MAKALAH
POLITIK HUKUM
PENERAPAN ASAS KEADILAN DALAM
PEMBENTUKAN SUATU PRODUK HUKUM NASIONAL (POSITIF) YANG BAIK
OLEH
IJAN SURYADI
NIM: 152.121.020
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN
EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah Swt, yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga
karya ini mampu jadi dan sempuena, seawat dan serta salam kita haturkan kepada
Nabi Muhammad saw,berserta keluarga dan para sahabatnya dan pengikutnya hinggan
hari kiamat.
Makalah yang berjudul Penerapan Asas Keadilan Dalam
Pembentukan Suatu Produk Hukum Nasional (Positif) Yang Baik Di Indonesia
ini merupakan makalah yang mengkaji tentang penerapan dan perkembangan asas
keadilan guna menciptakan hokum yang baik di Indonesia yang diakibatkaln oleh
polituk hokum, Dengan demikian maka makalah ini akan mengakaji materi tengang Penerapan Asas Keadilan Dalam
Pembentukan Suatu Produk Hukum Nasional (Positif) Yang Baik di
Indonesia yang pembahasan nya akan di
bahan pada bab selanjutnya.
Demikianlah kata pengatar yang bisa kami samapaikan
mudah-mudahan makalah ini dapat bermamfaat bagi kita semua. Aimin
Mataram, 2 Januari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR ........................................................................ i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Politik Hukum dan Produk Hukum............................................ 3
B. Asas keadilan.............................................................................. 6
C. Penerapan Asas keadilan dalam membentuk produk hukum ..... 11
BAB III PENUTUP
A. kesimpulan .................................................................................. 13
B. saran ........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka melahirkan suatu produk hukum,
terdapat lima asas yang digunakan sebagai acuan. Lima asas tersebut antara lain
Asas Falsafah Pancasila, Asas Negara Hukum, Asas Demokrasi (Kerakyatan), Asas
Kepentingan Umum, dan Asas Hirarki
Kemajemukan (Pluralisme). Namun pada kenyataannya, banyak produk hukum yang
tidak mencerminkan kelima asas tersebut. Apabila produk hukum bertentangan
dengan kelima asas tersebut maka tidak akan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Produk hukum dikatakan memiliki kualitas baik apabila dapat bermanfaat dan
berpihak kepada rakyat. Sejauh ini, banyak produk hokum yang belum mencerminkan
Pancasila. Asas Pancasila seolah dilupakan dalam menciptakan produk hukum.
Salah satu dari kelima asas yang digunakan sebagai acuan dalam melahirkan
produk hukum adalah Asas Negara Hukum.
Di dalam Asas Negara Hukum dapat dibagi
menjadi tiga sub asas, yaitu prinsip kepastian hukum, prinsip kesamaan di muka
umum, dan prinsip keadilan. Ketiga prinsip tersebut adalah prinsip yang
dikehendaki negara hukum. Prinsip- prinsip tersebut harus diperhatikan dalam
membuat produk hukum. Hukum itu harus pasti, harus adil, dan tidak
diskriminatif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran latar belakang di atas
dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana penerapan asas
keadilan dalam pembentukan suatu produk hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Politik Hukum dan Produk Hukum
Politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum
yang mengurai atau membahas tentang perbuatan aparat berwenang dalam memilih
beberapa alternatif yang sudah tersedia untuk menciptakan produk hukum guna
mewujudkan tujuan negara. Berdasarkan definisi politik hukum tersebut, terdapat
empat unsur untuk memenuhi syarat politik hukum. Unsur-unsur tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Harus ada perbuatan aparat yang berwenang,
2. Harus ada alternatif yang disediakan (dalam bentuk hukum)
oleh Negara untuk dipilih,
3. Harus ada produk hukum baru yang lahir (menciptakan
produk hukum), termasuk produk hukum hasil perubahan,
Hukum bukan merupakan tujuan, tetapi sarana
atau alat untuk mewujudkan tujuan negara.1 Aparat yang berwenang mencerminkan
kekuasaan. Setiap aparat memiliki fungsi yang memberikan kewenangan. Kewenangan
melahirkan hak-hak kepada aparatur negara. Di dalam kekuasaan itu sendiri,
terdapat fungsi timbal balik antara hukum dan kekuasaan, yaitu kekuasaan
memiliki fungsi terhadap hukum, dan hukum juga memiliki fungsi terhadap
kekuasaan. Terdapat tiga macam fungsi kekuasaan terhadap hukum , yaitu :[2]
1. Kekuasaan merupakan sarana membentuk hokum
2. kekuasaan merupakan alat menegakkan hokum
3.
. kekuasaan sebagai media
mengeksekusi putusan hakim
Begitu juga sebaliknya terdapat 3 macam
fungsi hukum terhadap kekuasaan, yaitu :
1. Hukum sebagai media melegalisasi kekuasaan
2. Hukum berfungsi mengatur dan membatasi kekuasaan
3. Hukum berfungsi meminta pertanggung jawaban kekuasaan
Hukum dan politik merupakan sub sistem dalam
sistem kemasyarakatan. Keduanya
melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan system kemasyarakatan
secara meyeluruh. Pada pokoknya, hukum berfungsi melakukan social control,
dispute settlement, dan social engineering atau innovation, sedangkan fungsi
politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization and
recruitment), konversi (rule making, rule application, rule adjudication,
interest-articulation dan aggregation), dan fungsi kapabilitas (regulative
extractif, distributif, dan responsive)5. Meskipun demikian berbeda antara
fungsi dan dasar hukum dan politik, keduanya saling melengkapi satu sama lain untuk
mewujudkan tujuan negara. Tujuan negara yang dimaksud dalam hal ini adalah
keadilan social.
Asas Negara Hukum dapat dibagi menjadi 3 sub
asas, yaitu: Asas Kepastian Hukum (Legal Certainty Principle), Asas Kesamaan di
Muka Umum (Equality Before The Law Principle), dan Asas Keadilan (Justice
Principle). Dengan Asas Kepastian Hukum, diharapkan dalam pembuatan
undang-undang atau suatu produk hukum tidak menimbulkan multi-interpretable.
Apabila dalam suatu produk hukum terjadi multi-interpretable, dapat ditafsirkan
secara berbeda sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal tersebut dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga, produk hukum memiliki kepastian
hokum adalah suatu keharusan. Perihal kepastian hukum tersebut dapat
dimasukkan. dalam Bab I (Ketentuan Umum) yang berisi definisi-definisi,
diharapkan undang- undang tersebut menjadi jelas dan pasti.
Asas Kesamaan di Muka Umum (Equality Before
The Law Principle) itu mengartiikan bahwa hukum tidak boleh diskriminatif.
Tidak boleh terdapat istilah “kebal hukum”. Asas ini menghendaki setiap orang
dianggap sama dalam hukum.7 Semua orang dapat diminta pertanggungjawabannya di
muka umum. Asas berikutnya adalah Asas Keadilan, di dalam produk hukum haruslah
mencerminkan keadilan. Keadilan merupakan realisasi Asas Kesamaan di Muka Umum.[3]
B. Asas Keadilan
Di dalam pembentukan suatu produk
hukum harus menerapkan asas keadilan. Sehingga dapat menghasilkan produk hukum
yang adil pula. Berbicara mengenai pembentukan dan hasil produk hukum yang
adil, tidak bisa lepas dari definisi atau pengertian tentang keadilan itu
sendiri. Definisi tentang keadilan juga dikemukakan oleh beberapa tokoh-tokoh
filsuf dunia. Menurut Socrates, adil adalah jika kewajiban sebagai warga negara
yaitu menaati hukum negara dapat ditunaikan.9 Lalu Plato mengungkapkan terdapat
dua prinsip mengenai keadilan, yaitu adil adalah jika “kepada yang sama
diberikan yang sama”, dan “kepada yang tidak sama diberikan yang tidak sama”.[4]
Tokoh lainnya, Ulpian, mengajukan tiga
prinsip mengenai keadilan, yaitu Honeste vivere, alterum non laedere, sum
quique tribuere (Hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan
memberi kepada tiap orang bagiannya).11 Prinsip keadilan yang dikemukakan oleh
Ulpian merupakan sebuah tolok ukur tentang apa yang baik, benar dan tepat dalam
hidup. Dengan demikian keadilan itu mengikat semua orang baik masyarakat maupun
penguasa. Prinsip. yang diajukan Ulpian didukung oleh Agustinus. Namun,
Agustinus menambahkan dua prinsip lagi yaiyu, deligere (dihargai dan dicintai)
dan delicto proximi (mengasihi sesama).
Menurut Stammler, keadilan ialah usaha atau
tindakan mengarahkan hukum positif sebagai usaha dengan sanksi pemaksa menuju
sesuatu yang adil (Zwangversuch zum Richtigen). Oleh karena itu, menurut
Stammler, keadilan ialah usaha atau tindakan mengarahkan hukum positif kepada
cita hukum. Seperti yang telah dikemukakan A. Hamid S. Attamimi (1991: 68)
dalam Soeprapto, hukum yang adil (richtigen Recht) ialah hukum positif yang
memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan-tujuan
masyarakat.
Tokoh berikutnya adalah Thomas Aquinas.
Aquinas mengajarkan tiga kategori keadilan. Pertama, iustitia distributiva
(keadilan distributif), yang menunjuk pada prinsip “kepada yang sama diberikan
sama, kepada yang tidak sama diberikan yang tidak sama pula”, ini disebut
kesederajatan geometris. Kedua, iustitia commutative (keadilan komutatif atau
tukar-menukar), menunjuk pada keadilan berdasarkan prinsip aritmetis, yaitu
penyesuaian yang harus dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai
dengan hukum. Ketiga iustitia legalis (keadilan hukum), yang menunjuk pada
ketaatan terhadap hokum (Tanya, 2011: 24).14 Menurut Aquinas, menaati hukum
bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal dan dapat diasumsikan bahwa
hukum itu berisi tentang kepentingan umum, maka keadilan hukum disebut juga
sebagai keadilan umum (iustitia generalis).
Di dalam tulisan yang berjudul “Rhetorica”,
Aristoteles membedakan dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan
keadilan komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada
setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing-masing). Ia
tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya;
bukan persamaan,[5] melainkan kesebandingan.
Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama
banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Menurut Kansil ,
keadilan tidak dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti
bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Keadilan komutatif lebih
menguasai hubungan antar perseorangan, sedangkan keadilan distributif utamanya
menguasai hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan
khusus.
Selain model keadilan berbasis kesamaan,
Aristoteles juga mengajukan model keadilan lain, yaitu keadilan distributif dan
keadilan korektif. Keadilan distributif identik dengan keadilan atas dasar
kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif (remedial), berfokus pada
pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau kesalahan
dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberi kompensasi yang memadai bagi
pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan dilakukan, maka hukuman yang
sepantasnya perlu diberikan pada si pelaku
kesetaraan. Keadilan korektif merupakan
standar umum untuk memperbaiki setiap akibat dari perbuatan, tanpa memandang
siapa pelakunya. Prinsip-prinsip itu adalah hukuman harus memperbaiki
kejahatan, ganti-rugi harus memperbaiki kerugian dan memulihkan keuntungan yang
tidak sah. Konsep Themis, sang dewi keadilan, melandasi keadilan jenis ini. Di
mana sang dewi keadilan ditutup kedua matanya. Hal tersebut merupakan cerminan
bahwa keadilan bertugas menyeimbangkan prinsip-prinsip tersebut tanpa memandang
siapa pelakunya.[6]
Pancasila sebagai dasar filsafat negara
Indonesia mengandung konsekuensi setiap aspek peyelenggaraan negara. Semua
sikap juga tingkah laku bangsa Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara
harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang
bersumber pada hakikat Pancasila adalah bersifat abstrak umum universal, tetap,
tidak berubah..
Dibandingkan dengan sila–sila yang lain, sila
ke lima dari Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” ditempatkan di akhir. Hal tersebut dikarenakan keadilan sosial
merupakan tujuan dari keempat sila sebelumnya, yaitu menjadi tujuan bangsa kita
dengan bernegara. Masing-masing sila dalam Pancasila terkandung sila-sila yang
lainnya. Yang dimaksud dengan terkandung di sila lainnya adalah bahwa sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan sosial yang
berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, dan yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Di dalam kalimat kedua Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, disebutkan
bahwa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat
yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia[7]
ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur”. Berdasarkan kata-kata “adil dan makmur” tampak
jelas tujuan bangsa kita dengan proklamasi kemerdekaan untuk bernegara.[8]
Di dalam kalimat keempat pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga disebutkan bahwa pembentuk Pemerintah
Indonesia adalah “untuk memajukan kesejahteraan umum”. Dengan adanya keadilan
sosial sebagai sila kelima, maka bahwa di dalam “negara adil dan makmur” dan
“kesejahteraan umum” harus mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Keadilan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 ditujukan tidak hanya bagi rakyat Indonesia saja, tetapi juga
bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia, “…ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
C. Penerapan Asas
Keadilan dalam Pembentukan Produk Hukum
Prinsip umum yang tersembunyi dalam berbagai
penerapan konsep keadilan adalah para individu di hadapan yang lainnya berhak
atas kedudukan relatif berupa kesetaraan atau ketidaksetaraan tertentu.
Terdapat asas-asas dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sebagai
produk hukum. Asas- asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu
pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
yang aik. Asas-asas yang harus dikandung
dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia
dirumuskan dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, sebagai
berikut :"
(1)
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. . pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan
i.
ketertiban dan kepastian hukum;
dan/atau
Asas Keadilan sebagaimana disebutkan dalam di
atas, bahwa setiap materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.
Sehingga dalam proses pembentukan Undang-undang diharapakan agar dapat
menerapkan asas keadilan. Pertanyaan mengenai apakah hukum itu dapat dikatakan
adil atau tidak adil, dan apakah elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab
secara ilmiah. Yang dapat dijawab adalah bahwa tata aturan tersebut mengatur
perilaku manusia, berlaku bagi semua orang, dan semua orang menemukan
kegembiraan di dalamnya, maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial..[11]
Jika keadilan sosial adalah kebahagiaan
sosial, maka kebahagiaan social tersebut akan dicapai jika kebutuhan individu
sosial dapat terpenuhi. Tata aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat
menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut.32 Adalah Adil jika suatu peraturan
yang dibuat dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dan diterapkan pada semua
kasus di mana menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan.33 Oleh
karena itu, dalam pembuatan suatu produk hukum haruslah diterapkan asas
keadilan.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian tentang keadilan memang sulit
untuk dijabarkan secara pasti. Secara umum, keadilan adalah keseimbangan antara
hak dan kewajiban, yang dapat mengakomodir segala kepentingan individu agar
masing-masing individu mendapatkan perlindungan kepentingan dan
kebahagiaan." Hukum dan keadilan dapat dibedakan karena konsepsi keduanya
berbeda. Hukum adalah apa yang benar-benar berlaku, sehingga hukum berkembang
sesuai dengan pandangan manusia. Keadilan adalah cita-cita yang didasarkan pada
sifat moral manusia, sehingga tidak terbatas hanya pada apa yang terjadi dalam
dunia kenyataan. Walaupun berbeda, baik hukum maupun keadilan mempunyai
hubungan yang erat, antara lain bahwa keadilan berlaku di dalam hukum, keadilan
memberikan ukuran lahir sehingga hukum dapat dipertimbangkan.
Hukum tidak identik dengan keadilan, tetapi
di dalam hukum ada kecenderungan untuk menginginkan keadilan, yaitu sikap tidak
memihak (equality). Bukti bahwa hukum mengarah pada keadilan adalah bahwa
undang- undang memberi ketentuan yang bersifat umum sehingga berlaku sama
terhadap semua orang (equality before the law). Dapat disimpulkan bahwa hukum
itu bersifat umum, mengikat semua orang, dan bersifat menyamaratakan. Namun,
keadilan itu bersifat subyektif, individualistis, dan tidak bersifat
menyamaratakan. Asas keadilan sangat penting untuk diterapkan dalam pembentukan
suatu produk hukum. Penerapan asas keadilan dalam pembuatan produk hukum
nantinya akan berdampak pada penerapan produk hukum itu sendiri. Saat ini masih
banyak dari produk hukum yang ada saat ini belum mencerminkan asas keadilan.
Sehingga dalam proses pembentukan produk hukum harus benar-benar dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.
B. Saran
Demikianlah makalah ini disusun berdasarkan
temayang sudah menjadi topic dalam pembelajaran politik hukum, dengan demikian
kirnya setelah membaca dan memehami isi dari makalah ini barang tentu jika ada
kesalahan dan kekeliruan maka kami mengarapkan kemaklumanya.
DAFTAR PUSTAKA
Bernard L.Tanya, Politik Hukum
Agenda Kepentingan Bersama,(Genta Publishing, Yogyakarta. 2011,)
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Balai Pustaka, Jakarta. 1989, )
Hart, H.L.A., Konsep Hukum,
Penerbit Nusa Media, ( Ujung Berung,Bandung. 2010,)
Husein, Wahyudin dan Hufron, Hukum,
Politik, dan Kepentingan, (Laksbang Pressindo, Yogyakarta. 2008,)
Hart, H.L.A., Konsep Hukum,
Penerbit Nusa Media, ( Ujung Berung, Bandung. 2010,)
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali
Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Konstitusi Pers, Jakarta. 2012
Kelsen, Hans, Teori Umum
Tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nusa Media, (Ujung Berung, Bandung, 2010,)
Kaelan, Filsafat Pancasila
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. (Penerbit Paradigma,Yogyakarta 2002,)
Kelsen, Hans, Teori Umum
Tentang Hukum dan Negara, ( Penerbit Nusa Media, Ujung Berung, Bandung. 2010,)
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta. 2007,)
Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum Suatu Pengantar, (Liberty, Yogyakarta. 2008,)
Sudikno Mertokusumo, Penemuan
Hukum Sebuah Pengantar, (Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. 2014,)
Notonagoro, Pancasila
Secara Ilmiah Populer, (Bumi Aksara, Jakarta, 1995)
[2] Husein Wahyudin dan
Hufron, 2008, Hukum, Politik, dan Kepentingan, Laksbang Pressindo,Yogyakarta,
Hlm. 19.
[3] Bernard L.Tanya, 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama,
Genta Publishing, Yogyakarta, Hlm. 23.
[4] Sudikno Mertokusumo,
2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, Hlm. 13.
[5] Maria Farida Indrati
Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, Hlm. 263.
[6]C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Hlm. 42.
[8] Kaelan, 2002, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia. Penerbit Paradigma,Yogyakarta, Hlm. 240.
[11] Kelsen, Hans, 2010, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,
Penerbit Nusa Media, Ujung Berung,
Bandung, Hlm. 5-6.
[12] Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2012, Teori Hans
Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Pers,
Jakarta, Hlm. 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar