Kompilasi  dari  persepektif  bahasa  adalah  kegiatan  pengumpulan  dari berbagai  bahan  tertulis  yang  diambil  dari  berbagai  buku/tulisan  mengenai sesuatu  persoalan  tertentu.  Pengumpulan  dari  berbagai  sumber  yang  dibuat  oleh  beberapa penulis  yang  berbeda  untuk  ditulis  dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan  yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.
Dalam  konteks  hukum  kita  jarang  mendengar  istilah  kompilasi, meskipun istilah kompilasi relatif mudah untuk dicari di kamus, eksklopedia, atau  buku  terkait  terminologi  hukum.  Namun  tidak  ada  penjelasan  yang  sepesifik  terkait  pengertian  kompilasi.  Ini  disebabkan  karena  minimnya  penggunaan istilah tersebut dalam penerapanya. Kita akan lebih familiar dan  lebih mengenal istilah kodifiikasi dari pada kompilasi.[2]
Dalam  istilah  hukum,  Kodifikasi  diartikan  sebagai  pembukuan  satu  jenis hukum tertentu secara lengkap dan sistematis dalam satu buku hukum. Dalam penerapanya kodifikasi diterjemahkan dengan istilah “Kitab Undangundang”(Wetboek) yang dibedakan dengan “Undang-undang”(Wet).
Perbedaan  antara  kodifkasi/Kitab  undang-undang  dan  undang-undang terletak pada materinya. Kodifkasi memliki materi yang luas tidak hanya satu sektor  peraturan  namun  bisa  mencakup  seluruh  bidang  hukum  dalam  satu  frame semisal  Kitab  Undang-undang  Hukum  Pidana  (KUHP)  atau  Kitab  Undang-undang  Hukum  Perdata  (KUHPdt).  Sedangkan  undang-undang hanya mencakup salah satu sektor dari hukum semisal UU No. 1 Tahun 1974  tentang perkawinan.
Didalam  Terminologi  Hukum  Inggris-Indonesia  karangan  I.P.M. Ranuhandoko  B.A. complation adalah  penyaringan  dan  di  bukukannya  Undang-undang  menjadi suatu  keutuhan.
Kalau  mengacu  dari  pengertian tersebut  kompilasi  jauh  dari apa yang  kita  pahami sekarang.  Selain  akan menimbulkan  kerancuan  makna  dengan  kodifikasi,  pengertian  kompilasi tersebut juga tidak menggambarkan Kompilasi Hukum Islam yang sudah ada saat  ini. Untuk  membedakan  kompilasi  dengan  kodifikasi, Abdurrahman mendefinisikan kompilasi sebagai berikut:
Dalam pengertian hukum, kompilasi adalah tidak lain dari sebuah buku hukum  atau  buku  kumpulan  yang  memuat  uraian  atau  bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum.

Pengertian  yang  diberikan  Abdurrahman  mengenai  kompilasi  tentu
berbeda  dengan  apa  yang  dimaksud  dengan  kodifikasi.  Kalau  kita  cermati perbedaan  tersebut  terletak  pada  materi  yang  dihimpun.  Kompilasi  tidak  harus  berupa  produk  hukum  atau  undang-undang  yakni  bisa  berupa  bahan,[3] aturan, atau bahkan sebuah pendapat hukum. Sedangkan kodifikasi lebih ke produk hukum yang sudah berbentuk undang-undang.
                        Lebih  jauh  lagi  Abdurrahman menjelaskan, dalam  konteks  KHI kompilasi  diartikan  sebagai  upaya  untuk  menghimpun  bahan-bahan  hukum  yang diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum materiil para hakim  di  lingkungan  Peradilan  Agama.  Bahan-bahan  yang  diangkat  dari  berbagai  kitab  yang  bisa  digunakan  sebagai  sumber  pengambilan  dalam  penetapan hukum  yang  dilakukan  oleh  para  hakim  dan  bahan-bahan  lainya  yang berhubungan dengan itu.
                        Oleh  karena  itu,  Kompilasi  Hukum  Islam  dapat  kita  artikan  sebagai  kumpulan  atau  ringkasan  berbagai  pendapat  hukum  islam  yang  dimbil  dari berbagai  sumber  kitab  hukum  (fiqh)  yang  mu’tabar  yang  dijadikan  sebagai sumber  rujukan  atau  untuk  dikembangkan  di  Peradilan  Agama yang  terdiri dari bab nikah, waris, dan wakaf.Ketidak tegasan penggunaan istilah ini memang seharusnya tidak boleh terjadi. Hal ini dikarenakan mulai dari perumusan hingga ditetapkanya pada tahun 1991 tidak secara tegas bagaimana pengertian kompilasi dan kompilasi hukum  Islam itu  sendiri.  Degan  demikian,  para  penyusun  kompilasi  tidak secara tegas menganut satu paham mengenai apa yang dibuatnya tersebut.[4]
                        Memang disayangkan, sebagai sebuah revolusioner dalam hukum Islam di Indonesia seharusnya ada penjelasan khusus penggunaan istilah kompilasi dalam  KHI.  Sehingga  kedepanya  akan  memberikan  pemahaman  yang tegasapa dan kenapa menggunakan istilah tersebut seperti ketegasan dari sifat  hukum itu sendiri.
                        Abdurrahman  dalam  bukunya  Kompilasi  Hukum  Islam  di  Indonesia menjelaskan  bahwa, tidak  adanya  penegasan  istilah kompilasi dalam  term Kompilasi Hukum Islam karena padawaktu proses penyusunan tidak nampak pemikiran  yang  kontroversial  dan  tidak  mengundang  reaksi  dari  pihak manapun mengenai apa yang dimaksud dengan kompilasi itu.

B.     Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam

                             Dengan dikeluarkanya UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok  Kekuasaan  Kehakiman  semakin  mempertegas  keberadaan  peradilan  agama.  Pasalnya  dalam  pasal  10  undang-undang  tersebut disebutkan;  ada  empat lingkungan  peradilan  di  Indonesia, yaitu  peradilan  umum,  perdilan  agama, peradialan militer, dan peradilan tata usaha negara. Klausula pada undangundang  tesebut  scara  tegas  memposisikan  peradilan  agama  sejajar  dengan peradilan  lain  yang  sebelumnya  hanya  dibawah  Kementrin  Agama. Oleh  karena  itu,  secara  tidak  langsung  kekuatan  peradilan  agama  sama  dengan  pengadilan-pengadilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia.[5]
                             Pada  tahun  1977  Mahkamah  Agung  mengeluarkan  peraturan  yang semakin  memperkuat  bagi  kedudukan  Pengadilan  Agama,  yaitu  denga diberikannya  hak  bagi  Pengadilan  Agama  untuk  mengajukan  kasasi  ke Mahkamah  Agung.
                             Peraturan  tersebut  semakin  memperkokoh  keberadaan  Peradilan Agama. Namun  pencapaian  yang  diperoleh  Peradilan  Agama  tidak  sejalan  dengan  sumber  rujukan  hukum  yang  digunakan.  Sebagai  sebuah  institusi  peradilan  agama  seharusnya  dalam  memutuskan  perkara  juga  mempunyai sumber  hukum  materiil  yang tentunya  juga  harus  bersumber  pada  hukum  Syara’.  Sebelum  adanya  Kompilasi  Hukum  Islam,  Pengadilan  Agama  disemua  tingkatan Peradilan menggunakan  UU  No.  1  tahun  1974  yang  cenderung  liberal  dan  sekuler untuk  dijadikan  sebagai  sumber  hukum materiil.  Selain  itu  dalam  memutuskan  perkara para  Hakim  dilingkungn  Peradilan Agama  juga disarankan  oleh  pemerintah  untuk mengggunakan  kitab-kitab mu’tabarsebagai pedoman rujukan hukum.
                   Sesuai dengan Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/1735 tanggal 18  Februari 1958  yang merupakan  tindak lanjut dari  peraturan Pemerintah  No.
45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah  diluar  Jawa  dan  Madura.  Dalam  huruf  B  Surat  Edaran  tersebut  dijelaskan  bahwa untuk  mendapatkan kesatuan hukum  yang memeriksa  dan  memutus  perkara  maka  para  Hakim  Pengadilan  Agama/Mahkamah  Syar’iyah  dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah ini:
1.      Al Bajuri
2.      Fathul Muin dengan Syarahnya
3.      Syarqawi alat Tahrir
4.      Qulyubi/Muhalli
5.      Fathul Wahab dengan Syarahnya
6.      Tuhfah
7.      Targhibul Musytaq
8.      Qawaninusy Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya
9.      Qawaninusy Syar’iyah Lissayyid Shodaqah Dahlan
10.  Syamsuri Lil Fara’idl
11.  Al Fiqh ‘alal Muadzahibil Arba’ah
12.  Mughnil Muhtaj

              Meskipun  secara  materi  kitab-kitab  tersebut  terkenal  keabsahannya, namun hal tersebut tidak memecahkan masalah  yang ada. Justru menambah kesemrawutan rujukan hukum bagi Peradilan Agama. Menurut  Bustanul  Arifin  yang  dikutib  Abdurrahman  dalam  bukunya  Kompilasi  Hukum  Islam  di  Indonesia  menjelaaskan  bahwa dasar  keputusan  Peradilan  Agama   adalah  kitab-kitab  fiqh. [6]
              Ini  membuka  peluang  bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara  mempertanyakan  pemakain  kitab/pendapat  yang  tidak menguntungkanya  itu, seraya menunjuk  kitab/pendapat  yang  menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahka diantara ke  13 kitab pegangan itu jarang digunakan sebagai rujukan dan sering pula terjadi perselisihan diantara para hakim perihal kitab mana yang menjadi rujukan. Peluang demikian tidak akan terjadi  di  Peradilan  Umum,  sebab  setiap  keputusan  pengadilan  selalu dinyatakan  sebagai  “pendapat  pengadilan”  meskipun  Hakim  tidak  menutup kemungkinan  setuju  dengan  pendapat  pengarang  sebuah  buku  (doktrin hukum) yang mempengaruhi putusannya.
              Di  samping  masih  adanya  tarik  ulur  dalam  memahami  kitab  fiqh. Kalau  kita  cermati  secara  seksama  dari  13  rujukan  kitab  yang  disarankan, kesemuannya lebih bersifat eksklusif. Ini dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan tersebut merupakan kitab-kitab yang bermazhab Syafi’i. Kecuali untuk kitab  nomor 12 yang termasuk kedalam kitab komparatif (perbandingan madzhab). Begitu  juga  hampir   semua  kitab  ditulis  dalam  bahasa  Arab  kecuali  kitab  Nomor 8 yang ditulis dalam bahasa Melayu Arab.
              Kondisi sosial semacam itu yang membuat para tim perumus Kompilasi  Hukum  Islam merasa  perlu  untuk  membuat  sebuah  aturan  baku untuk  memecah kebuntuan  kondisi  tersebut.  Selaian  alasan  itu,  pemerintah  juga memberikan  alasan tersendiri  mengapa  Kompilasi  Hukum  Islam penting untuk dirumuskan.
              Didalam Konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1989 dan No. 25 tahun 1985  tentang  Penunjukan  Pelaksana  Proyek  Pembangunan  Hukum  Islam melalaui  yurisprudensi  atau  yang  lebih  dikenal  sebagai  proyek  Kompilasi Hukum  Islam,  dikemukakan  ada  dua  pertimbangan  mengapa  proyek  ini diadakan oleh pemerintah, yaitu:
1.      Bahwa  sesuai  dengan  fungsi  pengaturan  Mahkamah  Agung  Republik Indonesia terhadap  jalannya peradilan  disemua  lingkungan  peradilan  di  Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi  Hukum  Islam  yang  selama  ini  menjadikan  hukum  positif  di Pengadilan Agama;
2.      Bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan  tugas,  sinkronisasi  dan  tartib  administrasi  dalam  proyek pembangunan  Hukum  Islam  melalui  yurisprudensi,  di  pandang  perlu membentuk suatu tim  proyek  yang susunannya terdiri  dari para Pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia;
            Di  dalam  Penjelasan  Umum  Kompilasi  Hukum  Islam di  Indonesia dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 juga menyebutkan latar belakang
disusunnya KHI, yakni:
1.      Bagi  bangsa  dan  negara  Indonesia  yang  berdasarkan  Pancasila  dan Undang Undang Dasar 1945,adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang  menjamin  kelangsungan  hidup  beragamaberdasarkan  Ketuhanan  Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
2.      Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan  PokokKekuasaan  Kehakiman,  jo  Undang-undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung, Peradilan  Agama  mempunyai

C.    Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam

                    Terbentuknya hukum Islam (hukum keluarga) yang tertulis, sebenarnya sudah  lama  menjadi  kebutuhan  dan  keinginan  masyarakat  muslim.  Sejak terbentuknya  Peradilan  Agama  yang  mempunyai  kewenangan  untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum keluarga, rasanya sangat diperlukan adanya  hukum  kekeluargaan  Islam  tertulis.  Maka  munculah  gagasan penyusunan  Kompilasi Hukum  Islam  sebagai  upaya  dalam  rangka  mencari pola fiqh yang bersifat khas Indonesia atau fiqh yang bersifat kontekstual.
                    Sejatinyaproses  ini  telah  berlangsung  lama sejalan  dengan perkembangan  hukum  Islam  di  Indonesia  atau  paling  tidak  sejalan  dengan kemunculan ide-ide pembaharuan dalam pemikiran hukum Islam Indonesia. Namun  apabila  kita lihat  secara  lebih  sempit  lagi,  ia  merupakan  rangkaian  proses yang berlangsung mulai sejak tahun1985.
                    Gagasan  untuk  mengadakan  Kompilasi  Hukum  Islam  pertama  kali digulirkan  oleh  Menteri  Agama  R.I.  Munawir  Sadzali,  M.  A.  pada  bulan  Februari  1985  dalam  ceramahnya  di  depan  para  mahasiswa  IAIN  Sunan  Ampel Surabaya.
                    Namun  menurut  Abdul  Chalim  Mohammad dalam  bukunya  Abdurrahman Kompilasi  Hukum  Islam  di  Indonesia   mengemukakan   bahwa,gagasan  untuk  menyusun Kompilasi  Hukum  Islam  ini  pada  awal  mulanya  setelah  2,5 tahun  lebih  Mahkamah  Agung  terlibat  dalam  kegiatan  pembinaan  Badan-badan  Peradilan  Agama  dan  dalam  penataran-penataran  keterampilan  teknis  justisial  para  hakim  agama  baik  ditingkat  nasional  maupun regional.
                   Langkah  gagasan ini  mendapat  dukungan  banyak pihak  tak  terkecuali  bapak  Presiden  Soeharto. Pada  bulan  Maret  1985  Presiden  Soeharto  mengambil  prakarsa  sehingga  terbitlah  SKB  (Surat  Keputusan  Bersama) Ketua  Mahkamah  Agung  dan  Menteri  Agama  yang  membentuk  proyek  Kompilasi Hukum Islam. Tidak  hanya  sampai  itu  dukungan  dari  Presiden  Soeharto.  Melalui  Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21  Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang Penunjukan  Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jangka  waktu proyek  selama 2  tahun.  Pelaksanaan  proyek  ini  kemudian  didukung oleh Keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember 1985  dengan  biaya  sebesar  Rp  230.000.000,00  yang  biaya  tersebut  tidak  berasal  dari APBN melainkan dari Presiden Soeharto sendiri.

D.    Isi Kompilasi Hukum Islam

             Seperti  apa  yang  sudah  kita  ketahui,  Kompilasi  Hukum  Islam  terdiri
dari 3 buku, yakni Buku I Tentang Perkawinan, Buku II Tentang Kewarisan,  dan  Buku  III  Tentang  Perwakafan.  Pembagian  dalam  tiga  buku  ini  sekedar  pengelompokan  bidang  pembahasan  hukum  yang  dibahas.  Namun  dalam  kerangka sistematisnya masing-masing buku terbagi dalam beberapa bab, dan dari  bab-bab  tersebut  tersusun  atas  pasal-pasal  yang  masih  ada  relevansi  dengan nomor pasal pada Buku I.
                    Secara  keseluruhan  Kompilasi  Hukum  Islam  terdiri  dari  229  pasal dengan jumlah pasal yang berbeda untuk masing-masing buku. Jumlah pasal yang  paling  banyak  adalah  Buku  I  (Perkawinan),  selanjutnya  Buku  II
(Kewarisan), dan yang paling sedikit adalah buku III (Perwakafan). Perbedaan  jumlah  ini  dikarenakan  tingkat  intensif  dan  terurai  atau  tidaknya  pengaturan  masing-masing  yang  tergantung  pada  tingkat  penggarapannya.
             Dalam  hal  perkawinan  karena  sudah  dikerjakan  sampai  pada  hal-hal  yang  detail  atau  mencontoh  pengaturan  yang  ada  dalam  perundang-undangan  tentang  perkawinan. Ini  dibuktikan  dengan  banyaknya  UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijadikan  sebagai rujukan pada  KHI Buku I (Perkawinan). Sebaliknya dengan Buku II dan Buku III, karena  jarang  digarap  maka  dalam  KHI  hannya  muncul  secara  garis  besarnya  saja dengan jumlah yang cukup terbatas Untuk  bidang  hukum  perkawinan,  KHI  tidak  hanya  terbatas  pada  hukum  subtantif  saja. 
             Kompilasi  juga  memberikaan  pengaturan  tentang  masalah  prosedural  atau  tatacara  pelaksanaan  yang  seharusnya  menjadi cakupan  perundang-undangan  perkawinan.  Kita  ambil  contoh  Undangundang  Nomor  1  Tahun  1974  Tentang  Perkawinan  yang  peraturan pelaksanaanya  dilengkapi  dengan  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  Tentang  Peradilan  Agama  yang  juga  memuat  beberapa  ketentuan  Hukum  Acara  mengenaia  perceraian.  Dan  Kompilasi  Hukum  Islam  memasukkan semua aspek tersebut. Oleh karena itu mengapa dalam Buku I (Perkawinan) terlihat tebal dan detail dibandingkan dengan Buku I dan III.
             Ditinjau dari segi sistematisnya sebuah peraturan perundang-undangan Kompilasi Hukum Islam tidak menggambarkan sebuah sistematika yang baik. Semisal  didalam  Kompilasi  Hukum  Islam  tidak  mencantumkan  adanya ketentuan  umum  yang  berlaku  untuk  semua  bidang  hukum  yang  diaturnya. Selain  itu,  kalau  kita  cermati  sistematika  Kompilasi  Hukum  Islam  ada beberapa  bab  yang  seharusnya  dapat  dilebur  menjadi  satu.  Untuk  lebih jelasnya berikut tabel sistematika isi dari Kompilasi Hukum Islam.

E.     Kompilasi Hukum Islam Sebagai Konsesus Ulama Indonesia

             Memang  agak  berlebihan  ketika  Kompilasi  Hukum  Islam  disebut  sebagai konsensus ulama  Indonesia.  Pernyatan  ini  sama  halnya  dengan menyebut  Kompilasi  Hukum  Islam  sebagai  produk  ijma’.  Kesimpulan  ini diambil atas dasar diadakanya Loka Karya Kompilasi Hukum Islam sebelum disahkan melalaui Instruksi Presiden. Dalam  Loka  Karya  Kompilasi  Hukum  Islam  kita  tahu  bahwa  para tokoh, ulama fiqh, organisasi-organisasi Islam, dan para cendikiawan muslim  dari  seluruh  Indonesai  hadir  dan  diperkirakan  semua  ikut  andil  dalam pembahasan Loka Karya Tersebut. Inilah yang menjadi alasan kenapa Amir  Syarifudin  menganggap  Loka  Karya  ini  sebagai  puncak  perkembangan pemikiran  fiqh  Indonesia dan  patut  dinilai  sebagai konsensus  (ijma’) ulama Indonesia.[7]
             Secara implisit, dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebaran  Kompilasi  Hukum  Islam  juga  mengindikasikan  KHI  sebagai ijma’  ulama  Indonesia.  Ini  bisa  dilihat  dari  pertimbangan  poin  a  yang berbunyi:

Bahwa para Alim Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1989 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukm Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.

             Dalam  pertimbangan  tersebut  yang  perlu  digarisbawahi  adalah  “Alim  Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai  5  Februari  1989  telah  menerima  baik”.  kata  telah  menerima  ini merupakan  kata  kunci  dan  sekaligus  merefleksikan kedudukan  kompilasi sebagai  salah  satu  hasil  kesepakatan  para  Alim  Ulama  Indonsia,  atau  bisa  disebut sebagai konsensus (ijma’) ulama Indonesia. Sebagai  sebuah  ijma’,  diharapkan  adanya  Kompilasi  ini  bisa  menjadi  pedoman  bagi  setiap  muslim  terutama  Pengadilan  Agama  untuk  mengisi  kekosongan  hukum  yang  ada.  Bahkan  kalau  mengacu  dari  arti  ijma’  itu  sendiri, meski tanpa payung kekuasan atau legimitasi dari pemerintah, ijma’  dengan  sendirinya  dapat  dijadikan  sumber  hukum.  Karena  pada  dasarnya ijma’  merupakan  sumber  hukum  Islam  setelah  Al  Qura’an  dan  Sunnah, meskipun  masih  ada  khilafiah  apakah  kesepakatan  tersebut  harus  disetujui ulama seluruh dunia atau cukup dalam satu cakupan wilayah (negara).
             Di  sisi  lain  Al  Qur’an  menjeaskan  dalam  Surat  Al  Nisa’  ayat  59: “Wahai  orang-orang  yang  beriman,  taatilah  Allah  dan  taatilah  Rasul(Nya), dan  ulil  amri  di  antaramu”.  Secara  moral  memang  ada  kewajiban  untuk menaati apa yang menjadi keputusan pemimpin (pemerintah) yang membawa kebaikan, tentu dalam hal ini yang dimaksud adalah Kompilasi Hukum Islam. Konsekuensi  logisnya,  kalau  memang  Kompilasi  Hukum  Islam  dapat  dikatakan sebagai konsensus (ijma’) ulama Indonesia. Maka tanpa Instrumen  pengesahan,  KHI  dapat  dijadikan  sebagai  landasan  sumber  hukum  Islam.
             Namun sebagai negara hukum, tentu diperlukan sebuah legitimasi agar dapat  digunakan  sebagai  landasan  yang  sah  secara  hukum  positif.  Di  sinilah
sebenarnya letak suksesi KHI, selain secara legal negara mengakui walupun hanya  sebatas  Inpres.  Namun  Secara  hukum  Islam  Kompilsi  Hukum  Islam bisa menjelma menjadi sebuh ijma’ kolektif melalui proses pembentukanya. Meskipun  keterlibatan  Pemerintah  sangat  dominan  untuk  mencapai  kata sepakat dari para Alim Ulama.


F.     Kompilasi Hukum Islam dalam Herarki Perundang-undangan di Indonesia

             Produk  hukum  Kompilasi  Hukum  Islam  dituangkan  dalam  Inpres  Nomor 1 Tahun 1991 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama  Nomor  154  Tahun  1991  menimbulkan  keraguan  bagi  sebagian  ahli  hukum  dan  masyarakat.  Pasalnya  sebagai  suatu  instrumen  hukum,  Inpres  tidak  termasuk  ke  dalam  salah  satu  tata  aturan  perundang-undangan  yang  ditetapkan  MPRS  No.  XX/MPRS/1996.  Memang  didalamnya  tidak  disebutkan  Instruksi  Presiden  sehingga  terkesan  seolah-olah  Inpres  tidak  termasuk dalam bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia Menurut Ismail Sunny, ahli hukum tata negara, meskipun Inpres tidak  disebutkan  dalam  Tap  No.  XX/MPRS/1996,  namun  berdasarkan  kenyataan bahwa  dalam  praktek  penyelenggaraan  pemerintahan  presiden  sering  mengeluarkan  Inpres  yang  dianggapnya  lebih  efektif,  maka  Inpres  memliki kedudukan  hukum  yang  sama  dengan  keppres  sehingga  daya  mingikatnya pun sama.
             TAP  MPRS  No.  XX/MPRS/1996 jo TAP  MPRS  No.  V/MPR/1973 merupakan  dasar  hukum  atas  tata  aturan  perundang-undangan  yang mempunyai  kekuatan  hukum  positif  secara  tertulis.  Keberadaanya  dapat memaksa dan mengikat pada setiap warga negara.  Sedangkan Inpres adalah Instrumen  hukum  yang  absah  dilakukan  presiden  dan  mempunyai  kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa pada pihak yag diperintah.
             Oleh  karena  itu,  para  ahli  hukum  berbeda  pendapat  mengenai  posisi Inpres  dalam  tata  hukum  Indonesia.  Pendapat  ekstrim  menyatakan  bahwa Inpres  tidak  termasuk  bagian  hukum  tertulis.  Sebaliknya  ada  yang berpendapat tergolong  hukum  tertulis. Pendapat lain menempatkan dibawah keppres  di  atas Keputusan  Menteri,  bahkan  ada  yang  menyamakan  dengan kekuatan undang-undang atau keppres.[8]
             Menurut A. Hamid S. Attamimi, dilihat dari materi muatannya, keppres ada yang berfungsi mengatur pendelegasin peraturan pemerintah dan kepres yang  berfungsi  sebagai  pengatur  yang  mandiri.  Mengenai  azas-aza  dalam pembentukan  keppres  yang  mandiri  menurut  beliau  sebagai  peraturan  yang memperoleh  kewenangan  atribut  langsung  dari  Pasal  4  ayat  1  UUD  1945  maka selain materi muatan dan kedudukan herarki yang tidak sama terhadap  asas  hukum  umum  dan  asas  pembentkan  peraturan  perundang-undangan, posisi keppres berfungsi sebagai peraturan yang mandiri sama dengan posisi undang-undang. Karena itu, semua asas hukum dan asas pembentukan yang berlaku  bagi  undang-undang  belaku  juga  bagi  keppres. 
             Perbedaan  yang mendasar  adalah  kalau  undang-undang  dibentuk  oleh  presiden  dengan persetujuan  DPR,  keppres  berfungsi  sebagai  pengaturan  yang  mandiri  tidak memerlukan persetujuan DPR. Oleh karena itu, bahwa instrumen Kompilasi Hukum Islam yang berupa Inpres Nomor  1  Tahun  1991  sebenarnya mempunyai  kedudukan  dalam  tata hukum Indonesia, oleh karena itu bersifat mengikat, tapi sebatas pada dictum instruksinya.
             Dictum  tersebut  ditujukan  kepada  Menteri  Agama  dan dikukuhkan  dalam  bentuk  Keputusan  Menteri  Agama  No.  154  Tahun  1991 tanggal 22 Juni 1991 resmi berlaku sebagai hukum untuk dipergunakan dan diterapkan  oleh  Peradilan  Agama  dan  masyarakat  yang  memerlukannya. Akan  tetapi  sifat  mengikatnya  berbeda  antara  jajaran  Peradilan  Agama dengan masyarakat muslim pada umumnya. Bagi para hakim peradilan agama dan  masyarakat  muslim  yang  berperkara  ke  Pengadilan  Agama  di  bidang  perkawinan, perwakafan sifat mengikatnya tetap yakni bersifat formal yuridis  dengan  tidak  menutup  kemungkinan  bagi  hakim  untuk  melakukan  ijtihad  dalam upaya penemuan  hukum. Sedangkan bagi  masyarakat muslim  di luar Peradilan Agama sifat mengikatnya tidak tetap yakni bersifat normatif.
             Sehingga  dapat  disimpulkan  bahwa  kekuatan  hukum  Inpres  pada  Kompilasi Hukum Islam bersifat fakultatif. Artinya, Kompilasi Hukum Islam hanya  bersifat  anjuran  dan  alternatif  hukum.  Beda  dengan  hukum  yang bersifata prioriyang mengikat dan memaksa bagi warga negara Indonesia. Disisi  lain,  adanya  Instruksi  Presiden  untuk  menyebarluaskan Kompilasi  Hukum  Islam  tersebut  merupakan  nilai  tersendiri  bagi perkembangan  politik  hukum  Islam  di  Indonesia.  Bagaimana  tidak,  dengan adanya Inpres ini ada sebuah positifisasi hukum Islam di dalam tata hukum Indonesi dengan tetap mempertimbangkan segi-segi toleransi antar madzhab yang  berkembang.  Oleh  karena  itu,  sebagai  peluang  maka  keberadaanya sangat tergantung kepada sikap umat Islam itu sendiri.
             Ekspetasi dari Kompilasi Hukum Islam kedepannya adalah bagaimana kompilasi  yang  sekarang  ini  didasari  oleh  Inpres  bisa diusulkan/ dipertimbangkan  untuk  diangkat  menjadi  Keputusan  Presiden. Keputusan  Presiden  lebih  memungkinkan  dari  pada  undang-undang  yang harus  diperlukan  persetujuan  DPR.  Selain  itu,  dengan  keputusan  Presiden akan  lebih  jelas  kedudukan  hukumnya  shingga  tidak  menjadi  perdebatan seperti sekarang. Namun hal tersebut juga tidak bisa lepas dari peran aktif kita semua  untuk  mempopulerkan  dan  menggunakan  secara  penuh  Kompilasi Hukum Islam secara masif.

G.    Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia

             Peradilan Agama di Indonesia tanpa kita sadari sudah ada sejak zaman kesultanan  Islam.  Peradilan  tersebut  jauh  ada  sebelum  penjajah  datang  di negeri  ini  dan  tentunya  masih  menggunaka  sistem  peradilan  yang  sangat sederhana.  Dengan  adanya  fakta  itu  menunjukan  bahwa  upaya  untuk menerapkan hukum Islam baik secara positifis maupun kultural di Indonesia sudah  dirintis  sejak  awal.  Namun  upaya  yang  dirintis  sejak  awal  itu  harus kandas ketika Belanda datang menjajah.
             Secara  sepintas  penjajahan  Belanda  melalui  VOC  di  negeri  ini  hanya bermotif  ekonomi.  Namun  pada  dasarnya  secara  sosiologis  Belanda  juga mengemban  misi  kristenisasi  kepada  negeri  jajahanya.  Kenyataan  ini  dapat dilihat  pada  setiap  misi  dagang  dan  pemerintahan  mereka  yang  selalu melibatkan  para  pastor-pastor  agama  Kristen.
             Nampaknya  antara  misi perdagangan dan misi kristenisai sudah merupakan tipologi kolonial Belanda dalam menjajah Indonesia.Oleh  karena  itu  pada  awal  penjajahan,  Belanda  berusaha  untuk mengidentifikasi  bagaimana  kultur  sosial  keagamaan  masyarakat  Indonesia, terutama  agama  Islam.  Upaya  tesebut  tidak  lain  untuk  menyukseskan  misi kristenisasinya.  Diawali  oleh  Mr.  Lodewijk  Willem  Christian  van  de  Berg (1845-1927) tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia, dia mengenalkan teoi  receptio  in  complexu,teori  ini  menyatakan  bagi  orang  Islam  berlaku penuh  hukum  Islam  walaupun  dalam  pelaksanaanya  ada  penyimpangan-penyimpangan.
             Ia  juga  beranggapan  bahwa  yang  diterima  orang-orang Islam  bukan  saja  bagian-bagian  hukum  Islam,  tetapi  keseluruhanya  sebagai satu kesatuan. Van Den Berg sendiri merupakan ahli di bidang hukum Islam dan  disebut  sebagai  orang  yang  menemukan  dan  menunjukan  berlakunya hukum  Islam  di  Indonesia,  meskipun  sudah  banyak  penulis  yang membahasnya.
             Sedangkan  pada  tahun  1889  datanglah  Christia  Snouck  Hurgronje seorang  yang  ditugasi  untuk  mempelajari  intrik-intrik  menghadapi  Islam dengan  cara  belajar  tentang  Islam  dan  dia  pernah  tinggal  di  Makkah  yang kemudian  mengganti  namanya  menjadi  Addul  Gaffar.  Sebagai  upayanya untuk menghintikan berlakunya hukum Islam di Indonesia, ia membuat teori Receptieyang  kemudian  di  kembangkan oleh  C.  Van Vollenhoven dan  Ter Haar  Bzn.  Teori  ini  menyatakan  bahwa  bagi  rakyat  pribumi  pada  dasarnya berlaku  hukum  adat,  hukum  Islam  berlaku  apabila  norma  hukum  Islam tersebut  telah  diterima  oleh  masyarakat  sebagai  hukum  adat.[9]
             Tujuan diciptakan teori ini adalah berangkat dari keinginan Snouck agar orang-orang pribumi  rakyat  jajahan  jangan  sampai  kuat  memegang  Islam,  sebab  ketika orang-orang  ini  sudah  kuat  dalam  memegang  Islam  akan  sulit  untuk dipengaruhi budaya barat.Pada perkembangan selanjutnya, Teori Receptieini oleh bebarapa pakar hukum  Islam  dianggap  sebagai  teori  Iblis.  Karena  hukum  Islam  berusaha untuk  dihilangkan  dari  kehidupan  masyarkat  Indonesia  dengan  mengkonfrontirnya  melaui  hukum  adat.  Untuk  menentang  teori  iblis  ini, Hazairin membuat antitesa atas teori tersebut dengan teori Receptie Exit,yang artinya teori iblis yang dibawa Snouck harus exit/keluardari sistem hukum di Indonesi karena telah merusak iman orang masyarakat Islam.
             Hazairin juga menegaskan  bahwa  teori receptie sebenarnya  dengan  sendirinya  dimatikan oleh   UUD  1945,  dan  diperkuat  lagi dengan  keluarnya  Dekrit  Presiden  RI tanggal 5 Juli 1959 yang menggambarkan keyakinan Presiden Bahwa Piagam Jakarta  itu  menjiwai  UUD  1945  dan  merupakan  suatu  rangkaian  kesatuan dengan konstitusi tersebut. Penghapusan teori tesebut juga dipertegas dengan Tap  MPRS  No.  II  Tahun  1960,  tanggal  3  Desember  1960,  yang  menyuruh  mengatur  Syariat  Islam  dengan  undang-undang,  dengan  syarat  hidup kekeluargaan  menurut  sistem  parental.  Selain  Hazairi,  Sayuti  Thalib  juga membuat  teorireceptio  a  contrario yang  merupakan  kebalikan  dari  teori receptie, hal tersebut sebagai upaya bentuk penolakan dari teori iblis itu.[10]


















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
              Dari  pembahasan  penelitian  Kompilasi  Hukum  Islam  yang  sudah peneliti lakukan. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
1.      Kompilasi  Hukum  Islam  lahir  karena  adanya tuntutan  hukum  materiil dari  Peradilan  Agama  yang  sesuai  dengan  syari’at  Islam.  Sedangkan dalam  proses  penyusunannya  Kompilsi  Hukum  Islam  melalui  4  tahap yakni:  pengumpulan  data,  wawancara,  studi  banding  ke  negara-negara Islam, seminar dan lokakarya.
2.      Dalam  sudut  pandang normatif,Kompilsi  Hukum  Islam  dapat  disebut sebagai  konsenssus (ijma’)  ulama  Indonesia.  Hal  ini  didasari  pada lokakarya  yang  dihadiri  oleh  para  alim/ulama  dan  cendikiawan  muslim dari  perwakilan  daerah  diseluruh  Indonesia. Dan  dalam  perkembangan pemikiran  hukum  Islam  di  Indonesia  Kompilasi  Hukum  Islam  dapat  di katakan sebagai ”puncak pemikiran fiqh di Indonesia”. Akan tetapidalam hal  legitimasi,  kekuatan  hukum  Inpres  Kompilasi  Hukum  Islam  hanya bersifat fakultatif. Artinnya Kompilasi Hukum Islam hanya sebuah saran dan  himbaun  yang  bersifat  tidak  mengikat  seperti  halnya  hukum  yang bersifat a priori.
B.Saran.








DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi  Hukum  Islam  di  Indonesia.(Jakarta: Akademika Presindo, 1992.)
Abdullah,  Abdul  Gani, Pengantar  Kompilasi  Hukum  Islam  dalam  Tata Hukum Indonesia (.Jakarta: Gema Insani Pers, 2002.)
Ali, Muhammad  Daud, Hukum  Islam  dan  Peradilan  Agama, (Jakarta: Rajawali Pers,1997).
Bisri, Cik  Hasan, Peradilan  Islam  Dalam  Tatanan  Masyarakat  Indonesia. (Bandung: Rosdakarya, 2000)
Otoriter  Konservatif  Menuju  Konfiguarasi  Demokratis  Responsif. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
Harahap,  M.  Yahya, Tujuan  Kompilasi  Hukum  Islam, dalam  IAIN  Syarif Hidayatullah, Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer. (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988.)
Hasan,  Sofyan, Hukum  Islam  Bekal  Pengantar  Ilmu  Hukum  dan  Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Literata Lintas Media, 2003.)
Mahfud  MD,  Moh., Politik  Hukum  di  Indonesia.Jakarta: ( Pustaka  LP3ES Indonesia, 2006.)
Rofiq,  Ahmad, Pembaharuan  Hukum  Islam  di  Indonesia.(Yogyakarta: Gema Media, 2001)



[1] Abdurrahman, Kompilasi  Hukum  Islam  di  Indonesia.(Jakarta: Akademika Presindo, 1992.) hlm.9

[2] S. Wojowasito dan WJS. Poerwadaminta, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia – Idonesia  – Inggris, (Jakarta: Hasta, 1982), hal. 88
[3] I.P.M. Ranuhandoko B.A., Terminologi Hukum Inggris-Indonesia.(Jakrta: Sinar Grafika,
2003), hal. 149
[4] Mahfud  MD,  Moh., Politik  Hukum  di  Indonesia.Jakarta: ( Pustaka  LP3ES Indonesia, 2006.) hlm.25

[5] M.  Yahya  Harahap, Tujuan  Kompilasi  Hukum  Islam, dalam  IAIN  Syarif  Hidayatullah, Kajian  Islam  Tentang  Berbagai  Masalah  Kontemporer.(Jakarta:  Hikmah  Syahid  Indah,  1988), hal. 93.
[6] Rofiq,  Ahmad, Pembaharuan  Hukum  Islam  di  Indonesia.(Yogyakarta: Gema Media, 2001) hlm.120

[7] Amir  Syarifuddin, Pembaharuan  Pemikiran  dalam  Hukum  Islam.(Padang:  Angkasa Raya, 1990), hal. 138-139.

[8] Warkum  Sumitro, Perkembanga  Hukum  Islam  di  Tengah  Kehidupan  Sosial  Politik  di
Indonesia,(Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 190
[9] Kamsi, Politik Hukum Islam Pada Masa Orde Baru. (Jurnal Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[10] Hasan,  Sofyan, Hukum  Islam  Bekal  Pengantar  Ilmu  Hukum  dan  Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Literata Lintas Media, 2003.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar