Jumat, 06 November 2015

Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif Di Indonesia

MAKALAH
POLITIK HUKUM
Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif Di Indonesia


OLEH
IJAN SURYADI                                                                                               NIM:152.121.020



JURUSAN MUAMALAH                                                                                        FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM                                                      INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM                                              2015



KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Swt, yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga karya ini mampu jadi dan sempuena, seawat dan serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad Asw,berserta keluarga dan para sahabatnya dan pengikutnya hinggan hari kiamat.
Makalah yang berjudul Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif Di Indonesia ini merupakan makalah yang mengkaji tentang penerapan dan perkembangan hokum waris di Indonesia yang diakibatkaln oleh polituk hokum, Dengan demikian maka makalah ini akan mengakaji materi tengang Perkembangan Politik Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif Di Indonesia  yang pembahasan nya akan di bahan pada bab selanjutnya.
Demikianlah  kata pengatar yang bisa kami samapaikan mudah-mudahan makalah ini dapat bermamfaat bagi kita semua. Aimin
                                                                       
     Mataram, 2 November 2015
                                                                                                  Penulis
                                                   DAFTAR ISI


HALAM SAMPUL...............................................................................        i
KATA PENGANTAR.........................................................................        ii
DAFTAR ISI .........................................................................................        iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah...............................................................        1
B.     Rumusan masalah........................................................................        3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Politik Hukum di Indonesia ................................        4
B.     pengaruh Perkembangan Politik Hukum terhadap Hukum Waris               Positif                                          7
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan .................................................................................        16
B.     Saran   .........................................................................................        16
DAFTAR PUSTAKA





BAB II
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum adalah seperangkat peraturan tingkah laku yang berisi perintah/ anjuran, larangan, dan ada sanksi (upaya pemaksa) bagi para pelanggarnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia di masa ini dan masa yang akan datang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang mempunyai tujuan negara yang berorientasi pada konsep negara kesejahteraan dengan sendirinya hukumnya akan mengarah pada pencapaian tujuan hukum tersebut.
Berdasarkan pasal II AP UUD 1945 yang sekarang telah berubah menjadi pasal I AP UUD 1945 amandemen telah mengisyaratkan kepada pembentuk undang-undang di Indonesia agar dapat mewujudkan cita-cita hukum nasional. Untuk dapat memenuhi cita-cita hukum diperlukan pembangunan hukum dan pembinaan hukum. Pembangunan hukum mengarah kepada pengertian pembentukan hukum baru dengan antara lain dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu, sedangkan pembinaan hukum berorientasi dengan melakuakan sebuah pembinaan terhadap hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan dilakukan sebagai langkah yang strategis untuk mencapai pembangunan hukum nasional yang tidak lagi mengenal penggolongan penduduk dan bersifat unifikasi.
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ditandai dengan adanya perubahan masyarakat dan perubahannya tersebut sudah terarahkan atau diarahkan tercapainya politik hukum dibidang hukum yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang.
Dalam Hukum Waris politik hukumnya dimulai dengan melakukan perubahan pada aspek hukum keluarga dan perkawinan melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
Maka untuk penyusunan hukum nasional diperlukan adanya konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum yang berasal dari hukum adat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah Unifikasi Hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.
Salah satu inti dari unsur hukum adat guna pembinaan hukum  waris nasional dalam Hukum Waris Adat, oleh karenanya bahan-bahan hukum waris adat perlu diketengahkan dengan jalan melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan untuk dapat mengetahui dari berbagai system dan asa hukum waris adat yang terdapat di seluruh wawasan nusantara ini dapat di cari titik temu.dan kesesuainya dengan kesadaran hukum nasional
Menurut perkiraan kita kesadaran hukum nasional yang menyangkut hukum waris adat adalah pada tempatya apabila hak-hak kebendaan atau warisan tidak lagi dibedakan antara pria dan wanita untuk sebagian besar bangsa Indonesia dalam hal ini kita berada pada garis demokrasi antara hukum adat dengan Islam yang mana hukum Islam itu pada sebagian besar masyarakat yang beragama Islam belum berlaku sebagaimana mestinya. Di sebagian besar masyarakat kecuali di beberapa daerah atau pada kelompok terbatas masih berpegang pada hukum waris adat kemudian mengenai hukum waris adat itu sendiri terhadap sistem dan asas-asas hukumnya yang berbeda-beda.
B.     Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat di ambil rumusan masalah :
1.      Bagaimanakah Perkembangan Politik Hukum di Indonesia ?
2.      Apa pengaruh Perkembangan Politik Hukum terhadap Hukum Waris Positif ?












BAB II
PEMBAHASAN
A.Perkembangan Politik Hukum
Dilihat dari perubahan masyarakat karena pengaruh hukum, maka kajian ini sudah menyentuh sudut pandang Politik Hukum Nasional. Menurut Bellefroid politik hukum adalah suatu disiplin ilmu hukum yang mengatur tentang cara bagaimana merubah ius constitutum menjadi ius constituendum, atau menciptakan hukum baru untuk mencapai tujuan mereka. Selanjutnya kegiatan politik hukum meliputi mengganti hukum dan menciptakan hukum baru karena adanya kepentingan yang mendasar untuk dilakukan perubahan sosial dengan membuat suatu regeling (peraturan) bukan beschiking (penetapan).[1]
Dalam kajian politik hukum dengan sendirinya akan memperhatikan fungsi hukum, seperti yang disebutkan oleh Roscou Pond:
1.      Law as a tool of social control, yaitu hukum sebagai alat pengendali masyarakat. Artinya hukum berfungsi sebagai penjaga tata tertib masyarakat.  Apabila ada yang melanggar akan dikenai sanksi sebagai wujud dari fungsi kontrol sosialnya. Dalam hal ini hukum berposisi di belakang masyarakat.
2.      Law as a tool of social engineering, yaitu hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat. Dalam hal ini hukum berposisi berada didepan masyarakat, hukum membawa dan menggerakkan masyarakat untuk berubah dan bergerak kearah yang telah ditentukan.
Selain kedua fungsi hukum tersebut di atas, oleh Muchsan ditambah dengan satu fungsi lagi, yaitu sebagai law as a tool of social empowering, yaitu hukum berfungsi sebagai yang memberdayakan masyarakat, agar masyarakat ikut berperan/ berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam hal ini hukum berposisi di dalam masyarakat.[2]
 Dalam politik hukum ada salah satu fungsi hukum yang menonjol, yaitu sebagai law as a tool of social engineering. Artinya hukum sebagai produk politik hukum akan menjadi sangat berpengaruh dalam perubahan masyarakat, sebab melalui hukum tersebut masyarakat berubah secara menyeluruh pola perilakunya untuk menyesuaikan dengan ketentuan hukum yang diberlakukan.
Hukum waris di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka-ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 163 IS Jo. Pasal 131 IS. Golongan penduduk tersebut terdiri dari :
a.       Golongan Eropa
b.      Golongan Timur Asing
c.       Golongan Bumi Putera.
Dan untuk hukum waris positif atau hukum waris yang sedang berlaku di Indonesia terbagi menjadi 3 macam hukum waris. Hukum waris tersebut adalah :[3]
a.       Hukum waris adat.
b.      Hukum waris Islam.
c.       Hukum waris BW/ perdata.
Dalam pemakaian hukum waris di setiap golongan-golongan tersebut diberlakukan berbeda-beda, hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
a.       Golongan Eropa : menggunakan hukum waris BW/ perdata.
b.      Golongan Timur Asing :
1)      Cina : menggunakan hukum waris BW/ perdata.
2)      Bukan : Cina menggunakan hukum waris adat.
c.       Golongan bumi putera : menggunakan hukum waris adat/ hukum waris Islam.
Dasar hukumnya dan juga dapat diambil beberapa teaching point yaitu :
1)      Secara normatif bahwa hukum waris adalah bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang berlaku di Indonesia.
2)      Adanya ketentuan pasal 163 IS yo pasal 131 IS, yang dimana pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pergolongan rakyat dan pluralisme hukum. Dan juga dalam pasal-pasal ini politik hukum ikut diberlakukan.
Atas pertimbangan secara historis sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan sekarang ternyata terdapat pergeseran dan perbedaan arah politik hukumnya. Pada jaman pemerintahan Hindia Belanda Politik Hukumnya terlihat pada adanya Politik Pergolongan Rakyat, yang dibagi dalam 3 golongan yaitu: Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan Golongan Bumi Putera. Selanjutnya keadaan tersebut diteruskan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan sedikit-sedikit dan secara bertahap dilakukan perubahan ke arah hanya ada 1 golongan masyarakat yaitu Masyarakat Nasional.
Arah politik hukum dari pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi masih adanya golongan rakyat tersebut dan adanya perkembangan kewenangan Pengadilan Negeri maupun kewenangan Pengadilan Agama, khususnya di bidang Hukum Kewarisan yang dihadapkan pada adanya Pemilihan Hukum, ternyata menggambarkan adanya cara berfikir yang tidak lagi didasarkan pergolongan rakyat, akan tetapi berorientasi pada hak yang dimiliki Pengadilan Negeri maupun oleh Pengadilan Agama. Dan di sisi lain apabila menyinggung pembicaraan tentang Hukum Adat pandangan kita akan tertuju pada gambaran adanya masyarakat setempat yang di Indonesia terdapat banyak sekali corak dan bentuk dari masyarakat setempat dan terdapat pula adanya aneka ragam agama yang dianut oleh masyarakat. 

B.Pengaruh Perkembangan Politik Hukum terhadap berlakunya Hukum Waris Positif.
yakni golongan warga negara Indonesia tanpa diembel-embeli, maka sudah pada Dengan dihapuskan penggolongan warga negara Indonesia berdasarkan keturunan atau class menjadi hanya hanya 1 (satu) golongan warga negara            tempatnya berlaku pula hukum kodifikasi untuk golongan warga negara tersebut. Akan tetapi di dalam kenyataannya sampai saat ini cita-cita untuk membentuk Hukum Kewarisan Nasional belum juga terwujud.
Suasana pluralistis Hukum Kewarisan, kenyataannya masih tetap mewarnai sistem dan penerapan Hukum Kewarisan di Indonesia. Pada hal sebagai negara yang telah lama merdeka sudah pada tempatnya apabila Hukum Kewarisan yang berlaku di dalam masyarakat berbentuk kodifikasi dan unifikasi. Karena dengan hukum kodifikasi dan unifikasi dapat menjadi sarana efektif di dalam mempererat  rasa  persatuan  dan  kesatuan bangsa, di samping untuk menciptakan kepastian dan ketertiban hukum di dalam masyarakat tanpa meninggalkan prinsip-prinsip atau kaedah-kaedah agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat.[4]
Agar lebih memudah memahami bagaimana pengaruh dari perkembangan poltik hukum, kita dapat menganalisanya melalui produk hukumnya yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang No 7 Tahun 2009.
1.      Pengaruh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai produk unifikasi hukum terhadap Hukum Waris Positif di Indonesia
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka dalam hal ini berlaku asas “Lex Posterior Derogate Lex Priori“, yaitu bahwa undang-undang baru membatalkan undang-undang terdahulu sejauh undang- undang tersebut mengatur hal yang sama.[5]
Dan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut maka tidak diberlakukan lagi hukum perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata. Dan konsekuensinya adalah bagi orang- orang yang melakukan perkawinan sebelum diberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1974 mereka tunduk pada sistem hukum waris KUHPerdata (BW), dan bagi orang- orang yang melakukan perkawinan setelah adanya UU No 1 Tahun 1974 maka tidak diberlakukan lagi hukum waris menurut KUHPerdata.
Indonesia mengenal tiga macam sistem hukum waris sebagai hukum positif yaitu Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW), Sistem Hukum Waris Adat dan Sistem Hukum Waris Islam. Hal ini berdasarkan atas ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, secara yuridis yang dimaksud dengan peralihan yaitu berlaku sementara sepanjang belum ditentukan hukum yang baru atas dasar UUD 1945 sebagai Hukum Nasional. Sistem hukum waris positif saat ini hanya berlaku sementara atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, sampai terbentuk peraturan baru yang bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila. Sebagai suatu sistem, hukum waris mempunyai hubungan yang bersifat sistemik dan sebagai akibat dari Sistem Hukum Keluarga dan dan Hukum Perkawinan. Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Kedudukan suami Isteri di dalam perkawinan dan Harta Benda Perkawinan yang berbeda dengan prinsip KUH Perdata (BW).
Sejak berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketiga Sistem Hukum Waris Positif posisinya mulai terlihat bersifat sementara, terutama Sistem Hukum Waris BW. Sebagai konsekuensinya, Hukum Perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata (BW) dinyatakan tidak berlaku lagi sejak saat di undangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW) hanya berlaku bagi orang yang semula tunduk kepada KUH Perdata (BW) yang melangsungkan perkawinannya sebelum di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan mereka yang yang melakukan perkawinan seteleh di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak lagi diberlakukan ketentuan hukum waris menurut KUH Perdata (BW). Untuk Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum Adat masih berlaku sebagai hukum positif karna secara historis kedua sistem tersebut telah lama hidup dan berlaku dalam masyarakat yang sama yaitu masyarakat Indonesia yang beragama Islam, khususnya dalam bidang Hukum waris kedua sistem tersebut memegang peranan penting dalam mewujudkan cita-cita hukum yaitu sebagai sumber hukum terbentuknya Hukum Nasional. Berbeda dengan posisi Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW), Sistem Hukum Waris Islam dan Sistem Hukum Waris Adat kedepan akan menjadi sumber hukum potensial dalam terbentuknya Hukum Waris Nasional.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan salah satu bentuk produk Hukum Nasional yang bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila. Berkaitan dengan bidang hukum waris, maka dalam hal ini pembentuk Undang-undang melalui UU No. 1 Tahun 1974  melakukan perubahan politik hukum terhadap aspek hukum keluarga dan perkawinan.
bertujuan membentuk keluarga, dan keluarga akan menjadi dasar pembentukan masyarakat nasional (basic sosial structure). Dengan di tetapkannya politik hukum di bidang hukum keluarga dan perkawinan maka prinsip-prinsip dasar keluarga yang di berlakukan secara nasional merupakan nilai baru yang menjadi arah dalam melakukan sosial engeneering. Perubahan yang dimaksud ialah perubahan masyarakat secara revolusioner yang berorientasi pada politik hukum nasional yaitu unifikasi hukum dan tidak adanya pergolongan penduduk dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara Indonesia sehingga tidak lagi berorientasi pada politik hukum Pemerintahan Hindia Belanda yaitu pluralisme hukum dan adanya pergolongan penduduk di Indonesia.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan bentuk unifikasi hukum berdasarkan politik hukum nasional dan di berlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia. secara normatif terjadi perubahan revolusioner dan mendasar terhadap sistem hukum perkawinan dan struktur hukum keluarga masyarakat Indonesia karena Undang-undang tersebut di berlakukan secara serentak bagi seluruh warga negara Indonesia sejak saat di berlakukan.
Dengan telah di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk yang beragama Islam, maka para ulama membentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hasil dari interpretasi hukum mengenai hukum keluarga dan perkawinan serta hukum waris dengan berlandaskan Inpres No. 1 Tahun 1991.
UU No. 1 tahun 1974 ini sangat berarti dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun 1974 tentanng Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan Pelaksanaanya, maka terbit pulalah ketentuan Hukum Acara di Peradilan Agama, biarpun baru sebagian kecil saja. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menampak menjelaskan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia. Hanya saja putusan dan penetapan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum ada pengukuhan dari Peradilan Umum.
Sebelum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Hukum Waris Positif masih berorientasi pada politik hukum Pemerintah Hindia Belanda yaitu, adanya pluralisme hukum dan pergolongan penduduk. Satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara warisan adalah Pengadlan Negeri, opsi hukum atau choice of law terjadi karena golongan penduduk dari masyarakat Bumi Putera yang beragama Islam berada pada dua wilayah hukum, yaitu Hukum Islam dan Hukum Adat.
Jika mereka tidak menggunakan haknya untuk melakukan pilihan hukum maka oleh Pengadilan Negeri akan diterapkan Hukum Adat dan dalam pandangan Pemerintah Hindia  Belanda Hukum Islam bukan Undang-undang melainkan hanya bagian dari Hukum Adat. dalam hal ini para pihak dapat mengajukan permohonan pada hakim agar perkara warisnya di periksa dan di adili dengan menggunakan Hukum Islam. Pada waktu itu Pengadilan Agama hanya mempunyai kewenangan dalam aspek NTR (Nikah, Talak, dan Rujuk).
Arah politik hukum dari pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi masih adanya golongan rakyat dan adanya perkembangan kewenangan Pengadilan Negeri maupun kewenangan Pengadilan Agama, khususnya di bidang Hukum Kewarisan yang dihadapkan pada adanya Pemilihan Hukum, ternyata menggambarkan adanya cara berfikir yang tidak lagi didasarkan pergolongan rakyat, akan tetapi berorientasi pada hak yang dimiliki Pengadilan Negeri maupun oleh Pengadilan Agama. Dan di sisi lain apabila menyinggung pembicaraan tentang Hukum Adat pandangan kita akan tertuju pada gambaran adanya masyarakat setempat yang di Indonesia terdapat banyak sekali corak dan bentuk dari masyarakat setempat dan terdapat pula adanya aneka ragam agama yang dianut oleh masyarakat.
Dengan berlakunya Undang-Undang tentang Peradilan Agama maka hal itu semakin menegaskan bahwa Politik Hukum di Indonesia tidak lagi mengenal Penggolongan Penduduk dengan diperluasnya kewenangan mengadili dari Pengadilan Agama untuk memeriksa, dan menyelesaikan pembagian warisan bagi WNI yang beragama Islam, dan kepada mereka diperkenalkan Opsi Hukum (pasal 49 Undang-Undang No 7 tahun 1989).
Tetapi kemudian dengan lahirnya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka semakin menambah kejelasan Politik Hukum di Indonesia/Nasional dengan mempertegas diterapkannya Pengadilan Agama dengan menghilangkan Opsi Hukumnya.
2.      Pengaruh Undang-Undang No 7 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama sebagai produk unifikasi hukum terhadap Hukum Waris Positif di Indonesia.
Pada tahun 1989, pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang ini menetapkan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan warisan atau faraid. UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak hanya sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah. 













BAB III
PENUTUP
A.kesimpulan
Perkembangan Politik Hukum terhadap hukum waris positif di Indonesia Politik hukum di Indonesia mengalami perkembangan, dari yang awalnya menganut konsep Penggolongan Penduduk dan Pluralisme Hukum berkembang menjadi hanya ada 1 Golongan Penduduk dan Unifikasi Hukum.
Pengaruh Perkembangan Politik Hukum terhadap Hukum Waris Positif Dengan dihapuskan penggolongan warga negara Indonesia berdasarkan keturunan atau class menjadi hanya hanya 1 (satu) golongan warga negara yakni golongan warga negara Indonesia tanpa diembel-embeli, maka sudah pada tempatnya berlaku pula hukum kodifikasi untuk golongan warga negara tersebut. Akan tetapi di dalam kenyataannya sampai saat ini cita-cita untuk membentuk Hukum Kewarisan Nasional belum juga terwujud.
B.Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali.. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. (Jakarta : Rineka Cipta. 1997)
Ahlan Sjarif, Surini.. Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). (Jakarta : Ghalia Indonesia. 1986)
Ependi Perangin,hokum waris,(jakrta, PT Raja Grapindo Persada, 2008)
Eman Suparman,hokum waris di Indonesia,(Bandung, PT Rafika Aditama, 2007)
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Indonesia Menurut : Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Cet. II. 1996. )
Mohd. Idris RamulyoBeberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek). (Jakarta : Sinar Grafika. . 1996. )
Moh.Mahfud MD,politik hokum di Indonesia,(Jakarta,PT Raja Grafindo Persada, November 2012)
.membangun politik hokum menegakkan konsitusi, (Jakarta,pustaka LP3ES Indonesia,2006)
Satrio, J.. Hukum Waris. (Bandung : Alumni. 1992)
Sudarsono,hokum waris dan system birateral,(Jakarta,PT Rineka Cipta, oktober 1994)




[1] Moh.Mahfud MD,politik hokum di Indonesia,(Jakarta,PT Raja Grafindo Persada, November 2012) hlm.9
[2] Moh.Mhgfud MD.membangun politik hokum menegakkan konsitusi,(Jakarta,pustaka LP3ES Indonesia,2006) hlm.13
[3] Ependi Perangin,hokum waris,(jakrta, PT Raja Grapindo Persada, 2008) hlm.29
[4]Eman Suparman,hokum waris di Indonesia,(Bandung, PT Rafika Aditama, 2007) hlm.23
[5] Sudarsono,hokum waris dan system birateral,(Jakarta,PT Rineka Cipta, oktober 1994) hlm.174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar