MAKALAH
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
KOMPILASI HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
OLEH
IJAN SURYADI
NIM: 152.121.020
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN
EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Allah Swt, yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan
sehingga karya ini mampu jadi dan sempuena, seawat dan serta salam kita
haturkan kepada Nabi Muhammad Saw,berserta keluarga dan para sahabatnya dan
pengikutnya hinggan hari kiamat.
Makalah
yang berjudul kompilasi hukum islam ini meruakan salah satu makalah yang
disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah hukum islam di Indonesia, makalah
ini mencaoba untuk memaparkan terkait tentang prosedur dan sejarah kompilasi
hukum islam menajadi hukum positif
indonesa semenatar itu juga penjalasan terkait materi ini yang akan dibahas
pada bab berikutnya.
semenatar
itu makalh ini juga di buat berdasarkan satuana cara perkuliahakan yang reprensinya diambil dari berbagai
sumber terkait dengan tema
tersebut,dengan demikian kiranya makalah ini mudah-mudahan bermamfaat dan
menjadi salah satu media untuk meningkatkan pemahaman kita diduani keilmuan
husunya ilmu yang berkaitan dengan ilmu syariah. amin
Mataram, 11 Januari 2015
penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR......................................................................... i
DAFTAR ISI.........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................
B.
Rumusan Masalah.......................................................................
BAB II PEMBAHSAN
A.
Selayang Pandang Kompilasi Hukum Islam...............................
B.
Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam................
C.
Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam..............................
D.
Isi Kompilasi Hukum Islam.........................................................
E.
Kompilasi Hukum Islam Sebagai Konsesus Ulama Indonesia....
F.
Kompilasi Hukum Islam dalam Herarki Perundang- undangan di Indonesia
G.
Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia.....
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan..................................................................................
B.
Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Hukum merupakan salah satu
perasngkat yang memiliki peran yang sangat besar, guna menciptakan suatu Negara
yang aman dan terkontrol, sebagainegara hukum Indonesia memiliki hukum yang
berane karagam mualaidari hukum yang tertulis atau dikenal dengan hukum adat mupun
hokum yang ditulis atau yang biasa disebut dengan UU.
Keberadaan hukum yang ada di Indonesia jika dilihat dari sejarah
terbentuknya atau lahirnya undang-undang, maka hal yang paling utama kita
perhatikan adalah sejarah beralakunya hukum, sebagi Negara yang termasuk
kedalam Negara jajah maka hukum yang berkembang barang tentu hukum Negara
jajahan yaitu belanda. namun jauh sebelum berlakunya hukum belanda yang ada di
Indonesia maka masyarakat sudah mengenah hokum yaitu hukum adat dan hukum
islam.
sejarah mencatat bahwa masuknya agama islam di Indonesia menimbulkan
keberlakuan huokum bagi masyarakat islam pada masa itu, namun melihat
perkembangan dan peluang akan berlakunya hukum islam di Indonesia menciptakan
banyak langkah untu kmenerapkan hukum
islam menjadi salah satu hukum di Negara, salah satunya adalah dengan melakukan
kompilasi hukum islamj menjadi hukum nasional Indonesia. dengan demikian
melihat haltersebut maka makalah ini mencoba untuk mengkaji kompilasi hukum islam menjadi hukum positif
di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah yang menjadi titik pokus pada kajian dalam makalah
ini adalah menyang kut tentang peruses dan langkah yang telah ditembuh untuk melakukan kompilasi hukum islam menjadi
hokum positif Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Selayang Pandang Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam
atau yang lebih
familiar dengan sebutan KHImerupakan ekspetasi tertinggi yang
mampu dicapai hukum Islam saat ini, khususnya di Indonesia.
Meski memberikan dampak
positif baik dari
segi institusi, masyarakat,
maupun dinamika pemikiran hukum Islam, keberadaan KHI
masih membawa polemik.
Tidak hanya proses
pemberlakuanya, penamaan
kompilasi juga memberikan
perdebatan sendiri di
kalangan para cendikiawan. Adanya perdebatan
istilahkompilasi dalam term Kompilasi
Hukum Islam disebabkan kurang
populernya kata tersebut digunakan, baik digunakan dalam pergaulan sehari-hari,
praktik, bahkan dalam kajian hukum sekalipun. Kompilasi diambil
dari bahasa Inggris compilation dan Compilatie dalam bahasa
Belanda yang diambil
dari kata compilare yang artinya
mengumpulkan bersama-sama, seperti
misalnya mengumpulkan peraturanperaturan yang
tersebar berserakan dimana-mana. dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kompilasi adalah kumpulan
yang tersusun secara
teratur (tentang daftar
informasi, karangan dsb). Sedangkan dalam Kamus Inggris -Indonesia - Indonesia
– Inggris, karangan S.
Wojowasito dan WJS.[1]
Poerwadaminta, compilation diartikan sebagai
karangan yang tersusun
dan kutipan dari buku-buku lain.
Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa kompilasi dapat diartikan sebagai usaha untuk mengumpulkan sumber-sumber
(informasi, karangan dsb) dari
berbagai literatur dan dijadikan
satu untuk mempermudah
pencarian. Hal ini
dipertegas oleh Abdurrahman dalam bukunya Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia:
Kompilasi dari persepektif
bahasa adalah kegiatan
pengumpulan dari berbagai bahan
tertulis yang diambil
dari berbagai buku/tulisan
mengenai sesuatu persoalan tertentu.
Pengumpulan dari berbagai
sumber yang dibuat
oleh beberapa penulis yang
berbeda untuk ditulis
dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.
Dalam konteks hukum
kita jarang mendengar
istilah kompilasi, meskipun
istilah kompilasi relatif mudah untuk dicari di kamus, eksklopedia, atau buku
terkait terminologi hukum.
Namun tidak ada
penjelasan yang sepesifik
terkait pengertian kompilasi.
Ini disebabkan karena
minimnya penggunaan istilah
tersebut dalam penerapanya. Kita akan lebih familiar dan lebih mengenal istilah kodifiikasi dari pada
kompilasi.[2]
Dalam istilah hukum,
Kodifikasi diartikan sebagai
pembukuan satu jenis hukum tertentu secara lengkap dan
sistematis dalam satu buku hukum. Dalam penerapanya kodifikasi diterjemahkan
dengan istilah “Kitab Undangundang”(Wetboek) yang dibedakan dengan “Undang-undang”(Wet).
Perbedaan antara kodifkasi/Kitab undang-undang
dan undang-undang terletak pada
materinya. Kodifkasi memliki materi yang luas tidak hanya satu sektor peraturan
namun bisa mencakup
seluruh bidang hukum
dalam satu frame semisal
Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) atau
Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPdt). Sedangkan
undang-undang hanya mencakup salah satu sektor dari hukum semisal UU No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Didalam Terminologi Hukum
Inggris-Indonesia karangan I.P.M. Ranuhandoko B.A. complation adalah penyaringan
dan di bukukannya
Undang-undang menjadi suatu keutuhan.
Kalau mengacu dari
pengertian tersebut
kompilasi jauh dari apa yang
kita pahami sekarang. Selain
akan menimbulkan kerancuan makna
dengan kodifikasi, pengertian
kompilasi tersebut juga tidak menggambarkan Kompilasi Hukum Islam yang
sudah ada saat ini. Untuk membedakan
kompilasi dengan kodifikasi, Abdurrahman mendefinisikan
kompilasi sebagai berikut:
Dalam pengertian hukum, kompilasi adalah tidak
lain dari sebuah buku hukum atau buku
kumpulan yang memuat
uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum
atau juga aturan hukum.
Pengertian yang diberikan
Abdurrahman mengenai kompilasi
tentu
berbeda dengan apa
yang dimaksud dengan
kodifikasi. Kalau kita
cermati perbedaan tersebut terletak
pada materi yang
dihimpun. Kompilasi tidak
harus berupa produk
hukum atau undang-undang
yakni bisa berupa
bahan,[3]
aturan, atau bahkan sebuah pendapat hukum. Sedangkan kodifikasi lebih ke produk
hukum yang sudah berbentuk undang-undang.
Lebih jauh
lagi Abdurrahman menjelaskan,
dalam konteks KHI kompilasi
diartikan sebagai upaya
untuk menghimpun bahan-bahan
hukum yang diperlukan sebagai
pedoman dalam bidang hukum materiil para hakim di
lingkungan Peradilan Agama.
Bahan-bahan yang diangkat
dari berbagai kitab
yang bisa digunakan
sebagai sumber pengambilan
dalam penetapan hukum yang
dilakukan oleh para
hakim dan bahan-bahan
lainya yang berhubungan dengan
itu.
Oleh karena
itu, Kompilasi Hukum
Islam dapat kita
artikan sebagai kumpulan
atau ringkasan berbagai
pendapat hukum islam
yang dimbil dari berbagai
sumber kitab hukum
(fiqh) yang mu’tabar
yang dijadikan sebagai sumber rujukan
atau untuk dikembangkan
di Peradilan Agama yang
terdiri dari bab nikah, waris, dan wakaf.Ketidak tegasan penggunaan istilah
ini memang seharusnya tidak boleh terjadi. Hal ini dikarenakan mulai dari
perumusan hingga ditetapkanya pada tahun 1991 tidak secara tegas bagaimana
pengertian kompilasi dan kompilasi hukum
Islam itu sendiri. Degan
demikian, para penyusun
kompilasi tidak secara tegas
menganut satu paham mengenai apa yang dibuatnya tersebut.[4]
Memang
disayangkan, sebagai sebuah revolusioner dalam hukum Islam di Indonesia
seharusnya ada penjelasan khusus penggunaan istilah kompilasi dalam KHI.
Sehingga kedepanya akan
memberikan pemahaman yang tegasapa dan kenapa menggunakan istilah
tersebut seperti ketegasan dari sifat
hukum itu sendiri.
Abdurrahman dalam
bukunya Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia menjelaskan bahwa, tidak
adanya penegasan istilah kompilasi dalam term Kompilasi Hukum Islam karena padawaktu
proses penyusunan tidak nampak pemikiran
yang kontroversial dan
tidak mengundang reaksi
dari pihak manapun mengenai apa
yang dimaksud dengan kompilasi itu.
B.
Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Dengan
dikeluarkanya UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman semakin mempertegas
keberadaan peradilan agama.
Pasalnya dalam pasal
10 undang-undang tersebut disebutkan; ada
empat lingkungan peradilan di
Indonesia, yaitu peradilan umum,
perdilan agama, peradialan
militer, dan peradilan tata usaha negara. Klausula pada undangundang tesebut
scara tegas memposisikan
peradilan agama sejajar
dengan peradilan lain yang
sebelumnya hanya dibawah
Kementrin Agama. Oleh karena
itu, secara tidak
langsung kekuatan peradilan
agama sama dengan
pengadilan-pengadilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia.[5]
Pada tahun
1977 Mahkamah Agung
mengeluarkan peraturan yang semakin
memperkuat bagi kedudukan
Pengadilan Agama, yaitu
denga diberikannya hak bagi
Pengadilan Agama untuk
mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung.
Peraturan tersebut
semakin memperkokoh keberadaan
Peradilan Agama. Namun
pencapaian yang diperoleh
Peradilan Agama tidak
sejalan dengan sumber
rujukan hukum yang
digunakan. Sebagai sebuah
institusi peradilan agama
seharusnya dalam memutuskan
perkara juga mempunyai sumber hukum
materiil yang tentunya juga
harus bersumber pada
hukum Syara’. Sebelum
adanya Kompilasi Hukum
Islam, Pengadilan Agama
disemua tingkatan Peradilan
menggunakan UU No.
1 tahun 1974
yang cenderung liberal
dan sekuler untuk dijadikan
sebagai sumber hukum materiil. Selain
itu dalam memutuskan
perkara para Hakim dilingkungn
Peradilan Agama juga
disarankan oleh pemerintah
untuk mengggunakan kitab-kitab
mu’tabarsebagai pedoman rujukan hukum.
Sesuai dengan
Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958
yang merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No.
45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah diluar
Jawa dan Madura.
Dalam huruf B
Surat Edaran tersebut
dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara
maka para Hakim
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah ini:
1.
Al Bajuri
2.
Fathul Muin dengan Syarahnya
3.
Syarqawi alat Tahrir
4.
Qulyubi/Muhalli
5.
Fathul Wahab dengan Syarahnya
6.
Tuhfah
7.
Targhibul Musytaq
8.
Qawaninusy Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya
9.
Qawaninusy Syar’iyah Lissayyid Shodaqah Dahlan
10.
Syamsuri Lil Fara’idl
11.
Al Fiqh ‘alal Muadzahibil Arba’ah
12.
Mughnil Muhtaj
Meskipun secara
materi kitab-kitab tersebut
terkenal keabsahannya, namun hal
tersebut tidak memecahkan masalah yang
ada. Justru menambah kesemrawutan rujukan hukum bagi Peradilan Agama.
Menurut Bustanul Arifin yang
dikutib Abdurrahman dalam
bukunya Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia
menjelaaskan bahwa dasar keputusan
Peradilan Agama adalah
kitab-kitab fiqh. [6]
Ini membuka
peluang bagi terjadinya
pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakain
kitab/pendapat yang tidak menguntungkanya itu, seraya menunjuk kitab/pendapat yang
menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahka diantara ke 13 kitab pegangan itu jarang digunakan
sebagai rujukan dan sering pula terjadi perselisihan diantara para hakim
perihal kitab mana yang menjadi rujukan. Peluang demikian tidak akan
terjadi di Peradilan
Umum, sebab setiap
keputusan pengadilan selalu dinyatakan sebagai
“pendapat pengadilan” meskipun
Hakim tidak menutup kemungkinan setuju
dengan pendapat pengarang
sebuah buku (doktrin hukum) yang mempengaruhi putusannya.
Di samping
masih adanya tarik
ulur dalam memahami
kitab fiqh. Kalau kita
cermati secara seksama
dari 13 rujukan
kitab yang disarankan, kesemuannya lebih bersifat
eksklusif. Ini dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan tersebut merupakan
kitab-kitab yang bermazhab Syafi’i. Kecuali untuk kitab nomor 12 yang termasuk kedalam kitab
komparatif (perbandingan madzhab). Begitu
juga hampir semua
kitab ditulis dalam
bahasa Arab kecuali
kitab Nomor 8 yang ditulis dalam
bahasa Melayu Arab.
Kondisi sosial semacam
itu yang membuat para tim perumus Kompilasi
Hukum Islam merasa perlu
untuk membuat sebuah
aturan baku untuk memecah kebuntuan kondisi
tersebut. Selaian alasan
itu, pemerintah juga memberikan alasan tersendiri mengapa
Kompilasi Hukum Islam penting untuk dirumuskan.
Didalam Konsideran
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985
No. 07/KMA/1989 dan No. 25 tahun 1985
tentang Penunjukan Pelaksana
Proyek Pembangunan Hukum
Islam melalaui yurisprudensi atau
yang lebih dikenal
sebagai proyek Kompilasi Hukum Islam,
dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa
proyek ini diadakan oleh
pemerintah, yaitu:
1.
Bahwa sesuai dengan
fungsi pengaturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia terhadap jalannya peradilan disemua
lingkungan peradilan di
Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan
Kompilasi Hukum Islam
yang selama ini
menjadikan hukum positif
di Pengadilan Agama;
2.
Bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas, sinkronisasi
dan tartib administrasi
dalam proyek pembangunan Hukum
Islam melalui yurisprudensi, di
pandang perlu membentuk suatu
tim proyek yang susunannya terdiri dari para Pejabat Mahkamah Agung dan
Departemen Agama Republik Indonesia;
Di dalam
Penjelasan Umum Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia dalam Instruksi Presiden No. 1
tahun 1991 juga menyebutkan latar belakang
disusunnya KHI, yakni:
1.
Bagi bangsa dan
negara Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945,adalah mutlak
adanya suatu hukum nasional yang
menjamin kelangsungan hidup
beragamaberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan
perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
2.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuanketentuan PokokKekuasaan Kehakiman,
jo Undang-undang Nomor
14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama
mempunyai
C.
Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Terbentuknya hukum
Islam (hukum keluarga) yang tertulis, sebenarnya sudah lama
menjadi kebutuhan dan
keinginan masyarakat muslim.
Sejak terbentuknya Peradilan Agama
yang mempunyai kewenangan
untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum keluarga, rasanya sangat
diperlukan adanya hukum kekeluargaan
Islam tertulis. Maka
munculah gagasan penyusunan Kompilasi Hukum Islam
sebagai upaya dalam
rangka mencari pola fiqh yang
bersifat khas Indonesia atau fiqh yang bersifat kontekstual.
Sejatinyaproses ini
telah berlangsung lama sejalan
dengan perkembangan hukum Islam
di Indonesia atau
paling tidak sejalan
dengan kemunculan ide-ide pembaharuan dalam pemikiran hukum Islam
Indonesia. Namun apabila kita lihat
secara lebih sempit
lagi, ia merupakan
rangkaian proses yang berlangsung
mulai sejak tahun1985.
Gagasan untuk
mengadakan Kompilasi Hukum
Islam pertama kali digulirkan oleh
Menteri Agama R.I.
Munawir Sadzali, M. A. pada
bulan Februari 1985
dalam ceramahnya di
depan para mahasiswa
IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Namun menurut
Abdul Chalim Mohammad dalam bukunya
Abdurrahman Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia mengemukakan bahwa,gagasan untuk
menyusun Kompilasi Hukum Islam
ini pada awal
mulanya setelah 2,5 tahun
lebih Mahkamah Agung
terlibat dalam kegiatan
pembinaan Badan-badan Peradilan
Agama dan dalam
penataran-penataran
keterampilan teknis justisial
para hakim agama
baik ditingkat nasional
maupun regional.
Langkah gagasan ini
mendapat dukungan banyak pihak
tak terkecuali bapak
Presiden Soeharto. Pada bulan
Maret 1985 Presiden
Soeharto mengambil prakarsa
sehingga terbitlah SKB
(Surat Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri
Agama yang membentuk
proyek Kompilasi Hukum Islam.
Tidak hanya sampai
itu dukungan dari
Presiden Soeharto. Melalui
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985
tentang Penunjukan Pelaksana Proyek
Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jangka waktu proyek
selama 2 tahun. Pelaksanaan
proyek ini kemudian
didukung oleh Keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember
1985 dengan biaya sebesar
Rp 230.000.000,00 yang
biaya tersebut tidak
berasal dari APBN melainkan dari
Presiden Soeharto sendiri.
D.
Isi Kompilasi Hukum Islam
Seperti apa
yang sudah kita
ketahui, Kompilasi Hukum
Islam terdiri
dari 3 buku, yakni Buku I Tentang Perkawinan, Buku II Tentang
Kewarisan, dan Buku
III Tentang Perwakafan.
Pembagian dalam tiga
buku ini sekedar
pengelompokan bidang pembahasan
hukum yang dibahas.
Namun dalam kerangka sistematisnya masing-masing buku
terbagi dalam beberapa bab, dan dari
bab-bab tersebut tersusun
atas pasal-pasal yang
masih ada relevansi
dengan nomor pasal pada Buku I.
Secara keseluruhan
Kompilasi Hukum Islam
terdiri dari 229
pasal dengan jumlah pasal yang berbeda untuk masing-masing buku. Jumlah
pasal yang paling banyak
adalah Buku I
(Perkawinan), selanjutnya Buku
II
(Kewarisan), dan yang paling sedikit adalah buku III (Perwakafan).
Perbedaan jumlah ini
dikarenakan tingkat intensif
dan terurai atau
tidaknya pengaturan masing-masing
yang tergantung pada
tingkat penggarapannya.
Dalam hal
perkawinan karena sudah
dikerjakan sampai pada
hal-hal yang detail
atau mencontoh pengaturan
yang ada dalam
perundang-undangan tentang perkawinan. Ini dibuktikan
dengan banyaknya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dijadikan sebagai rujukan pada KHI Buku I (Perkawinan). Sebaliknya dengan
Buku II dan Buku III, karena jarang digarap
maka dalam KHI
hannya muncul secara
garis besarnya saja dengan jumlah yang cukup terbatas
Untuk bidang hukum
perkawinan, KHI tidak
hanya terbatas pada
hukum subtantif saja.
Kompilasi juga
memberikaan pengaturan tentang
masalah prosedural atau
tatacara pelaksanaan yang
seharusnya menjadi cakupan perundang-undangan perkawinan.
Kita ambil contoh
Undangundang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang peraturan pelaksanaanya dilengkapi
dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama
yang juga memuat beberapa
ketentuan Hukum Acara
mengenaia perceraian. Dan
Kompilasi Hukum Islam
memasukkan semua aspek tersebut. Oleh karena itu mengapa dalam Buku I
(Perkawinan) terlihat tebal dan detail dibandingkan dengan Buku I dan III.
Ditinjau dari segi sistematisnya
sebuah peraturan perundang-undangan Kompilasi Hukum Islam tidak menggambarkan
sebuah sistematika yang baik. Semisal
didalam Kompilasi Hukum
Islam tidak mencantumkan
adanya ketentuan umum yang
berlaku untuk semua
bidang hukum yang
diaturnya. Selain itu, kalau
kita cermati sistematika
Kompilasi Hukum Islam
ada beberapa bab yang
seharusnya dapat dilebur
menjadi satu. Untuk
lebih jelasnya berikut tabel sistematika isi dari Kompilasi Hukum Islam.
E.
Kompilasi Hukum Islam Sebagai Konsesus Ulama Indonesia
Memang agak
berlebihan ketika Kompilasi
Hukum Islam disebut
sebagai konsensus ulama
Indonesia. Pernyatan ini
sama halnya dengan menyebut Kompilasi
Hukum Islam sebagai
produk ijma’. Kesimpulan
ini diambil atas dasar diadakanya Loka Karya Kompilasi Hukum Islam
sebelum disahkan melalaui Instruksi Presiden. Dalam Loka
Karya Kompilasi Hukum
Islam kita tahu
bahwa para tokoh, ulama fiqh,
organisasi-organisasi Islam, dan para cendikiawan muslim dari
seluruh Indonesai hadir
dan diperkirakan semua
ikut andil dalam pembahasan Loka Karya Tersebut. Inilah
yang menjadi alasan kenapa Amir
Syarifudin menganggap Loka
Karya ini sebagai
puncak perkembangan
pemikiran fiqh Indonesia dan
patut dinilai sebagai konsensus (ijma’) ulama Indonesia.[7]
Secara implisit, dalam
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebaran Kompilasi
Hukum Islam juga
mengindikasikan KHI sebagai ijma’
ulama Indonesia. Ini
bisa dilihat dari
pertimbangan poin a yang
berbunyi:
Bahwa para Alim Ulama Indonesia dalam Loka
Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1989 telah
menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukm Islam, yaitu Buku I tentang
Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum
Perwakafan.
Dalam pertimbangan
tersebut yang perlu
digarisbawahi adalah “Alim
Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2
sampai 5
Februari 1989 telah
menerima baik”. kata
telah menerima ini merupakan
kata kunci dan
sekaligus merefleksikan kedudukan kompilasi sebagai salah
satu hasil kesepakatan
para Alim Ulama
Indonsia, atau bisa
disebut sebagai konsensus (ijma’) ulama Indonesia. Sebagai sebuah
ijma’, diharapkan adanya
Kompilasi ini bisa
menjadi pedoman bagi
setiap muslim terutama
Pengadilan Agama untuk
mengisi kekosongan hukum
yang ada. Bahkan
kalau mengacu dari
arti ijma’ itu
sendiri, meski tanpa payung kekuasan atau legimitasi dari pemerintah, ijma’ dengan
sendirinya dapat dijadikan
sumber hukum. Karena
pada dasarnya ijma’ merupakan
sumber hukum Islam
setelah Al Qura’an
dan Sunnah, meskipun masih
ada khilafiah apakah
kesepakatan tersebut harus
disetujui ulama seluruh dunia atau cukup dalam satu cakupan wilayah
(negara).
Di sisi
lain Al Qur’an
menjeaskan dalam Surat
Al Nisa’ ayat
59: “Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil
amri di antaramu”.
Secara moral memang
ada kewajiban untuk menaati apa yang menjadi keputusan
pemimpin (pemerintah) yang membawa kebaikan, tentu dalam hal ini yang dimaksud
adalah Kompilasi Hukum Islam. Konsekuensi
logisnya, kalau memang
Kompilasi Hukum Islam
dapat dikatakan sebagai konsensus
(ijma’) ulama Indonesia. Maka tanpa Instrumen
pengesahan, KHI dapat
dijadikan sebagai landasan
sumber hukum Islam.
Namun sebagai negara
hukum, tentu diperlukan sebuah legitimasi agar dapat digunakan
sebagai landasan yang sah secara
hukum positif. Di
sinilah
sebenarnya letak suksesi KHI, selain secara legal negara mengakui walupun
hanya sebatas Inpres.
Namun Secara hukum
Islam Kompilsi Hukum
Islam bisa menjelma menjadi sebuh ijma’ kolektif melalui proses pembentukanya.
Meskipun keterlibatan Pemerintah
sangat dominan untuk
mencapai kata sepakat dari para
Alim Ulama.
F.
Kompilasi Hukum Islam dalam Herarki Perundang-undangan di Indonesia
Produk hukum
Kompilasi Hukum Islam
dituangkan dalam Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri
Agama Nomor 154
Tahun 1991 menimbulkan
keraguan bagi sebagian
ahli hukum dan
masyarakat. Pasalnya sebagai
suatu instrumen hukum,
Inpres tidak termasuk
ke dalam salah
satu tata aturan
perundang-undangan yang ditetapkan
MPRS No. XX/MPRS/1996.
Memang didalamnya tidak
disebutkan Instruksi Presiden
sehingga terkesan seolah-olah
Inpres tidak termasuk dalam bentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia Menurut Ismail Sunny, ahli hukum tata negara,
meskipun Inpres tidak disebutkan dalam
Tap No. XX/MPRS/1996,
namun berdasarkan kenyataan bahwa dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan
presiden sering mengeluarkan
Inpres yang dianggapnya
lebih efektif, maka
Inpres memliki kedudukan hukum
yang sama dengan
keppres sehingga daya
mingikatnya pun sama.
TAP MPRS
No. XX/MPRS/1996 jo TAP MPRS
No. V/MPR/1973 merupakan dasar
hukum atas tata
aturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan
hukum positif secara
tertulis. Keberadaanya dapat memaksa dan mengikat pada setiap warga
negara. Sedangkan Inpres adalah
Instrumen hukum yang
absah dilakukan presiden
dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa pada
pihak yag diperintah.
Oleh karena
itu, para ahli
hukum berbeda pendapat
mengenai posisi Inpres dalam
tata hukum Indonesia.
Pendapat ekstrim menyatakan
bahwa Inpres tidak termasuk
bagian hukum tertulis.
Sebaliknya ada yang berpendapat tergolong hukum
tertulis. Pendapat lain menempatkan dibawah keppres di
atas Keputusan Menteri, bahkan
ada yang menyamakan
dengan kekuatan undang-undang atau keppres.[8]
Menurut A. Hamid S.
Attamimi, dilihat dari materi muatannya, keppres ada yang berfungsi mengatur
pendelegasin peraturan pemerintah dan kepres yang berfungsi
sebagai pengatur yang
mandiri. Mengenai azas-aza
dalam pembentukan keppres yang
mandiri menurut beliau
sebagai peraturan yang memperoleh kewenangan
atribut langsung dari
Pasal 4 ayat
1 UUD 1945
maka selain materi muatan dan kedudukan herarki yang tidak sama terhadap asas
hukum umum dan
asas pembentkan peraturan
perundang-undangan, posisi keppres berfungsi sebagai peraturan yang
mandiri sama dengan posisi undang-undang. Karena itu, semua asas hukum dan asas
pembentukan yang berlaku bagi undang-undang
belaku juga bagi
keppres.
Perbedaan yang mendasar
adalah kalau undang-undang
dibentuk oleh presiden
dengan persetujuan DPR, keppres
berfungsi sebagai pengaturan
yang mandiri tidak memerlukan persetujuan DPR. Oleh karena
itu, bahwa instrumen Kompilasi Hukum Islam yang berupa Inpres Nomor 1
Tahun 1991 sebenarnya mempunyai kedudukan
dalam tata hukum Indonesia, oleh
karena itu bersifat mengikat, tapi sebatas pada dictum instruksinya.
Dictum tersebut
ditujukan kepada Menteri
Agama dan dikukuhkan dalam
bentuk Keputusan Menteri
Agama No. 154
Tahun 1991 tanggal 22 Juni 1991
resmi berlaku sebagai hukum untuk dipergunakan dan diterapkan oleh
Peradilan Agama dan
masyarakat yang memerlukannya. Akan tetapi
sifat mengikatnya berbeda
antara jajaran Peradilan
Agama dengan masyarakat muslim pada umumnya. Bagi para hakim peradilan
agama dan masyarakat muslim
yang berperkara ke
Pengadilan Agama di
bidang perkawinan, perwakafan
sifat mengikatnya tetap yakni bersifat formal yuridis dengan
tidak menutup kemungkinan
bagi hakim untuk
melakukan ijtihad dalam upaya penemuan hukum. Sedangkan bagi masyarakat muslim di luar Peradilan Agama sifat mengikatnya
tidak tetap yakni bersifat normatif.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kekuatan
hukum Inpres pada
Kompilasi Hukum Islam bersifat fakultatif. Artinya, Kompilasi Hukum
Islam hanya bersifat anjuran
dan alternatif hukum.
Beda dengan hukum
yang bersifata prioriyang mengikat dan memaksa bagi warga negara
Indonesia. Disisi lain, adanya
Instruksi Presiden untuk
menyebarluaskan Kompilasi
Hukum Islam tersebut
merupakan nilai tersendiri
bagi perkembangan politik hukum
Islam di Indonesia.
Bagaimana tidak, dengan adanya Inpres ini ada sebuah
positifisasi hukum Islam di dalam tata hukum Indonesi dengan tetap
mempertimbangkan segi-segi toleransi antar madzhab yang berkembang.
Oleh karena itu,
sebagai peluang maka
keberadaanya sangat tergantung kepada sikap umat Islam itu sendiri.
Ekspetasi dari Kompilasi
Hukum Islam kedepannya adalah bagaimana kompilasi yang
sekarang ini didasari
oleh Inpres bisa diusulkan/ dipertimbangkan untuk
diangkat menjadi Keputusan
Presiden. Keputusan Presiden lebih
memungkinkan dari pada
undang-undang yang harus diperlukan
persetujuan DPR. Selain
itu, dengan keputusan
Presiden akan lebih jelas
kedudukan hukumnya shingga
tidak menjadi perdebatan seperti sekarang. Namun hal
tersebut juga tidak bisa lepas dari peran aktif kita semua untuk
mempopulerkan dan menggunakan
secara penuh Kompilasi Hukum Islam secara masif.
G.
Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia
Peradilan Agama di
Indonesia tanpa kita sadari sudah ada sejak zaman kesultanan Islam.
Peradilan tersebut jauh
ada sebelum penjajah
datang di negeri ini
dan tentunya masih
menggunaka sistem peradilan
yang sangat sederhana. Dengan
adanya fakta itu
menunjukan bahwa upaya
untuk menerapkan hukum Islam baik secara positifis maupun kultural di
Indonesia sudah dirintis sejak
awal. Namun upaya
yang dirintis sejak
awal itu harus kandas ketika Belanda datang menjajah.
Secara sepintas
penjajahan Belanda melalui
VOC di negeri
ini hanya bermotif ekonomi.
Namun pada dasarnya
secara sosiologis Belanda
juga mengemban misi kristenisasi
kepada negeri jajahanya.
Kenyataan ini dapat dilihat
pada setiap misi
dagang dan pemerintahan
mereka yang selalu melibatkan para
pastor-pastor agama Kristen.
Nampaknya antara
misi perdagangan dan misi kristenisai sudah merupakan tipologi kolonial
Belanda dalam menjajah Indonesia.Oleh
karena itu pada
awal penjajahan, Belanda
berusaha untuk
mengidentifikasi bagaimana kultur
sosial keagamaan masyarakat
Indonesia, terutama agama Islam.
Upaya tesebut tidak
lain untuk menyukseskan
misi kristenisasinya.
Diawali oleh Mr. Lodewijk Willem
Christian van de
Berg (1845-1927) tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia, dia
mengenalkan teoi receptio in
complexu,teori ini menyatakan
bagi orang Islam
berlaku penuh hukum Islam
walaupun dalam pelaksanaanya
ada penyimpangan-penyimpangan.
Ia juga
beranggapan bahwa yang
diterima orang-orang Islam bukan
saja bagian-bagian hukum
Islam, tetapi keseluruhanya
sebagai satu kesatuan. Van Den Berg sendiri merupakan ahli di bidang hukum
Islam dan disebut sebagai
orang yang menemukan
dan menunjukan berlakunya hukum Islam
di Indonesia, meskipun
sudah banyak penulis
yang membahasnya.
Sedangkan pada
tahun 1889 datanglah
Christia Snouck Hurgronje seorang yang
ditugasi untuk mempelajari
intrik-intrik menghadapi Islam dengan
cara belajar tentang
Islam dan dia
pernah tinggal di
Makkah yang kemudian mengganti
namanya menjadi Addul
Gaffar. Sebagai upayanya untuk menghintikan berlakunya hukum
Islam di Indonesia, ia membuat teori Receptieyang kemudian
di kembangkan oleh C. Van
Vollenhoven dan Ter Haar Bzn.
Teori ini menyatakan
bahwa bagi rakyat
pribumi pada dasarnya berlaku hukum
adat, hukum Islam
berlaku apabila norma
hukum Islam tersebut telah
diterima oleh masyarakat
sebagai hukum adat.[9]
Tujuan diciptakan teori
ini adalah berangkat dari keinginan Snouck agar orang-orang pribumi rakyat
jajahan jangan sampai
kuat memegang Islam,
sebab ketika orang-orang ini
sudah kuat dalam
memegang Islam akan
sulit untuk dipengaruhi budaya
barat.Pada perkembangan selanjutnya, Teori Receptieini oleh bebarapa pakar
hukum Islam dianggap
sebagai teori Iblis.
Karena hukum Islam
berusaha untuk dihilangkan dari
kehidupan masyarkat Indonesia
dengan mengkonfrontirnya melaui
hukum adat. Untuk
menentang teori iblis
ini, Hazairin membuat antitesa atas teori tersebut dengan teori Receptie
Exit,yang artinya teori iblis yang dibawa Snouck harus exit/keluardari sistem
hukum di Indonesi karena telah merusak iman orang masyarakat Islam.
Hazairin juga
menegaskan bahwa teori receptie sebenarnya dengan
sendirinya dimatikan oleh UUD
1945, dan diperkuat
lagi dengan keluarnya Dekrit
Presiden RI tanggal 5 Juli 1959
yang menggambarkan keyakinan Presiden Bahwa Piagam Jakarta itu
menjiwai UUD 1945
dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut. Penghapusan teori tesebut juga dipertegas dengan Tap MPRS
No. II Tahun
1960, tanggal 3
Desember 1960, yang
menyuruh mengatur Syariat
Islam dengan undang-undang, dengan
syarat hidup kekeluargaan menurut
sistem parental. Selain
Hazairi, Sayuti Thalib
juga membuat teorireceptio a
contrario yang merupakan kebalikan
dari teori receptie, hal tersebut
sebagai upaya bentuk penolakan dari teori iblis itu.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
penelitian Kompilasi Hukum
Islam yang sudah peneliti lakukan. Peneliti dapat
menyimpulkan bahwa:
1.
Kompilasi Hukum Islam
lahir karena adanya tuntutan hukum
materiil dari Peradilan Agama
yang sesuai dengan
syari’at Islam. Sedangkan dalam proses
penyusunannya Kompilsi Hukum
Islam melalui 4
tahap yakni: pengumpulan data,
wawancara, studi banding ke
negara-negara Islam, seminar dan lokakarya.
2.
Dalam sudut pandang normatif,Kompilsi Hukum
Islam dapat disebut sebagai konsenssus (ijma’) ulama
Indonesia. Hal ini
didasari pada lokakarya yang
dihadiri oleh para
alim/ulama dan cendikiawan
muslim dari perwakilan daerah
diseluruh Indonesia. Dan dalam
perkembangan pemikiran hukum Islam
di Indonesia Kompilasi
Hukum Islam dapat
di katakan sebagai ”puncak pemikiran fiqh di Indonesia”. Akan
tetapidalam hal legitimasi, kekuatan
hukum Inpres Kompilasi
Hukum Islam hanya bersifat fakultatif. Artinnya Kompilasi
Hukum Islam hanya sebuah saran dan
himbaun yang bersifat
tidak mengikat seperti
halnya hukum yang bersifat a priori.
B.Saran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia.(Jakarta:
Akademika Presindo, 1992.)
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi
Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia (.Jakarta: Gema Insani Pers, 2002.)
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam
dan Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers,1997).
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam
Dalam Tatanan Masyarakat
Indonesia. (Bandung: Rosdakarya, 2000)
Otoriter Konservatif Menuju
Konfiguarasi Demokratis Responsif. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000)
Harahap, M. Yahya, Tujuan Kompilasi
Hukum Islam, dalam IAIN
Syarif Hidayatullah, Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer.
(Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988.)
Hasan, Sofyan, Hukum Islam
Bekal Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Literata Lintas Media, 2003.)
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum
di Indonesia.Jakarta: (
Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.)
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia.(Yogyakarta: Gema Media, 2001)
[2] S. Wojowasito
dan WJS. Poerwadaminta, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia – Idonesia – Inggris, (Jakarta: Hasta, 1982), hal. 88
[3] I.P.M.
Ranuhandoko B.A., Terminologi Hukum Inggris-Indonesia.(Jakrta: Sinar Grafika,
2003), hal. 149
[5] M.
Yahya Harahap, Tujuan Kompilasi
Hukum Islam, dalam IAIN
Syarif Hidayatullah, Kajian Islam
Tentang Berbagai Masalah
Kontemporer.(Jakarta:
Hikmah Syahid Indah,
1988), hal. 93.
[7] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran
dalam Hukum Islam.(Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 138-139.
[8] Warkum Sumitro, Perkembanga Hukum
Islam di Tengah
Kehidupan Sosial Politik
di
Indonesia,(Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 190
[9] Kamsi, Politik Hukum Islam Pada Masa
Orde Baru. (Jurnal Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[10]
Hasan,
Sofyan, Hukum Islam Bekal
Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Literata Lintas Media, 2003.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar