PENYELESAIAN SENGKETA HARTA WAKAF
DAN SANGSINYA
PENDAHULUAN
Tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, perlu diusahakan menggali dan
mengembangkan potensi yang terdapat dalam lembaga keagamaan yang memiliki
manfaat ekonomis. Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan
umum, dipandang perlu meningkatkan peran wakaf sebagai lembaga keagamaan yang
tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, melainkan
juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi antara lain untuk memajukan
kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan
prinsip syariah. Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta
wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan
pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian disebabkan tidak hanya
karena kelalaian atau ketidakmampuan Nadzir dalam mengelola dan mengembangkan
benda wakaf, melainkan juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum
memahami status benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan
umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Harta
wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, dengan demikian manfaatnya juga harus
dirasakan oleh umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka harta wakaf
adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga keeksisannya. Dengan demikian maka
keberadaan lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan sebagaimana
yang telah dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam. Indonesia masih
terkesan lamban dalam mengurusi wakaf sekalipun mayoritas penduduknya beragama
Islam dan menempati ranking pertama dari populasi umat Islam dunia. Implikasi
dari kelambanan ini menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus
dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan. Mendasarkan pertimbangan tersebut
di atas, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf tersebut,
memberikan setitik harapan bagi perkembangan dinamis wakaf di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut mengamanatkan pemerintah untuk
memberikan pembinaan terhadap [1]lembaga
wakaf di Indonesia agar dapat berperan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
umum. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut fungsi pembinaan ini
tidak dijalankan sendiri oleh pemerintah, melainkan melibatkan unsur-unsur
dalam masyarakat melalui Badan Wakaf Indonesia (BWI). Negara Indonesia memiliki
masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Kondisi yang demikian ini tentunya
menjadikan masalah pengelolaan wakaf, menjadi suatu masalah yang sangat urgen
dan sangat rentan. Munculnya penyimpangan pada pengelolaan wakaf akan
menjadikan suatu masalah serius dalam dinamika kehidupan beragama di Negara
Indonesia apabila penyelesaian atas masalah tersebut tidak dilakukan secara
hati-hati dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bertitik
tolak dari uraian latar belakang sebagaimana tersebut di atas, penulis berminat
untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam mengenai penyelesaian masalah
yang timbul dalam pengelolaan wakaf ke dalam bentuk penulisan makalah yang
berjudul “Penyelesaian Sengketa Wakaf”.
1. Sebab-sebab Terjadinya Sengketa Wakaf
Sebelum
membahas tentang sebab-sebab terjadinya sengketa wakaf, terlebih dahulu akan
disampaikan mengenai pengertian dan pengaturan wakaf di Indonesia. Wakaf dalam
perspektif fikih didefinisikan sebagai perbuatan hokum menahan benda yang dapat
diambil manfaatnya tanpa menghabiskan bendanya untuk digunakan di jalan
kebaikan. Hak milik berupa materi yang telah diwakafkan dianggap sebagai milik
Allah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan tujuan
wakaf. Sementara itu, menurut Abu Yusuf sebagaimana yang dikutip oleh Imbang J.
Mangkuto, wakaf adalah melepaskan kepemilikan individu atas suatu harta
(properti), menyerahkannya secara permanen kepada Allah SWT, dan mendedikasikan
manfaatnya untuk orang lain. Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi wakaf
melalui Pasal 215 yang menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang, atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya dalam Pasal
1 butir 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dinyatakan bahwa
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memi¬sahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah. Dari beberapa pengertian wakaf di atas,
dapat ditarik cakupan wakaf, yaitu:
a. Harta benda milik
seseorang atau sekelompok orang.
b. Harta tersebut
dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya.
c.
Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut, tidak bisa dihibahkan, diwariskan,
atau diperjualbelikan.
d.
Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran
agama Islam.
Dalam
fiqih Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda, walaupun berbagai
riwayat/hadist yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi
berbagai ulama memahami bahwa wakaf non tanahpun boleh saja asal bendanya tidak
langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya. Hal tersebut di atas juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, dimana dicantumkan dalam Pasal
16 yang menyebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri dari benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tidak
membatasi bahwa wakaf hanya diperuntukkan untuk tanah saja, tetapi juga benda
bergerak. Namun dalam praktik yang terjadi di Indonesia, pada umumnya kalau
berbicara tentang wakaf, maka akan dikaitkan dengan tanah. Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 mengatur wakaf secara umum, artinya Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tidak mengatur secara khusus mengenai wakaf tanah hak milik, sehingga
pelaksanaan wakaf tanah hak milik yang banyak terjadi di Indonesia tetap
didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik. Di sinilah letak kekurangan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004, walaupun tujuan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 untuk
memberikan pengaturan tentang pelaksanaan wakaf, namun Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 sendiri tidak mengatur secara khusus tentang wakaf tanah hak milik
yang lebih banyak terjadi di Indonesia dibandingkan wakaf benda bergerak.
Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik yang berkembang di Indonesia
mengilhami pembuat/perancang UUPA memasukkan salah satu pasal dalam UUPA yang
mengatur khusus mengenai Perwakafan Tanah Milik ini, yaitu Pasal 49 yang
berbunyi sebagai berikut:
1
.Hak milik tanah benda-benda keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk
usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi;
2
Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk
bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Untuk keperluan
peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat
diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai;
3
Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Mengacu pada ketentuan yang termaktub
dalam Pasal 49 UUPA di atas, maka ini merupakan pengakuan secara yuridis formal
keberadaan perwakafan tanah milik oleh negara sehingga telah disejajarkan
dengan hak-hak yang terdapat dalam UUPA lainnya, misalnya Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Ha[2]k
Pakai. Namun demikian, perintah ayat (3) Pasal 49 tersebut terjawab setelah
berlakunya UUPA kurang lebih 17 tahun, ketika setelah pada tahun 1977
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik. Kegunaan tanah wakaf adalah sebagaimana fungsi wakaf
pada umumnya, yaitu untuk kemaslahatan umat, namun secara khusus Undang- Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur bahwa peruntukan tanah wakaf adalah
tergantung pada ikrar wakaf yang dibuat. Ikrar wakaf merupakan pengucapan suci
yang diucapkan secara ikhlas untuk menyerahkan hartanya yang akan dipergunakan
di jalan Allah. Oleh karena itu pihak yang akan memanfaatkan tanahnya harus
melengkapi dengan surat-surat yang berkaitan dengan tanah tersebut. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977, yaitu sebagai berikut: ”Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud
ayat(1),pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan
kepada pejabat tersebut surat-surat berikut:
a.
sertifikat hak milik atau bukti pemilikan tanah lainnya,
b.surat
keterangan dari kepala desa yang diperkuat oleh kepala kecamatan setempat yang
menerangkan kebenaran kepemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu perkara,
c.surat
keterangan pendaftaran tanah,
d.izin
dari bupati/walikotamadya kepala daerah c.q. Kepala Subdirektorat Agraria
setempat”.
Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 9
ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 berikut penjelasannya di
atas, tersirat bahwa Akta Ikrar Wakaf merupakan akta otentik yang dapat
dipergunakan dalam penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari
tentang tanah yang diwakafkan. Dengan perkataan lain, Akta Ikrar Wakaf
merupakan alat bukti atas pelaksanaan wakaf sekaligus menerangkan status tanah
wakafnya. Hal pokok yang sering menimbulkan permasalahan perwakafan dalam
praktik adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan
akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang
dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. Kondisi ini
pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum,
sehingga apabila dikemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan
tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui kesulitan, khususnya dalam hal
pembuktian. Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf
di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan
tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir yang penggunaannya
menyimpang dari akad wakaf. Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya
tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut
meninggal dunia. Kondisi ini pada dasarnya bukanlah masalah yang serius, karena
apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, wakaf dapat
dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah
terlampaui, wakaf dikembalikan lagi kepada ahli waris wakif. Namun khusus untuk
wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan
kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan
tersebut tidak dapat diminta kembali. Selanjutnya mengenai dikuasainya tanah
wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan penggunaannya yang tidak sesuai
dengan ikrar wakaf, hal ini dikarekan kurangnya pengawasan dari instansi yang
terkait. Ahli waris atau keturunan Nadzir beranggapan bahwa tanah tersebut milik
Nadzir sehingga penggunaannya bebas sesuai kepentingan mereka sendiri. Hal ini
akibat ketidaktahuan ahli waris Nadzir. Mendasarkan uraian tersebut di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa alasan atau penyebab terjadinya sengketa wakaf
adalah belum tertampungnya pengaturan tentang tanah wakaf yang banyak terjadi
di Indonesia pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, masih banyaknya wakaf
tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf, dimintanya
kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun
temurun oleh Nadzir.
2. Cara
Penyelesaiannya Dalam Hal Terjadi Sengketa Wakaf
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh
melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila penyelesaian sengketa melalui
musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi,
arbitrase, atau pengadilan. Selanjutnya dise[3]butkan
dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan mediasi adal[4]ah
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati
oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan
sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah.
Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka
sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syariah.
Hal tersebut sejalan dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, yang menyebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang orang
yang beragama Islam, di bidang :
a)
perkawinan ;
b)
waris ;
c) wasiat;
d) hibah;
e) wakaf;
f) zakat;
g) infaq;
h) shadaqah; dan
i) ekonomi syari’ah.
Mengenai teknis dan tata cara pengajuan
gugatan ke Pengadilan Agama, dilakukan menurut ketentuan yang berlaku. Kemudian
Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa “Hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai
dengan rasa keadilan”. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur masalah ketentuan
pidana dalam perwakafan, namun demikian bukan karena kompilasi tidak setuju
adanya ketentuan ini, akan tetapi lebih karena posisi kompilasi adalah
merupakan pedoman dalam perwakafan.
Oleh
karena itu apabila terjadi pelanggaran pidana dalam perwakafan, maka
penyelesaiannya dapat didasarkan pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004, yaitu:
Setiap orang yang dengan sengaja
menjaminkan, meng¬hibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk
pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah
diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap
orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil
pengelolaan dan pengem¬bangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
Selain sanksi pidana tersebut di atas,
juga terdapat sanksi administrasi, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 68
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yaitu sebagai berikut:
Menteri
dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya
harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 32;
Sanksi administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan
tertulis:
b.
penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi
lembaga keuangan syariah;
c. penghentian
sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.
3 Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah
dimaksud pada Pasal 68 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut
adalah Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 yang menyatakan
sebagai berikut :
1.Menteri
dapat memberikan peringatan tertulis kepada LKS-PWU yang tidak menjalankan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
2.Peringatan
tertulis paling banyak diberikan 3 (tiga) kali untuk 3 (tiga) kali kejadian
yang berbeda.
3.Penghentian
sementara atau pencabutan izin sebagai LKS-PWU dapat dilakukan setelah LKS-PWU
dimaksud telah menerima 3 kali surat peringatan tertulis.
4
Penghentian sementara atau pencabutan izin sebagai LKS-PWU dapat dilakukan
setelah mendengar pembelaan dari LKS-PWU dimaksud dan/atau rekomendasi dari
instansi terkait.
Apabila diuraikan, muatan pasal-pasal
pelaksanaan wakaf yang apabila dilanggar dikenakan sanksi adalah :
a.
Wakif yang mewakafkan bendanya tidak diikrarkan secara tegas, dihadapan PPAIW
kepada nadzir tanpa disaksikan dua saksi;
b. Nadzir tidak
terdaftar di Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat;
c. Nadzir tidak
mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf dan hasilnya;
d. Nadzir tidak
membuat laporan secara periodik;
e. Wakif tidak datang
dihadapan PPAIW untuk ikrar wakaf;
f.
PPAIW tidak mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Badan
Pertanahan untuk mendaftarkan perwakafan;
g.Kepala
Badan Pertanahan Kabupaten/Kotamadya atas nama Bupati/Walikotamadya tidak
mencatat permohonan pencatatan tanah wakaf;
h.
Perubahan peruntukan tanah wakaf tanpa persetujuan Menteri Agama.
Untuk mengetahui praktik penyelesaian
sengketa wakaf, berikut disampaikan terlebih dahulu salah satu contoh kasus
sengketa wakaf yang terjadi di Kabupaten Kudus, yaitu antara Raginah sebagai
wakif dan Ridwan sebagai Nadzirnya.
Seorang penduduk Desa Beru
Genjang Kecamatan Undaan Kudus yang tidak mempunyai keturunan bernama Raginah
mewakafkan sebidang tanah berupa tanah sawah terletak di blok Pereng. Tanah
wakaf tersebut diterima dan dikelola untuk keperluan masjid yang bernama masjid
Al Mubarok sedang yang bertindak sebagai Nadzir pada waktu itu adalah Ridwan.
Sejak diikrarkan lafal wakaf tanah oleh wakif yang bernama Raginah pada tahun
1974 dengan diketahui dan disaksikan oleh adik kandung Raginah, maka wakaf oleh
Raginah dinyatakan sah. Dalam perkembangannya, setelah Raginah selaku wakif dan
Ridwan selaku Nadzir meninggal dunia, ahli waris Ridwan menjual tanah wakaf
tersebut kepada pihak ketiga. Dari pihak Raginah, yaitu kedua adik kandungnya
yang pernah menjadi saksi merasa keberatan atas jual beli tanah yang diwakafkan
oleh Raginah. Kedua adik Raginah tersebut sempat berkonsultasi kepada kepala
desa dan tokoh agama setempat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara
kekeluargaan, namun karena ahli waris Ridwan bersikukuh bahwa tanah yang
dijualnya bukan tanah wakaf tetapi hak milik almarhum Ridwan, maka pihak
Raginah mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama Kudus, yang pada akhirnya
sesuai dengan bukti-bukti dan fakta yang ada Pengadilan Agama Kudus memenangkan
gugatan kedua adik kandung Raginah. Mendasarkan pada contoh kasus tersebut di
atas, dapat diketahui bahwa dalam hal terjadi sengketa wakaf, upaya
penyelesaian yang dilakukan pertama-tama adalah melalui upaya musyawarah, baru
apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukan belum menemukan titik temu,
penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan Agama.
KESIMPULAN
Dari apa yang telah penulis kemukakan
di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Alasan atau penyebab terjadinya sengketa wakaf adalah belum tertampungnya
pengaturan tentang tanah wakaf yang banyak terjadi di Indonesia pada
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, masih banyaknya wakaf tanah yang tidak
ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf, dimintanya kembali tanah wakaf
oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh
Nadzir.
2.
Dalam hal terjadi sengketa wakaf, upaya penyelesaian yang dilakukan
pertama-tama adalah melalui upaya musyawarah, baru apabila kemudian dari
musyawarah yang dilakukan belum menemukan titik temu, penyelesaiannya
diupayakan melalui Pengadilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,Zaimudin.2006.
Hukum Perdata Islam Indonesia . Jakarta:Sinar Grafika.
Asmawi,
Mohammad.2004.Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan.Yogyakarta: Darussalam
Perum Griya Suryo.
Halim,
Abdul,Hukum Perwakafan di Indonesia,Ciputat: Ciputat Press,2005
Manan,
Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Rofiq, Ahmad,Hukum
Islam di Indonesia,Jakarata
[2] Asmawi,Mohammad.2004.Nikah
dalam Perbincangan dan Perbedaan.Yogyakarta: Darussalam Perum Griya
Suryo.
[4] Manan, Abdul, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di
Indonesia,Jakarata hal 95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar